Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Dara

December 24, 2024 20:38
Ilustrasi: Kecerdasan Buatan
Ilustrasi: Kecerdasan Buatan

Cerpen Anto Narasoma

SIANG hari itu suasananya tenang. Tiba-tiba terdengar suara jeritan seorang wanita. Ia menangis histeris. Tangisannya begitu menyedihkan. Kedua anaknya yang masih sekolah dasar itu ikut-ikutan menangis.

Rumah kayu yang berdiri paling belakang dari rumah-rumah tetangganya itu, berguncang hebat. Berkali-kali jeritan itu melengking disertai tangis pedih. Dara, sudah seringkali menerima perlakuan kasar dari suaminya sehingga di sekujur tubuhnya dihiasi bekas luka dan memar-memar.

Wanita cantik ini tersungkur di sudut kursi tamu. Ia terjajar tanpa kuasa untuk bangkit. Dari mulutnya keluar darah segar. Sementara di keningnya terlihat torehan luka akibat pukulan gagang sapu.

Sejak pulang ke rumah suaminya yang pemabuk itu terus mencecar dengan pukulan dan tedangan mengarah ke perut istrinya. Sementara teriakan dan tangisan istrinya tak ia hiraukan. Setelah istrinya tersungkur pingsan, barulah Johan menuntaskan kekerasaan itu. Jika ayahnya sudah bertindak di luar batas kemanusiaan, secara diam-diam kedua anaknya langsung
bersembunyi di bawah ranjang.

Setelah Dara terjajar tak berdaya, Johan langsung ke belakang. Ia mengambil air minum dan menenggaknya. Sebelum pulang, Johan pesta minuman keras dan mengisap sabu. Ia lupa, dagangannya di pasar yang dijalankan kedua anak buahnya sejak pagi belum ia inventaris.

Cletar! Terdengar suara pecahan kaca yang dilempar. ‘’Kurang ajar. Suami pulang harusnya minuman sudah tersedia. Padahal apa yang kurang dariku. Semuanya sudah aku cukupi. Uang yang diberikan tak pernah ada kekurangan. Ini benar-benar kurang ajar,’’ tegas Johan sembari melempar cangkir ke dinding dapur.

Johan melampiaskan kemarahannya dengan cara membanting apapun yang ia lihat. Di sinilah jahatnya sifat Johan yang mau menang sendiri. Padahal ketika istrinya menyatakan sesuatu untuk memperbaiki sikapnya, kadang-kadang Johan segera menampar dan menendang istrinya. Akhirnya Dara berhenti melakukan dialog dengan Johan.

Sejak masih berstatus perjaka, Johan memang berdagang ikan di Pasar 16 Ilir. Banyak anak buah yang membantu ia berdagang. Selain suka berfoya-foya, Johan memang murah hati. Setiap anak buahnya memperoleh bayaran tinggi ketika menjual ikan yang datang dari agen. Ketika Johan datang ke pasar semuanya sudah beres. Ia menerima laporan tertulis berapa jumlah keranjang yang masuk serta jenis ikan apa saja yang dikirim agen.

Karena latar belakang pendidikannya rendah, sedangkan pergaulannya hanya dengan orang-orang pasar membuat dirinya menjadi keras, cenderung bengis dan tak manusiawi.

Hari ini Johan memang tak ke pasar. Soalnya, anak buahnya akan ke rumahnya melaporkan semua catatan terkait jumlah ikan dan siapa-siapa saja yang utang dan membayar utang, berikut jumlah uang hasil dagangannya hari ini.

Meski Johan dikenal sebagai murah hati, tapi tangannya gampang menggapok siapa saja jika tidak ia sukai, termasuk kepada istrinya sendiri. Makanya ketika pulang ke rumah istrinya lambat memberikan air minum, Johan spontan marah. Dara dicaki-makinya langsung tangannya melayang ke wajah perempuan itu. Saking kerasnya, Dara langsung terjerembab. Sebelum jatuh ke lantai, kepalanya membentur lengan kursi tamu dan akhirnya pingsan.

                                                      ****

Setelah meneggak air putih, Johan langsung tidur di kamarnya. Saking nyenyaknya tidur, mulutnya menganga dan ia mendengkur keras sekali. Sementara kedua anaknya berdua saling mendekap. Air mata mereka masih belum kering. Ayahnya tidur, keduanya masih belum berani keluar dari bawah ranjang.

Tak lama dari itu, tubuh Dara mulai bergerak. Secara perlahan, ia membuka matanya yang memar. Bibirnya terasa perih. Ia mengusap darahnya yang masih mengurai dengan lengannya. Meski hatinya sangat sakit, tapi ia tetap tegar. Hari ini ia sudah tak tahan lagi dengan perlakuan keji suaminya.

Secara tertatih ia berjalan ke belakang. Dara masak air di dapur. Sembari mencuci bibirnya yang terlihat jontor, ia mengambil ember di dapur. Jika melihat seperti itu, orang pasti mengira Dara akan mandi dan membersihkan dirinya setelah diperlakukan tak manusiawi oleh suaminya.

Rona mukanya terkadang terlihat tegang dan kadang-kadang tak memperlihatkan gambaran apapun. Namun dari pelupuk matanya keluar air mata. Tampaknya Dara benar-benar sedih. Sebab, selama lima tahun hidup bersama Johan, ia tidak pernah merasa senang. Padahal sebagai pedagang ikan cukup besar, rumah tangganya berlimpah harta benda. Sedangkan uang yang diberi Johan tak kurang-kurang diterima Dara. Tapi yang paling menyakitkan hatinya adalah ia tak pernah dihargai sama sekali. Segala kebijakan harus datang dari Johan. Sementara dirinya hanya dianggap kambing congek. Padahal sikap suami istri tidak seperti itu.

Dalam strata sosial yang sehat, istri adalah mutiara dan mahligai rumah tangga yang mendatangkan kedamaian. Bahkan, apabila suaminya menyimpang, istrinya memberikan jalan terbaik untuk menyelamatkan rumah tangganya. Tapi Dara tidak pernah merasakan hidup sebagai seorang istri yang dihargai. Apabila ia berusaha untuk menegur dan memberi tahu segala kekeliruan suaminya, tanpa diduga sama sekali bibirnya pecah dan berdarah digapok Johan.

Sejak ia pingsan dipukul suaminya, ada sesuatu yang aneh pada diri Dara. Meski segala tubuhnya terasa remuk redam semua itu tidak ia rasakan sama sekali. Bahkan, rasa takut yang selama ini telah menjeratnya, terurai begitu saja. Secara tiba-tiba, keberaniannya yang tak pernah muncul selama ini, memperlihatkan wujudnya.

Air yang ia rebus sepanci besar itu telah mendidih. Ia mengambil lap dan memegang kedua kuping panci. Lalu ia tuangkan ke ember yang telah ia sediakan sejak tadi. Setelah dipindahkan ke ember, air panas tersebut ia bawa ke kamar tempat tidur suaminya.

Di tengah dengkuran suaminya yang tidur, air itu ia siramkan ke Johan. Suaminya yang sedang nyenyak tertidur itu tiba-tiba berteriak kencang. Air panas telah memenuhi sekujur tubuhnya. Ia berusaha bangkit dari tempat tidur, tapi rasa panas yang menderanya membuat Johan hanya berteriak hingga akhirnya semaput. Kasur tampat tidurnya becek bagai kolam panas. Setelah berkelojot beberapa kali, Johan terdiam.

Ternyata air panas yang baru diangkat dari kompor tersebut telah menelan nyawa suaminya. Kulit Johan melepuh ia mati terbelalak dengan mulut menganga. Kedua anaknya yang berada di bawah segera ke luar. Kedua bocah yang tadinya ketakutan setengah mati, tidak menangis atau menjerit melihat kondisi ayahnya yang menyedihkan itu.

Setelah menyiram suaminya, Dara segera bergegas memakai baju dan mengajak kedua anaknya ke luar dari rumah. Orang-orang kampung yang sejak tadi diam dan tak berani berbuat sesuatu ketika mendengar jeritan Dara tadi bereaksi tanpa berbuat apa-apa. Mereka hanya bungkam dan saling pandang melihat Dara turun bersama kedua anaknya. Orang-orang kampung itu tidak tahu jika Johan telah menjadi daging rebus yang tergeletak sia-sia.

                                                               ****

Setelah hakim datang ke ruang persidangan, pesakitan dan pengunjung duduk di bangkunya kembali. Sidang dibuka. Di jajaran bangku dan meja panjang di samping kiri hakim, sejumlah penasihat hukum Dara siap membela wanita cantik ini.

“Saudari, apakah benar anda telah membunuh Johan dengan menyiramkan air panas ke tubuhnya?’’ tanya hakim.

“Iya, Pak,’’ jawab Dara.

“Apakah tindakan saudari itu sudah direncanakan sebelumnya?’’

“Tidak, Pak,’’ kata Dara.

Hakim memandang tajam wajah perempuan itu. Namun Dara tidak berpaling. Ia justru balas menatap hakim ketua. Ia ingin memperlihatkan kepada semua orang, terutama ke hakim sendiri bahwa seorang wanita yang telah lama dianiaya suaminya, bisa berbuat kejam. Bahkan mencincang tubuh suaminya jika perlu.

“Apa yang melandasi pembunuhan ini sehingga saudara begitu tega menyiramkan air panas ke tubuhnya?’’

“Jika orang tidak pernah mengetahui tentang aku, mereka pasti mengatakan aku kejam. Berani merebus daging suaminya hingga tewas.’’

‘’Maksud saudara?’’

“Pak Hakim, di persidangan ini yang diungkap hanya proses kejadian dan alasan secara esensi saja yang dibicarakan. Tapi selama lima tahun ketika digebuki, ditendang dan dipukul dengan apa saja, adakah yang menanyakan tentang itu?’’

Mendengar Dara berbicara begitu, seorang pengacara menyela. ‘’Mohon maaf yang mulia. Apa yang dibicarakan tersangka merupakan wujud kekesalan hatinya selama ini. Sebagai sesuatu yang rasional, apa yang sudah dilakukan Dara dalam proses penyiraman air panas adalah puncak kekesalan terhadap Johan,’’ ujar Muchtar Leonata SH MH.

‘’Tapi dalam etika bermasyarakat, hal seperti itu tidak boleh dilakukan. Sebab, ada cara lain yang bisa dilakukan secara santun dan tidak membahayakan jiwa orang lain. Misalnya, ungkap secara baik-baik tentang perilaku suamimu agar sebagai manusia ia bisa menyerap hal-hal yang baik dan rasional,’’ kata Hakim.

‘’Pak hakim, Johan itu bukan manusia. Wujudnya saja yang manusia. Tapi perilakunya sangat bengis dan ia begitu tega memukuli dan menendang saya sekehendak hatinya. Apakah saya boleh memperlihatkan bekas-bekas kekejaman yang diperlakukan Johan terhadap saya?’’ tanya Dara.

Hakim dan panitera saling pandang. Tampaknya kedua hakim sedang mempertimbangkan sesuatu dalam kasus pembunuhan ini.

“Ada baiknya kita melihat itu, yang mulia,’’ ujar Radika Erlan SH MH, pengacara Dara yang tidak memperhitungkan dibayar atau tidak, ketika rela membela tersangka.

Setelah mempertimbangkan kasus yang berkaitan dengan kekejaman dan perilaku tidak manusia, Hakim berkesimpulan Dara telah melanggar pasal 353 junto 340 KUHP.

‘’Saudari telah melakukan kekejaman yang luar biasa. Suami dalam kondisi tidur nyenyak, dengan tega saudari membunuhnya, menyiramkan air panas ke tubuhnya sehingga Johan meninggal dunia. Ini jahat sekali. Bagaimana saudara pengacara?’’ tanya Hakim.

‘’Betul yang mulia. Itu diperhitungkan dari fakta yang ada. Namun proses terjadinya pembunuhan harus dijelaskan juga, sehingga motif dan alasan terjadinya peristiwa itu bisa meringankan hukuman terdakwa,’’ jawab Radika.

“Tadi saudari ingin memperlihatkan kekejaman korban yang selama lima tahun memukuli, menendang dan melempar apa saja yang terlihat oleh Johan?’’ tanya Hakim.

“Saya setuju Pak Hakim,’’ ucap Dara.

Dalam ruang lain Dara diperiksa petugas wanita. Dari apa yang terlihat di tubuh wanita malang ini, menjadi kesimpulan bahwa selama lima tahun terakhir Johan telah berbuat kejam dan melakukan kekejaman yang tak manusiawi.
Bukan dari soal finansial atau perabot rumah tangganya yang mencukupi, tapi penelitian itu dilihat dari kesewenang-wenangannya menyiksa istrinya sendiri.

Setelah pemeriksaan selesai, Dara dikembalikan ke ruang sidang. Sedangkan petugas wanita yang memeriksa Dara memberikan catatannya kepada hakim ketua.
Setelah membaca dan menyimak hasil yang tercatat, keputusan segera diambil. Jika dilihat dari kekejaman yang dilakukan Dara, wanita ini bisa saja terkena delik pasal 353 junto pasal 340 KUHP.

Ia telah melakukan kekejaman dengan pemberatan yang dapat diancam hukuman sekitar 15 tahun penjara.
Setelah mempertimbangkan segala apa yang dialami Dara, wanita ini melakukan pembunuhan akibat dari kekejian yang telah dialaminya selama lima tahun. Kemarahannya yang muncul dan melakukan penyiraman terhadap Johan karena emosi sesaat yang mengakitbatkan terpicunya kekejaman Dara.

‘’Setelah mempertimbangkan hal-hal lain yang mendesak dihadirkan, kekeliruan Dara bisa dibatalkan. Apalagi tidak ada pihak yang mengajukan delik aduan terhadap wanita ini,’’ ujar hakim seraya mengetuk palu, pertanda dihentikannya sidang kasus itu.

Pengunjung sidang melonjak kegirangan. Tampaknya sikap dan perilaku pengunjung sidang sangat berpihak ke Dara. Karena sebagian besar orang dalam persidangan itu dapat membenarkan sikap yang dilakukan Dara. (*)