Cerpen | Farid Mustofa
HATIPENA.COM – Malam begitu dingin. Angin menyelusup ke sela-sela gelap. Langit segan menampakkan bintangnya pada bumi yang murung. Pepohonan bergoyang menyibak suara takbir, lirih, seperti kenangan yang tak ingin kembali. Lembab tanah kandang bercampur bau jerami menggenggam suasana asing yang sulit dijelaskan.
Ini malam sebelum kurban. Malam sepi dan berat. Malam yang membawa sesuatu tapi tak mengatakan apa-apa.
Dari kejauhan takbir menggema tapi di telingaku menjadi gema kosong. Tidak menyentuh. Tidak menenangkan. Di depan kandang, aku terduduk memeluk lutut, menatap dua ekor domba putih yang tenang seperti tak tahu bahwa besok mereka akan disembelih.
Kuelus kepala domba paling besar. “Maaf ya…” bisikku. “Aku tahu kamu tak mengerti. Tapi aku juga tak benar-benar paham. Kenapa agama ini meminta nyawamu?”
Butiran hangat mengalir di sudut mataku, seperti hujan kecil turun dari langit yang gelisah. “Kalau memang ini tentang pengorbanan kenapa tidak uang, motor, atau lainnya?
Ada banyak benda yang bisa kuberikan. Tapi kenapa harus kalian yang mati?” Aku memejam menahan sesak dada. “Apa Tuhan perlu darahmu? Apa Tuhan butuh daging? Ini abad 21. Kita bisa berdonasi untuk mereka yang kelaparan dan menderita perang, menyelamatkan hutan, memberi makan anak yatim.
Apakah menyembelih makhluk tak bersalah ini masih masuk akal?” Aku menunduk. “Jangan-jangan ini sisa ritual purba. Ritual darah yang dibungkus dalil.”
Tanganku mencengkeram rumput kering. “Jangan-jangan ini bukan wahyu, tapi warisan budaya kekerasan yang tidak selesai.” Aku menatap langit.
“Ya Allah, jangan-jangan agama-Mu tak seindah yang kukira?”
Domba-domba diam. Tak satu pun mengeluh atau berontak. Mereka hanya duduk mengunyah jerami, wajah polosnya menyatakan tak mengenal dunia selain damai dan rumput.
Ada kelembutan aneh di sana seperti bayi yang belum disentuh rasa takut. Kuamati matanya. Bukan saja bening tapi suci. Lebih suci dari mata hatiku yang kerap dikeruhkan kebingungan, benci-dendam, dan dosa tak terhitung.
Aku menunduk pelan, lalu kembali kutatap matanya dalam-dalam. Bukan untuk memaksanya bicara, tapi untuk menyampaikan sesuatu.
“Maaf.” Hanya satu kata yang tak cukup. Tapi aku ingin ia tahu aku bukan pembunuh. Tiba-tiba mata mereka membalas tatapanku. Begitu dalam, begitu langsung, seolah tahu apa yang sedang bergemuruh dalam diriku. Aku terkejut. Nafas tertahan. Matanya yang bening kini hidup menjadi cermin pikiranku. Dan saat itulah, sesuatu yang tak biasa terjadi.
Dari tatapan matanya mengalir getar aneh, seperti bisikan. Bukan bunyi, bukan kata, tapi hadir. Pelan menyelusup dadaku, seperti embun menemukan celah. Bukan terucap dari mulutnya, bukan terdengar telinga, tapi jelas, dalam, dan tegas.
“Kami bukan korban, kami adalah kurban.” Aku terkejut. “Jangan kau pikir kami tak tahu. Kami tahu akan mati. Tapi bukan mati sia-sia. Kami dimuliakan. Bahkan Tuhan sendiri berkata, ‘Bukan daging-daging hewan itu dan bukan darahnya yang sampai kepada-Ku, melainkan ketakwaanmu.’ (QS. Al-Hajj: 37).
Kami bukan persembahan darah, kami saksi pengabdianmu.” Aku makin terdiam. “Tahukah kamu? Tuhan menyebut kami bagian dari syi’ar Allah, di dalamnya kebaikan untukmu (QS. Al-Hajj: 36). Kami bukan sekadar binatang. Kami bagian dari sejarah suci. Bagian kisah cinta Ibrahim.”
Aku menarik napas. Masih tak yakin dan belum sepenuhnya faham apalagi menerima. Aku bertanya setengah menuntut.
“Tapi, tetap saja, kalian makhluk hidup. Tidakkah ini kejam?”
“Kejam itu jika tanpa kasih. Agamamu mengajarkan ‘Saat kamu menyembelih, sembelihlah dengan baik. Tajamkan pisaumu, dan tenangkan hewanmu.’ (HR. Muslim)’.
Aku mulai paham namun masih mencerna. “Kau kira manusia hidup tanpa membunuh? Lihat yang kau makan dan minum. Bahkan vegetarian pun memetik tanaman hidup. Bahkan singa pun hidup dari darah rusa. Di dunia ini kehidupan berjalan dalam rantai. Yang satu menjadi penguat yang lain. Tapi manusia diberi akal dan hati agar menyembelih bukan dengan nafsu, tapi dengan rahmat.”
Sekarang tangisku pecah, menggigil sementara waktu. Namun segera terhenti oleh ucapannya.
“Kau tahu? Daging kami akan sampai ke anak yatim. Ibu-ibu miskin akan memasaknya sambil berdoa untukmu. Mereka akan kenyang bukan hanya oleh daging kami, tapi oleh cinta, doa dan niatmu.”
Aku gemetar. Domba itu menyandarkan kepala ke dadaku—hangat, pasrah, tenang. Seolah ia sedang menenangkan aku, bukan sebaliknya.
“Kau menangis saat melihat makhluk Tuhan harus pergi, meski untuk tujuan yang luhur. Itu bukan kelemahan. Tapi tanda bahwa hatimu belum mati. Ada kelembutan dalam dirimu dan itu justru bagian dari iman.”
“Tangisanmu gema cinta yang hidup. Sebab cinta sejati tidak kaku, tidak tega, tidak diam. Tuhan lebih dekat kepada hati yang lembut dibanding kepada dada yang keras. Air matamu bukan penghalang ibadah, tapi pengingat bahwa ibadah yang tak disertai cinta hanyalah kebiasaan kosong.”
“Tapi jangan salah paham. Tuhan tak meminta nyawa kami untuk kekuasaan. Ia hanya inginkan hatimu. Kami ini jembatan. Kelak di akhirat kami datang dengan bulu, kuku, dan tanduk kami sebagai kendaraanmu. Kami bukan hilang. Kami hanya berpindah bentuk (HR. Tirmidzi, Ahmad)” .
Aku tak sanggup bicara. Kupeluk erat-erat mereka seperti sahabat yang akan pergi jauh. Takbir masih menggema tapi kali ini berbeda. Ada yang tembus. Ada yang hancur di dalamku.
“Kalau begitu,” bisikku, “bimbing aku. Ajari aku bagaimana mencintai Tuhan tanpa kehilangan kasih pada ciptaan-Nya”
Domba-domba itu diam. Mereka menatap langit. Seolah tahu arah pulang. (*)