Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Dan Kereta Itu Belum Tiba

February 11, 2025 21:23
IMG-20250212-WA0043(1)

Narudin Pituin (Foto: Dok. Pribadi)
Cerpen : Narudin Pituin

HATIPENA.COM – Langit masih tampak biru dengan polesan ringan cahaya matahari. Di kabel-kabel listrik, beberapa burung pipit bertengger, kadang kala melompat, hampir-hampir terjatuh atau menabrak tembok gedung tinggi. Di peron, ujung jalan kereta tampak lancip, seperti menusuki jalan-jalan hidup.

Sesekali, ia memperhatikan betis kaki anak perempuannya yang dihiasi borok-borok kering. Lalat, satu-dua, bermain-main di situ dengan riang gembira. Lalu, ia mengalihkan pandang kepada genting gedung sebelah sana. Tatapan matanya seperti masuk ke dalam lubang yang dalam. Jauh sekali.

Ia berpaling kepada suaminya, yang duduk di sampingnya, di atas bangku besi peron. Beberapa orang tengah gelisah menanti kereta tujuannya. Ya, memang terkadang mendebarkan isi dada apabila sedang menunggu, apalagi ingin menggapai tempat tujuan akhir: bukan persinggahan sementara.

“Dhika, tak usah kau hiraukan apa-apa lagi. Kita telah sepakat. Seperti perjanjian kita semula. Tak ada yang perlu kita sesalkan.”

“Bagiku, tak apa-apa, Reni. Hanya ada satu hal yang menyesakkan hatiku. Anak kita!”

Sebuah kereta tujuan Jakarta berhenti sesaat. Beberapa penumpang berdesakan turun, bersinggungan dengan penumpang-penumpang yang hendak masuk ke dalam kereta. Di stasiun kereta itu.

Rini menyentil kuping Lisa, anak perempuan kecilnya yang akan berjalan di bibir peron, di samping rel kereta. Ia meraih tangan Lisa dengan kasar.

“Lisa, mau mati? Eh?”

Lisa menunduk, gerakan tubuhnya kaku. Matanya berkedip. Dhika memandang Lisa sekilas, lalu beralih menatap wajah Reni yang redup. Lampu minyak yang hendak padam itu akan menemui sumbu gairah suatu ketika sebegitu rupa sehingga nyala menyilaukan mata pun tak terhindarkan. Di masa mendatang.

“Jangan berucap kasar pada anak-anak, Ren!” terdengar suara Dhika. Seperti telah diucapkan untuk ke sekian kalinya. Tak ia hitung. Nada suaranya bagaikan menghempas pesisir pantai yang kering.

“Ah, kau Dhika, masih saja sok menjadi ayah yang baik. Kalau kau seorang ayah yang baik, mengapa kau tidak mampu menjadi suami yang baik selama lima tahun ini?”

Reni terkaget-kaget dengan apa yang baru saja meluncur dari kedua otot bibirnya. Ia heran dengan kelangsungan kalimatnya yang sepertinya tidak dipertimbangkan itu. Namun, itu terjadi selintas lalu, sebab setelah itu, raut wajahnya mengembang, membentuk gambaran peduli tak peduli. Terdapat tali terentang di situ. Demikian tegang.

Reni membenahi kaus biru berlengan panjangnya walaupun—sebetulnya tak perlu dibenahi—kaus itu telah menempatkan dirinya dengan benar.

Ia mengenakan celana jeans. Ujung celananya terkoyak sebagian di bagian atas mata kakinya. Sandal hitam kulit melilit punggung kakinya. Rambutnya tak tertata, keriting di seputar dahinya. Ada seulas keunguan tipis pada kantung bawah matanya. Bibirnya pucat mengeriput. Gigi-giginya agak renggang.

“Bukan suami yang baik, katamu?”

Kata-kata itu seperti ditujukan kepada Dhika sendiri. Atau mungkin pada tiang-tiang stasiun kereta yang telah sedikit terkelupas. Tak kuasa menahan kekuatan ketidakabadian.

“Benar.”

“Benar? Jadi, selama ini aku bukan suami yang baik bagimu?”

“Itu kesimpulan yang keluar dari mulutmu. Perlukah aku menegaskannya?”

Ada sesuatu di tengah tenggorokan Dhika sehingga ia merasa sukar diri untuk sekadar menelan air liur.

Gumpalan-gumpalan awan yang telah ditentukan bentuknya itu bergerombol di wajah langit yang semakin muram. Kemudian, anginlah yang menggerakkan awan-awan itu, seperti mengubahnya menjadi kelam. Hujan turun. Hujan yang menyirami keadaan Dhika, Reni, dan anak kecil mereka.

Anak yang menganugerahkan beban hidup di luar dugaan mereka meskipun ia direncanakan dengan kata-kata romantis saat mereka bertukar kasih-sayang.

Dahulu. Barangkali rangkaian awan menghitam hingga tercurahnya hujan itu yang mengheningkan mereka bertiga. Kendatipun begitu, kaki kecil Lisa tak dapat diam. Seperti ada sekian nyamuk hinggap di situ….

“Mama, Lisa ingin pulang naik kereta!”

“Tunggu, Lisa. Jadilah anak sabar!”

Dhika tersenyum, geli menyimak ujaran istrinya.

“Sebentar lagi kereta tiba, Lisa. Tunggu, ya, Nak,” sela Dhika setengah bergumam.

Dhika menunggu akibat segera dari kata-katanya terhadap Lisa. Lisa membalas tatapan ayahnya dengan hampa. Bukan ia tak menyayangi ayahnya, tetapi ia belum mampu mengungkapkannya dengan sikap yang didambakan oleh ayahnya.

Reni berdiri, menarik lengan Lisa dengan tak halus, membimbingnya ke arah jalan raya, menuruni beberapa anak tangga sekaligus, di pojok lantai peron yang teduh.

Begitu ia memaklumi situasi yang tak menyenangkan, Dhika segera mengejar Reni.

“Reni, tunggu dulu. Ada apa denganmu? Kau telah berlaku tak patut  kepadaku. Suamimu.”

“Lagi-lagi, suamimu?”

Reni membuang muka ke samping, menundukkan kepalanya perlahan dan melanjutkan ayunan langkah kakinya. Tarikan tangannya lebih kuat, dan kasar. Lisa tertatih-tatih dibuatnya. Kadang-kadang, sambil meringis, ia menggaruk borok-borok keringnya yang sebagian telah tercakar kuku-kuku jari tengahnya.

Ada perubahan yang tak diundang pada raut wajah Dhika. Hidungnya sedikit mengencang, dahinya berkerut, dan bola-bola matanya hampir-hampir terlontar ke luar.

“Reni, tunggu. Masih hujan. Tunggu!”
Orang-orang melirik ke arah Reni, Lisa, dan terakhir ke Dhika dengan keheran-heranan. Barangkali, kesadaran untuk melirik itu terbentuk karena ada aba-aba nyaring dari mulut Dhika. Namun, sekadar aba-aba awal, tanpa kelanjutan perintah yang terang dan sesuai.

Hal demikian telah cukup membuat Dhika terpaku. Tak bertutur sekerat kata pun, kecuali bisik hatinya: “Aku bukan berarti tak ingin menahan Reni dan Lisa agar tak berlalu, tapi tatapan mata orang-orang sekitar telah cukup membuatku bermerah muka.”

Reni tak memalingkan kepalanya ke belakang. Sorot matanya menancap pada sebuah taksi yang pelan-pelan berhenti di depannya. Lambaian tangannya terbaca oleh sopir taksi. Reni naik seraya menarik pergelangan tangan Lisa ke dalam taksi. Tungkai kanan Lisa seperti menyangkal bahwa ia senang diajak naik taksi.

Sementara itu, Dhika masih berdiri, mengamati kerikil-kerikil atau mungkin juga rumput-rumput liar yang menembus bahu jalan aspal. Ia, pada saat yang sama, seolah-olah baru menyadari bahwa ujung rumput yang lemah dapat menembus lapisan keras berbatu.

Dhika kembali berjalan, seakan-akan tanpa tenaga, kemudian duduk kembali di tempat semula. Teringat sesuatu, ia merogoh saku celana hitamnya dan kemeja bergaris hijau tua sebesar benang sol sepatu. Sikap hendak berdiri itu ia urungkan.

Di depan sana, seorang pemuda tengah asyik mengisap sebatang rokok. Ada desir kecemburuan dalam benak Dhika, dan rupa-rupanya mengkhayalkan andaikata dirinya sedang mengisap sebatang rokok tersebut. Bukannya ia tak punya uang untuk mengisap sebatang rokok, tapi ingatan akan ihwal yang baru saja terjadi lebih menyita lamunannya.

Dhika meremas rambutnya, mengusap wajahnya yang berpeluh. Beberapa orang hilir mudik, naik-turun kereta. Apakah kereta tujuannya telah lewat? Belum. Barangkali sebentar lagi. Ketidakpastian ini pasti dikeruhkan oleh perselisihan kata-kata dengan istrinya. Atau, kesenyapan dalam dirinya, boleh jadi, diakibatkan oleh rasa belas kasih terhadap Lisa yang tetap membekas.

Seorang anak lelaki berlari di depannya. Pipinya gemuk. Rambutnya pendek. Berpakaian rapi. Ia pasti anak yang terawat dengan baik dalam dekapan orang tuanya, pikirnya. Apa yang harus aku lakukan saat ini? Apakah aku sungguh-sungguh seorang suami yang buruk? Seorang ayah yang baik? Apakah gelar “suami yang buruk” itu ialah bentuk luapan emosi negatif si Reni kepadaku?

Penilaian cenderung menjadi buruk kalau bersumber dari asal muasal atau pangkal permulaan yang tak mudah dibilang baik.
Suara orang-orang dengan nada yang beragam, bunyi klakson mobil, serta aneka bunyi kegiatan manusia berkumpul menjadi tunggal di telinga Dhika, berpusar-pusar di situ sebelum menghilang, ditelan kebingungannya.

Seketika Dhika menegakkan badannya, lalu berjalan meninggalkan peron itu. Ia terus berjalan. Esok, ia berniat menemui Reni, istrinya, dan anaknya, Lisa.

Akan tetapi, apakah kehadirannya masih dapat diharapkan? Atau adakah sedikit perubahan pada diri Reni sehingga ia bersikap yang selayaknya terhadap dirinya sebagai suaminya? Dan kereta itu belum tiba. (*)

1 Agustus 2024


Tentang Penulis

Narudin Pituin sastrawan, penerjemah, dan kritikus sastra. Semua karya sastranya telah dimuat di media massa lokal, nasional, dan internasional serta telah dibukukan.

Tiga buku terbarunya berjudul Sintesemiotik: Teori dan Praktik (2023), Sastra Indonesia dalam Sastra Dunia: Kumpulan Esai dan Kritik Sastra (2023), dan buku kumpulan cerpen Kuntilanak Monru (2024). Alamat FB/IG: Narudin Pituin.