Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Democrazy, Negeri dalam Meja Judi

February 5, 2025 12:41
IMG-20250205-WA0038

Dramatisasi Cerpen
Oleh: Rizal Tanjung

HATIPENA.COM – Di sebuah negeri yang katanya demokratis, di sudut ruangan berasap tembakau mahal, tiga lelaki duduk mengelilingi meja bundar. Mereka bukan rakyat biasa. Mereka adalah “tangan-tangan gaib” yang menggerakkan bidak-bidak catur politik. Wajah mereka bukan wajah manusia utuh, melainkan kolase ekspresi palsu yang dijahit rapi. Ada senyum licik di satu sisi, sorot mata buas di sisi lainnya, dan bibir yang hanya terbuka untuk membisikkan perintah.

Di atas meja mereka, bukan sekadar kartu biasa. Itu adalah kartu-kartu penuh angka dan simbol yang mewakili nasib negeri: “Konstitusi,” “Pemilu,” “Kebebasan Berpendapat,” “Keadilan,” dan kartu yang paling berharga di antara semua—”Kekuasaan.”

Mereka tertawa, bercanda seolah dunia ini hanyalah panggung sandiwara yang sudah mereka sutradarai sejak lama.

Babak Pertama : Pesta Demokrasi adalah Teater Bayangan

“Bagaimana dengan pemilu kali ini?” tanya lelaki berseragam biru dengan tanda jasa yang tak pernah ia perjuangkan.

Lelaki berjas hijau meniup asap cerutunya, lalu berkata, “Seperti biasa, kita beri mereka sandiwara. Kita buat debat yang penuh gimik, kita cetak baliho raksasa dengan senyum yang tak pernah jujur, kita beri janji-janji yang tak perlu ditepati.”

Lelaki ketiga, yang terlihat lebih tua dengan koran terlipat di balik kepalanya seakan menjadi mahkota propaganda, menyeringai. “Jangan lupa, beri mereka dua pilihan, tapi pastikan kedua-duanya adalah kita juga.”

Mereka semua tertawa.

Di luar ruangan ini, rakyat bersorak, berpikir mereka sedang menentukan pemimpin. Mereka berdebat sengit di warung kopi, di media sosial, bahkan di meja makan. Mereka tak sadar bahwa nama-nama yang mereka perdebatkan hanyalah pion dalam permainan catur yang lebih besar.

Karena di meja ini, hasil sudah ditentukan jauh sebelum bilik suara dibuka.

Babak Kedua: Parlemen adalah Sirkus, Undang-undang adalah Dagangan

Setelah pemilu usai dan boneka baru terpilih, mereka kembali berkumpul di ruangan yang sama. Kali ini, mereka membawa setumpuk kartu baru—kartu-kartu undang-undang yang siap dimainkan.

“Apa kita perlu menaikkan pajak?” tanya lelaki berseragam biru.

“Jangan dulu,” kata lelaki berjas hijau. “Beri mereka dulu sedikit harapan. Biarkan mereka berpikir pemerintahan ini benar-benar peduli. Nanti, saat mereka lengah, kita naikkan diam-diam.”

Lelaki tua itu menepuk meja, tertawa terbahak-bahak. “Seperti biasa! Kita buat RUU yang menguntungkan kita, bungkus dengan nama manis seperti ‘Peraturan Kesejahteraan Rakyat’ atau ‘Kebijakan Progresif.’ Mereka akan tepuk tangan tanpa membaca isinya!”

Dan begitu, kartu-kartu pun dimainkan. Rakyat berteriak di jalanan, mencoba melawan, tapi suara mereka hanya gema yang tak pernah sampai ke ruangan ini.

Para wakil rakyat di gedung megah hanya pura-pura berdebat, sementara harga suara mereka sudah ditentukan dalam transaksi tertutup.

Di meja judi ini, demokrasi bukan tentang suara rakyat, melainkan tentang siapa yang memiliki cukup uang untuk membeli aturan.

Babak Ketiga: Media adalah Juru Bicara Penguasa, Kebohongan adalah Mata Uang

Lelaki tua itu membalik kartu baru: “Kebebasan Pers.”

Lelaki berseragam biru menggeleng. “Ah, yang itu sudah terlalu lemah. Kita sudah beli hampir semua media besar. Tinggal beberapa suara sumbang di sudut-sudut gelap internet.”

Lelaki berjas hijau menepuk pundaknya. “Tenang. Kita tak perlu membungkam mereka langsung. Cukup buat mereka terlihat seperti orang gila, sebut mereka ‘provokator,’ ‘radikal,’ atau ‘penyebar hoaks.’ Rakyat sendiri yang akan menghancurkan mereka untuk kita.”

“Brilian!” seru lelaki tua itu.

Di luar sana, rakyat masih percaya pada berita di layar kaca, pada narasi yang sudah disusun dengan hati-hati. Mereka tak sadar bahwa setiap kata yang mereka baca, setiap berita yang mereka dengar, sudah disaring, diputarbalikkan, atau bahkan dibuat-buat.

Kebenaran bukan lagi tentang fakta. Kebenaran adalah tentang siapa yang memiliki mikrofon terbesar.

Babak Terakhir: Revolusi adalah Mitos, Status Quo adalah Tuhan

Tahun berlalu, pemimpin berganti, tapi wajah di meja judi ini tetap sama. Kadang mereka berpura-pura berganti peran, tapi sebenarnya mereka tetaplah pemain yang sama dalam permainan yang sama.

Di luar sana, rakyat mulai lelah. Beberapa masih melawan, tapi kebanyakan sudah pasrah. Mereka belajar bahwa tak peduli seberapa keras mereka berteriak, permainan ini tak akan pernah berubah.

Lelaki tua itu menutup permainan dengan satu kalimat yang membuat dua rekannya tersenyum puas.

“Demokrasi adalah permainan yang kita menangkan tanpa harus bermain jujur.”

Dan begitu, tirai pun ditutup.

Di panggung depan, rakyat masih percaya mereka adalah penonton yang punya suara.

Padahal, mereka hanyalah figuran dalam sandiwara yang telah ditulis jauh sebelum mereka lahir.

Padang, 5 Februari 2025