Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Cut Nyak Dhien, Cahaya yang Tak Pernah Padam

January 26, 2025 19:41
IMG-20250126-WA0142

Cerpen Sadri Ondang Jaya

HATIPENA.COM – Malam menyelimuti bumi Aceh dengan kelam yang pekat. Langit mendung menggantung berat, seolah turut bersedih atas nasib negeri yang tak henti dirundung perang.

Di antara desau angin dan aroma tanah basah, kilatan api dari senjata Belanda sesekali memecah gulita, memperlihatkan bayang-bayang pejuang yang merayap dalam diam.

Di antara mereka, berdiri sosok wanita dengan sorot mata yang tajam bak elang. Dialah Cut Nyak Dhien, perempuan yang namanya terpatri dalam sejarah Aceh sebagai srikandi yang pantang tunduk pada penjajah.

Ia berdiri teguh, bukan semata karena cinta pada tanah kelahiran, tetapi karena keimanannya yang kokoh kepada Allah.

“Pang Laot,” bisiknya pelan namun penuh daya, “langit malam ini menyimpan saksi. Kita tidak boleh kalah. Jika penjajah melangkah lebih jauh, kehormatan Aceh akan sirna, dan tanah ini akan merintih selamanya. Ingat, ini bukan sekadar pertempuran jasad. Ini jihad. Perang iman.”

Pang Laot, panglima setianya, mengangguk pelan dengan mata yang berkaca-kaca. Melihat wajah Cut Nyak Dhien semakin menggurat tua. “Pasukan telah bersiap di tiga penjuru, Mak Nyak. Mereka menunggu aba-aba.”

Cut Nyak Dhien menghunus rencongnya tinggi, membelah gelap dengan semangat yang tak terlihat usang meski tubuhnya telah rentah, lelah. “Dengarkan aku! Kita bertempur bukan karena benci. Bukan karena dendam, tetapi untuk menjaga amanah Allah atas tanah ini. Allah adalah pelindung kita. La Haula wala Kuata Illah Billah. Bertakbirlah, hingga langit menjadi saksi bahwa kita tidak pernah gentar. Apalagi mati!”

“Allahu Akbar!” pekik para pejuang menggema, bersahutan dengan dentuman meriam yang menghancurkan sunyi. Malam itu, tanah Aceh kembali bersimbah darah yang mengurai air mata.

Darah dan Doa

Fajar menyingsing dengan pilu, menyaksikan bumi Aceh yang kini basah oleh darah para syuhada. Di antara mereka, Teuku Ibrahim Lamnga, suami tercinta Cut Nyak Dhien, telah syahid dengan dada yang tertembus peluru. Wajahnya yang tersenyum damai seolah berbicara bahwa kepergiannya adalah tiket menuju surga.

Di hadapan jasad sang suami, Cut Nyak Dhien berdiri tegap. Genggaman tangannya pada rencong semakin erat, tetapi tak ada setetes air mata pun yang jatuh.

“Mak Nyak,” panggil seorang prajurit muda dengan suara yang parau, “apa yang harus kita lakukan sekarang?”

Cut Nyak Dhien menoleh. Matanya yang tajam menyimpan kepedihan, tetapi hati kokoh, bibirnya tetap tegar. “Tangisan tidak akan membawa Bang Ibrahim kembali. Namun semangatnya tetap hidup di setiap degup jantung kita. Perjuangan ini belum selesai. Kematian bukan akhir, melainkan awal perjalanan menuju ridha Allah.”

Pernikahan di Tengah Perang

Beberapa bulan kemudian, seorang pemuda gagah bernama Teuku Umar datang melamar. Di tengah bara perang, keputusannya mengejutkan banyak prajurit.

“Mengapa Cut Nyak memilih menikah di saat seperti ini?” bisik seorang prajurit kepada Pang Laot.

Pang Laot hanya tersenyum tipis. “Karena Teuku Umar melihat apa yang kita semua lihat. Cut Nyak Dhien bukan sekadar wanita biasa. Ia adalah nyala api yang menjaga semangat Aceh tetap hidup.”

Namun, Cut Nyak Dhien tidak langsung menerima lamaran itu. Dengan mata yang menyala penuh wibawa, ia menatap pemuda di hadapannya. “Umar, perjuanganku tidak akan berhenti. Jika kau ingin menikahiku, kau harus berikrar di hadapan Allah.”

Teuku Umar mengangguk mantap. “Apa ikrar itu, Mak Nyak?”

“Kau tidak boleh surut dari medan jihad. Dan aku, meski menjadi istrimu, tetap akan maju memanggul senjata.”

Teuku Umar tersenyum. “Demi Allah, aku berjanji. Bersama, kita akan membela kehormatan negeri ini hingga nafas terakhir.”

Pernikahan itu menjadi simbol persatuan iman dan keberanian. Bersama, mereka melanjutkan perang gerilya yang membuat penjajah tak henti-hentinya menggigil oleh siasat dan semangat mereka.

Kehilangan yang Menyala

Namun, takdir kembali menguji Cut Nyak Dhien. Dalam sebuah pertempuran di Meulaboh, Teuku Umar gugur dengan luka-luka di tubuhnya. Kabar itu menghantam seperti gelombang besar di tengah samudera, tetapi Cut Nyak Dhien tetap tegar.

Di malam pemakaman, suara isak tangis putrinya, Cut Gambang, menggema di gua persembunyian mereka. “Mak Nyak, kenapa Ayah harus pergi?”

Cut Nyak Dhien meraih putrinya ke dalam dekapannya. “Anakku, jangan kau menangis. Ingat syuhada tidak pernah pergi. Mereka hidup dalam kemuliaan di sisi Allah. Ayahmu telah menyelesaikan tugas sucinya. Sekarang, kita harus melanjutkan apa yang sudah ia mulai.”

Akhir yang Agung

Ketika akhirnya Cut Nyak Dhien ditangkap di Gua Beutong Le Sageu, tubuhnya telah renta. Rambutnya memutih, penglihatannya buram, tetapi semangatnya tetap menyala. Ia berdiri tegak meski tubuhnya menggigil.

“Kalian bisa menangkap tubuhku, tetapi kalian tidak akan pernah menundukkan semangatku. Kekalahan hanya milik mereka yang berhenti berjuang, dan aku tidak pernah berhenti.”

Di pengasingannya di Sumedang, Cut Nyak Dhien menghabiskan sisa hidupnya dalam doa dan zikir. Hingga napas terakhirnya, ia tetap menjadi cahaya yang menerangi jalan perjuangan bangsa.

Pada 6 November 1910, Cut Nyak Dhien wafat, meninggalkan warisan semangat yang tak pernah padam, tetap menyala.[*]