Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Di Balik Luka, Ada Cahaya

April 24, 2025 18:40
IMG-20250424-WA0083

Oleh: Masyudi & M.Taufik
Alumnus IPA 1 SMAN Bangil 1986

HATIPENA.COM – Ada seekor ikan kecil yang hidup di danau sunyi. Ia jatuh cinta pada air sejak pertama kali merasakannya menyentuh sisiknya. “Tanpamu, aku tak bisa hidup,” bisiknya pada aliran tenang itu. Tapi takdir berkata lain. Suatu hari, manusia menjaringnya dan menaruhnya dalam panci. Ia tak pernah tahu, bahwa air yang ia cintai, suatu hari akan mendidih dan merebusnya perlahan.

Di sudut hutan, sehelai daun menari bersama angin, bersenda gurau dalam bisikan. “Kau bebas, tapi aku akan selalu setia menggantung di ranting ini karena engkau,” kata si daun. Namun saat musim gugur datang, angin tak lagi mengangkatnya. Ia malah menggugurkannya, membiarkannya jatuh dan membusuk di tanah.

Di pinggir desa, manusia membangun rumah-rumah megah, menggantungkan hidup pada bumi. Ia menanam, menggali, dan memijakkan kaki di atasnya. Tapi saat ajal datang, tanah pula yang menelannya dalam keheningan. Manusia bertanya dalam pilu, “Mengapa dunia begitu kejam?”

Begitu pula dirimu. Kau mencintainya sepenuh hati. Memberi, menunggu, berharap. Tapi dia justru melukaimu. Bukan sekali. Tapi berkali-kali. Dan di tengah hancurnya hati, kau bertanya, “Mengapa cinta menyakitkan?”

Namun, seorang bijak pernah berkata, “Tingkatkan kesadaranmu. Bukan air yang menyakiti ikan, tapi api yang mendidihkan air. Bukan angin yang menggugurkan daun, tapi musim yang memutuskan waktunya. Bukan tanah yang menelanmu, tapi kematian yang menjemputmu. Dan bukan cinta yang melukaimu, tetapi egomu yang menghancurkanmu.”

Sufi agung Jalaluddin Rumi pernah menulis,
“Jangan bersedih. Apa pun yang kamu kehilangan, akan kembali dalam bentuk lain.”
Karena luka adalah jalan menuju cahaya, dan setiap kehilangan hanyalah awal dari pemurnian.

“Kita menyalahkan cinta,” lanjutnya, “padahal yang membuat luka adalah harapan berlebihan yang tak berpijak pada realitas.”

Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menuliskan,
“Sesungguhnya banyak luka yang datang bukan karena takdir yang zalim, tapi karena keinginan yang tak terkendali.”

Dan Allah berfirman:
“Apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).”
(QS. Asy-Syura: 30)

Sering kali, kita menyalahkan takdir, padahal yang terjadi adalah konsekuensi dari pilihan dan keterikatan kita sendiri.


Akhirnya, ketika kamu duduk sendirian di malam yang hening, bertanya pada langit tentang semua rasa sakit itu—jangan lupa bahwa bahkan luka pun adalah utusan Tuhan.
Ia datang bukan untuk menghancurkanmu, tapi untuk membangunkanmu. Karena mungkin, hanya dengan kehilangan, kita akhirnya belajar bagaimana mencintai dengan ikhlas. Tanpa menggenggam. Tanpa menuntut. Tanpa menyakiti. (*)

menuliscerpenpramuka&persahabatan Cerpen ke-16