Cerpen Anto Narasoma
SEJAK meraih gelar sarjana kemasyarakatan, Netriana Yulianingsih selalu aktif mengikuti kegiatan masyarakat.
Ia belum bekerja formal sejak ia tamat kuliah. Namun naluri Netriana sebagai gadis kampung yang sederhana, selalu terpanggil untuk ikut melakukan kegiatan sosial membantu masyarakat yang dilanda kesusahan.
Sikap sosial itu pula yang diresahkan Auric, pacar Netriana, karena jarang saling bertemu dan mengungkapkan perasaan masing-masing.
“Netri, kau selalu sibuk. Apakah kau mencintaiku, sayang?” Auric bertanya pada satu kesempatan.
Netriana menatap Auric sesaat. Kemudian ia tersenyum manis. Wajah gadis berkulit hitam manis ini sangat cantik dalam pandangan Auric.
“Kok kau bertanya seperti itu, Mas? Tak usah kujawab, kau pasti mengetahui perasaan apa yang bergumul di hatiku,” jawab Netriana, tersenyum.
“Iyah, tapi kau tampaknya lebih cenderung sibuk dalam kegiatan sosial di kampungmu sehingga kita jarang mengungkapkan masa depan hubungan kita,” ujar lelaki tampan, anak Kepala Desa Wonosari, Kabupaten OKU Timur Sumsel tersebut.
Netriana tersenyum. “Mas Auric, bagi saya, cinta itu berada di atas segalnya. Namun sebagai manusia, kita harus pandai-pandai meletakkan posisinya pada tempat yang tepat, sehingga sebagai rasa yang paling membahagiakan, cinta itu menjadi sesuatu yang sakral,” katanya.
Auric tersenyum mendengar itu. Ia merangkul Netriana dan menciumnya. “Ini, aku membelikan cincin emas untuk kau pakai, sayang,” ujar Auric. Lalu pemuda itu memakaikan cincin tersebut ke jari manis Netriana.
Siang hari sepulang dari Puskesmas Desa Wonosari yang kebanyakan masyarakat keturunan Jawa transmigrasi tahun 1980-an lalu, Netriana menelusuri jalan lewat Pasar Kalangan (pasar seminggu sekali).
Tepat di tikungan jalan pasar, ia melihat orang-orang dalam keadaan panik. Seorang ibu, tergeletak, menggeliat meregang nyawa.
Tak seorang pun di antara mereka yang berkeinginan untuk menolong wanita tersebut. Hati Netriana tergetar melihat itu. Tanpa berpikir panjang, ia menutup hidungnya dengan selendang yang melilit, menutup rambutnya yang panjang, hitam dan lurus menjuntai ke pinggangnya.
“Hei Mbak, jangan sok berani menolong ibu tersebut. Ia menggeliat karena virus corona,” teriak orang-orang yang ada di sana.
Netriana yang tidak peduli dengan teriakan orang-orang itu segera meraih roller untuk mengangkut barang di samping toko pedagang sembako.
Tanpa diperintah, ia segera mendorong tubuh wanita terinfeksi virus covid-19 yang sangat mematikan itu Puskesmas Wonosari.
Orang-orang hanya memandang kagum sembari menggelengkan kepala mereka.
Setiba di Puskesmas, para medis segera mengerubungi Netriana. “Mbak Netri, kita harus hati-hati. Karena ibu ini tampaknya terjangkit covid-19,” ujar Meliana, perawat puskesmas.
Karena peralatan Puskesmas Wonosari itu sangat minim, akhirnya ibu terinfeksi virus corona itu secepatnya dirujuk ke rumah sakit kabupaten dengan ambulans.
“Mbak Netriana, anda merupakan pejuang virus corona yang tidak mengenal takut. Saya kagum. Apakah kau bersedia jika saya masukkan ke tim terdepan pengendalian covid-19, Mbak,” tanya Dokter Lily Adriani yang terkesan dengan usaha Netriana saat menyelamatkan nyawa seorang terinfeksi vicod-19.
“Di mana itu Ibu dokter,” tanya Netriana setelah mencuci tangan dan menyemprot tubuhnya dengan cairan pemusnah virus.
“Di rumah sakit daerah Pemkab OKU Timur. Di sana nanti kau diberi pakaian khusus untuk melindungi diri dari endemi vicod-19 sebagai anggota Gugus Tugas Penanggulangan Virus Corona Kabupaten,” ujar dokter Lily, tersenyum.
Dua minggu Netriana melaksanakan tugasnya sebagai garda terdepan penanggulangan endemi virus corina diseases terhadap masyarakat yang terinfeksi virus tersebut.
Gadis manis itu begitu cekatan ketika diberi tugas untuk menertibkan para penderita virus corona. Karena itu Netriana dikenal dan disebut rekan-rekannya sebagai “Gadis Corona”.
Selain memiliki jiwa keras untuk memperbaiki kualitas masa depan hidupnya, Netriana mempunyai kehalusan budi dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan antarsesama.
Setelah menerima honor tugasnya sebagai petugas di Garda Terdepan Gugus Tugas Penanggulangan Virus Corona (GTGTPVC) Kabupaten, Netriana tersenyum. Ia akan menabung uang itu untuk kebutuhan masa depannya.
Setelah Auric tiba dengan mobilnya di kantor tempat Netriana bertugas, hati gadis itu berbunga-bunga.
“Wah, gadisku yang cantik sudah menantikan arjunanya,” tukas Auric tersenyum dan segera memeluk gadis yang sangat dicintainya itu.
Dalam perjalanan pulang, Netriana mencerirakan aktivitasnya menanggulangi para penderita virus corona. Sebagai gadis yang sudah mendapatkan pelatihan cara medis untuk menanggulangi virus maut tersebut, Netriana begitu lincah dan mampu mencatat prestasi terbaiknya.
Di kelokan jalan ke arah rumahnya, Netriana mendengar anak menangis. Begitu sedih ratapan anak tersebut.
Ketika Netriana masuk ke rumah anak itu, di dalamnya hanya ada seorang ibu tergeletak tak bernyawa. Anaknya yang berusia empat tahun itu menangis menggoyang-goyangkan tubuh ibunya. “Mak bangun, mak. Habil lapar mau nakan,” ujar anak itu di sela-sela tangisnya.
Netriana segera menggendong Habil dan menghubungi ketua RT dan warga setempat. Sedangkan ayah anak tersebut bekerja di Malaysia sebagai mekanik sepeda motor.
“Nak, tenang ya. Ibumu segera tante urus. Nanti kau juga akan saya titipkan ke orangtuaku,” ujat Netriana sibuk melakukan sesuatu yang dibantu warga setempat.
Setelah sebelumnya Netriana menghubungi petugas GTGTPVC, akhirnya sejumlah orang berseragam tertutup segera berkerubut dan melakukan tugasnya.
Sore hari yang biasanya riuh oleh suara anak-anak main sepakbola, namun suasana Desa Wonosari petang ini sedih dan prihatin. Ada apa?
Wajah Auric yang tampan tampak begitu sedih. Hatinya benar-benar pilu. Harapannya untuk menikahi Netriana kandas.
Ia menyapu air matanya yang deras mengucur. Berkali-kali peci yang melekat ketat di kepalanya tanpa sadar diperbaiki Auric.
“Retriana sayang, cita-cita kita kandas di tengah jalan. Kau telah lebih dahulu pergi meninggalkanku,” ucap Auric tak kuasa menahan tangisnya.
Petugas GTGTPVC malarang Auric untuk mendekati jenazah Retriana. Dikhawatirkan endemi virus corona itu bisa menjangkitinya.
Ayah, ibu dan keluarga Retriana hanya menatap pedih melihat jasad anaknya yang dibungkus dan dimasukkan ke kotak seukuran fisik anaknya.
Mereka tak dapat berkata apa-apa menyaksikan nasib jasad Retriana yang terpaksa harus dikucilkan seperti itu. “Ooo, anakku.,” hanya itu yang bisa terucap dari mulut ibunya. Mata dan pipinya basah oleh air mata.
Sesaat setelah jasad Retriana itu dinaikkan ke mobil jenazah, orang-orang Desa Wonosari tak diperkenan ikut mengantar ke pemakaman. Padahal sejak pagi tadi sejumlah tokoh agama dan orang-orang berstatus ASN sudah siap mengantarkan jasad gadis berbudi halus dan memiliki jiwa kemanusiaan sejati itu.
“Bapak dan ibu sekalian. Kami hanya meminta bingkisan doa saja untuk Retriana. Sebab dalam keadaan endemi virus corona diseases yang menyebar ke sana-sini, sangat berbahaya bagi bapak dan ibu untuk mengantarkan jenasah gadis baik hati ini. Karena itu biarlah petugas saja yang menanganinya,” ujar Ketua GTGTPVC, Mardian Aritonang, menjelaskan persoalannya.
Perasaan Auric yang hancur sejak kematian kekasihnya yang cantik itu benar-benar tenggelam ke dalam suasana pedih dan perih.
Ia tak kuasa mengatakan apapun terkait kisah cintanya dengan Retriana. Bulan depan, ia berencana untuk menikahi gadis cantik itu secara besar-besaran. Ayah Auric yang kepala desa Wonosari telah menyiapkan anggaran besar untuk pesta pernikahannya.
Namun takdir berbicara lain. Retriana meninggal dunia setelah sakit dua hari. Ia diisolasi di rumah sakit kabupaten. Dari kabar yang beredar, Retriana terkena infeksi vicod-19 setelah ia ikut memindahkan jasad seorang laki-laki di pelataran kantor DPRD kabupaten.
Sejak gadis berambut panjang sebahu itu terinfeksi vicod-19, rekan-rekannya dari GTGTPVC dan rumah sakit daerah mengisolasinya. Selama itu, keluarga dan kekasihnya Auric dilarang berkunjung dan menengok keadaan Retriana. Bahkan hingga “Gadis Corona” itu tewas, Auric tidak diperkenan lagi melihat wajah kekasihnya.
Auric sedih sekali. Diam-diam ia kembali mengucurkan air mata. Tak terasa dada baju koko yang ia pakai, basah akibat air mata sedihnya.
Terakhir kali ia ketemu Retriana saat gadis itu baru pulang dari Puskesmas Desa Wonosari, yang bersebelahan dengan kantor desa setempat.
Di sepanjang perjalanan pulang ia merangkul tubuh Retriana yang batuk-batuk kecil dan pilek akibat diguyur gerimis petang, tiga hari lalu.
Auric tidak berpikiran buruk tentang kekasihnya tersebut. Ia menganggap itu pliek dan batuk-batuk biasa akibat guyuran hujan.
Mujur tak dapat diraih, malang pun tak bisa ditolak. Ternyata Retriana demam akibat infeksi virus corona diseases. Dua hari setelah sakit, Retriana kejang-kejang dan tewas seketika.
Perasaan Auric benar-benar hancur. Emosinya sebagai kekasih bergejolak dibakar kesedihan. Ya Allah…
Mobil jenasah Retriana itu diberangkatkan ke pemakaman umum. Dalam perjalanan, rekan kerja Retriana, Barnabas menanyakan ikhwal kematian “gadis corona” ini ke pada dokter Lily.
“Baru kemarin ia sakit setelah ikut menertibkan kematian seorang anggota dewan,” kata Barnabas.
“Itulah ajal, Mas Barnabas. Padahal ketika ia tugas melakukan penertiban orang terinfeksi vicod-19, sikap dan caranya sangat profesional. Ia begitu rapi saat berbusana dengan masker ketat menutup hidung dan mulutnya. Tapi ketentuan Allah SWT tak sama dengan keinginan kita. Akhirnya Retriana meninggal dunia,” kata dokter Lily dengan rona wajah prihatin.
Sesampainya di komplek pemakaman, warga dari dua desa ramai mengepung wilayah itu. Selain membawa kayu dan parang panjang, masyarakat juga menutup liang lahat untuk jenasah Retriana yang baru selesai digali tersebut.
“Kami tidak menerima mayat manusia korban virus corona yang akan dikubur di sini!” teriak seorang laki-laki berwajah beringas dengan parang panjang di tangannya.
“Tapi Pak,” kata Ketua GTGTPVC, Ardian Aritonang.
“Tidak ada tetapi. Kami minta agar mayat ini segera dikubur di tempat lain saja. Kami khawatir warga desa di sekitar pemakaman ini akan tertular virus corona,” tegasnya.
Setelah terjadi pertikaian mulut, akhirnya rombongan jenasah memilih mundur dari tempat itu. Hari mulai gelap. Iring-iringan jenasah meninggalkan tempat itu. Hari mulai gelap. (*)
Palembang, 12 April 2020
Cerita pendek ini terinspirasi dari kisah pilu dari penolakan jenazah perawat Corona di Semarang
www.cnnindonesia.com