Oleh: Drs. Mochamad Taufik, M.Pd (Guru SD Al Hikmah Surabaya)
#menulis30cerpenramadan1446H Cerpen ke 28
HATIPENA.COM – Malam di Gaza selalu berwarna merah. Bukan karena senja yang indah, tetapi karena darah yang mengalir di jalanan. Ledakan demi ledakan menerangi langit seperti kembang api neraka.
Di tengah reruntuhan, seorang bocah bernama Rafiq menggenggam erat tangan adiknya, Lina. Mata mereka menatap kosong ke arah rumah yang dulu menjadi tempat mereka berlindung—kini hanya puing dan abu. Ibu mereka telah pergi, tertimbun di bawah reruntuhan, dan ayah mereka? Sudah lama hilang sejak serangan pertama.
Lina menggigil. “Kak, aku lapar…” suaranya lemah, hampir seperti bisikan.
Rafiq merogoh sakunya, hanya ada sepotong roti kering yang ia temukan di antara reruntuhan tadi siang. Ia membelahnya menjadi dua dan memberikan separuh untuk adiknya.
“Apa besok kita masih bisa melihat matahari, Kak?” tanya Lina, suaranya gemetar.
Rafiq tidak tahu harus menjawab apa. Di tanah yang dijanjikan ini, janji itu terasa kosong. Setiap hari hanya ada kematian, pengkhianatan, dan derita yang tidak berkesudahan. Namun, ia tidak ingin adiknya kehilangan harapan.
“Tentu, Lina,” katanya sambil mengusap kepala adiknya. “Besok kita akan melihat matahari yang lebih terang, di tempat yang lebih baik.”
Namun, di dalam hatinya, Rafiq sadar—mungkin esok bukan milik mereka. Mungkin, Palestina hanya akan terus menangis, sementara dunia menutup mata.
Pagi datang tanpa harapan. Rafiq dan Lina berjalan melewati jalanan yang dipenuhi puing-puing. Di kejauhan, sekolah mereka—sekolah yang dulu penuh dengan tawa dan cita-cita—kini hanya tinggal rangka bangunan yang hangus terbakar.
Dulu, Rafiq bercita-cita menjadi dokter agar bisa menolong orang-orang yang terluka. Tapi bagaimana bisa bermimpi, jika bahkan bangku dan papan tulis pun telah hancur?
Tak jauh dari sana, rumah sakit yang seharusnya menjadi tempat perlindungan berubah menjadi lautan darah dan puing. Para dokter tak berdaya, obat-obatan habis, dan listrik dimatikan oleh penjajah. Orang-orang yang terluka hanya bisa menunggu ajal karena tidak ada lagi yang bisa menolong.
Mereka melangkah menuju masjid, tempat yang dulu menjadi rumah kedua bagi mereka. Namun, yang mereka temui hanya reruntuhan. Kubah yang megah kini rata dengan tanah, sajadah-sajadah terbakar, dan Al-Qur’an yang berserakan di antara debu. Tempat ibadah yang seharusnya menjadi perlindungan malah menjadi sasaran rudal tanpa ampun.
Di jalan, seorang pria tua menangis sambil membawa jerigen kosong. “Mereka menutup sumur-sumur kita… menutupnya dengan semen!” suaranya dipenuhi keputusasaan. Gaza kini bukan hanya dibombardir, tetapi juga dicekik perlahan-lahan.
Perbatasan ditutup. Tak ada jalan keluar. Tak ada bantuan yang bisa masuk. Gaza bagaikan penjara terbesar di dunia, di mana kematian datang perlahan atau tiba-tiba—tak ada pilihan lain.
Lina menarik tangan kakaknya. “Kita mau ke mana, Kak?”
Rafiq menatap langit yang dipenuhi asap. “Entahlah, Lina…”
Di tanah yang dijanjikan ini, mereka hanya bisa berjalan tanpa tujuan, mencari harapan di antara reruntuhan, dan menunggu keajaiban yang mungkin tak akan pernah datang.
(Cerita ini terinspirasi dari penderitaan nyata rakyat Palestina. Sebarkan agar dunia tahu bahwa mereka tidak sendiri. #SavePalestine 🇵🇸)