Karya : Dr. Mochamad Taufik, M.Pd
HATIPENA.COM – Pagi itu, 10 Oktober 2025, matahari terasa lebih lembut dari biasanya. Di tangannya, Lailatul Asrifah menggenggam selembar surat yang telah lama ia tunggu—Surat Keputusan Penetapan Nomor Induk PPPK Paruh Waktu dari Badan Kepegawaian Negara. Tangannya bergetar, bukan karena gugup, tetapi karena air mata bahagia yang hampir tak terbendung. Dua puluh tahun sudah ia mengabdi di lingkungan SMAN Bangil sebagai tenaga honorer Tata Usaha. Kini, pengabdian panjang itu akhirnya berbuah pengakuan dari negara.
Dua Dekade Mengabdi
Sejak tahun 2003, Lailatul sudah menjadi bagian dari keluarga besar SMAN Bangil. Ia bukan guru yang berdiri di depan kelas, tapi roda sekolah tak akan berputar tanpa tangannya. Ia yang menyiapkan surat menyurat, mencatat data siswa, mengurus dokumen guru, dan menata berkas sekolah yang menumpuk setiap hari.
Gajinya sebagai honorer kala itu nyaris tak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Namun, Lailatul tak pernah mengeluh. “Yang penting, sekolah ini tetap berjalan lancar,” ujarnya lirih setiap kali menahan kantuk menyelesaikan laporan administrasi.
Pernah suatu masa, ia harus berangkat ke sekolah dengan uang pas-pasan, bahkan kadang menunda makan siang. Tapi semangatnya tak pernah surut. “Saya ingin anak-anak bangsa ini bisa belajar tenang. Kalau TU-nya kacau, administrasi sekolah juga ikut kacau,” ujarnya dengan senyum keikhlasan.
Luka Bersama Para Honorer
Kisah Lailatul hanyalah satu dari ribuan kisah tenaga honorer di negeri ini.
Ada yang puluhan tahun menjadi petugas kebersihan sekolah dengan gaji tak sampai sejuta rupiah per bulan. Ada pula staf TU di sekolah lain yang harus merangkap sebagai operator Dapodik, bendahara BOS, dan resepsionis sekaligus — tapi statusnya tetap honorer.
Tak hanya di dunia pendidikan, di kantor pemerintahan pun banyak tenaga non-ASN yang setia bekerja tanpa kepastian masa depan. Mereka datang paling pagi dan pulang paling akhir, namun seringkali tak tercatat dalam sejarah keberhasilan lembaga.
“Yang penting, kita kerja karena Allah, bukan karena pujian,” kata Lailatul suatu sore kepada rekan TU-nya yang tampak lelah. Kalimat sederhana itu menjadi penyemangat di tengah kerasnya realitas hidup seorang honorer.
Titik Balik
Ketika pemerintah membuka program PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja), Lailatul sempat ragu. “Apa mungkin saya yang sudah hampir kepala lima masih punya kesempatan?” pikirnya. Tapi dorongan dari rekan kerja membuatnya mencoba.
Malam demi malam ia habiskan untuk belajar, mempelajari regulasi administrasi, dan berdoa. “Kalau rezeki saya di sini, pasti Allah tunjukkan jalannya,” katanya dalam hati.
Dan benar saja, setelah sekian lama menunggu hasil seleksi, nama Lailatul Asrifah, S.Pd.I muncul di pengumuman resmi. Ia lolos sebagai PPPK Paruh Waktu Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Tangisnya pecah. Surat yang selama dua dekade hanya ada di mimpi, kini nyata di genggamannya.
Surat yang Menghapus Lelah
Surat Keputusan bertanggal 10 Oktober 2025 dari Kantor Regional II BKN Surabaya itu bukan sekadar selembar kertas. Bagi Lailatul, itu adalah simbol penghargaan atas kesetiaan dan keikhlasan yang telah ia rawat bertahun-tahun.
Kini statusnya bukan lagi tenaga honorer, tapi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Paruh Waktu.
Memang, SK itu berlaku satu tahun dan akan ditinjau kembali setiap tahun hingga masa pensiun tiba, tapi Lailatul tak peduli. “Yang penting, negara sudah mengakui kami. Itu sudah cukup,” ujarnya pelan sambil mengusap air matanya.
Haru di Sekolah
Kabar kelulusannya cepat menyebar di lingkungan SMAN Bangil. Teman-teman TU, guru, dan kepala sekolah ikut berbahagia.
“Selamat ya, Bu Laila! Akhirnya penantian panjang Ibu berbuah manis,” ucap seorang guru muda sambil menyalaminya dengan tulus.
Di ruang TU yang sederhana, Lailatul memeluk erat map biru berisi SK barunya. Ia menatap foto-foto lama di dinding, mengenang masa-masa sulit saat gaji telat, listrik rumah hampir diputus, dan harapan nyaris padam.
Kini semua rasa lelah itu terbayar.
Ia menengadah dan berbisik,
“Ya Allah, terima kasih. Surat ini bukan hanya untukku, tapi untuk semua honorer yang masih berjuang. Semoga mereka segera merasakan kebahagiaan yang sama.”
Epilog
Setiap pagi, Lailatul tetap datang paling awal ke sekolah. Ia masih menata berkas, menyiapkan surat tugas, dan menyapa guru dengan senyum. Bedanya, kini ada rasa bangga yang tak bisa ia sembunyikan.
Surat keputusan yang tersimpan rapi di mejanya menjadi saksi bahwa pengabdian dan kesetiaan tak pernah sia-sia.
Ia tahu, setiap tahun akan ada peninjauan SK baru, tapi ia siap. Karena baginya, bukan lamanya masa kerja yang penting, tapi ketulusan dalam melayani dan mengabdi untuk negeri.
“Kami bukan mencari kemewahan, hanya ingin diakui. Dan hari ini, pengabdian kami akhirnya bernilai di mata negeri.” (*)