Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Gita Cinta SMA, Hujan di Ujung Sore

April 24, 2025 15:50
IMG-20250424-WA0052(1)

Oleh: A.Yudi
Alumnus IPA 1 SMAN Bangil 1983

HATIPENA.COM – Cerpen Romantis Fendik dan Ening, dengan Pendekatan Psikologi Cinta dan Penyembuhan Emosional

Langit muram seakan tahu, ada sesuatu yang tak akan kembali sama. Hujan mengguyur jalanan, menenggelamkan suara-suara kota, menyisakan denting waktu di dalam mobil yang terparkir sunyi di depan sebuah kafe kecil—tempat kenangan semasa SMA yang menyimpan jejak yang belum selesai.

Fendik duduk diam, menatap wiper yang bergerak lambat. Di tangannya, sebuah kotak kecil dibuka dan ditutup berulang kali. Itu bukan sekadar cincin. Itu keberanian yang sudah ia kumpulkan sejak dulu—dari bangku SMA hingga hari ini. Napasnya berat. Berkali-kali ia mencoba menyusun kata, tapi setiap kalimat gugur di dadanya, tenggelam oleh degup yang tak karuan.

Dan akhirnya, pintu kafe terbuka.

Ening melangkah cepat ke mobil, syal abu membalut lehernya, rambutnya sedikit basah. Ia menyisihkan rambut dari wajahnya dan tersenyum kecil. “Kamu kelihatan aneh, Dik. Ada apa?”

Fendik menoleh, matanya tak lagi bersembunyi.

“Aku harus bilang sekarang, Ning. Atau aku bakal nyesel seumur hidup,” suaranya pelan, tapi jelas.

Ening terdiam, tubuhnya menegang.

“Aku nunggu kamu. Sejak lama. Sejak kita ketawa bareng di lorong kampus. Sejak kamu tanya aku suka teh atau kopi di perpustakaan. Bahkan sejak kamu mulai cerita tentang dia—pacarmu waktu itu.”

Matanya mulai memerah, tapi ia tak berhenti.

“Aku diem karena aku pikir aku kuat. Tapi ternyata aku cuma pengecut. Aku takut kehilangan kamu, padahal aku sadar… aku nggak pernah benar-benar punya kamu.”

Ia membuka kotak itu. Cincin sederhana—tak mewah, tapi penuh keberanian.

“Aku tahu ini gila, tapi kalau kamu masih punya ruang kecil di hati kamu… bolehkah aku tinggal di sana?”

Ening menatap cincin itu lama. Hujan terus turun, mengiringi isak yang tak pernah diundang.

“Fendik…” suaranya lirih. “Aku… baru putus dua minggu lalu. Tapi bukan berarti hatiku kosong. Hati ini… udah keburu penuh sama luka.”

Fendik mengangguk pelan, tak memaksa. Ia menutup kotak cincin itu seolah menutup satu babak dalam hidupnya.

“Aku nggak minta kamu sembuh hari ini, Ning,” katanya lembut. “Aku cuma mau kamu tahu… kalau suatu hari nanti kamu siap buka hati lagi, aku akan tetap di sini. Nggak harus jadi milikmu. Cukup jadi seseorang yang kamu ingat… sebagai rumah.”

Dan hujan terus turun, seperti langit pun ikut menangis. Tapi sore itu bukan tentang bahagia atau patah hati. Itu tentang keberanian mencinta—meski tak selalu harus memiliki.


Refleksi Psikologis dan Teoritis

Cerpen ini menyentuh dua dinamika penting dalam psikologi cinta: keberanian untuk menyatakan perasaan, dan proses penyembuhan luka emosional.

Menurut Dr. Guy Winch, dalam bukunya “Emotional First Aid” (2013), “Heartbreaks need treatment just as physical wounds do. Ignoring emotional pain doesn’t make it go away—it makes it deeper.” Karakter Ening merepresentasikan sosok yang memilih untuk tidak memaksakan cinta ketika dirinya belum pulih. Ini adalah bentuk kejujuran emosional yang sehat.

Sementara Fendik mencerminkan prinsip vulnerability atau kerentanan emosional. Brené Brown, seorang peneliti emosi dan empati dari University of Houston dalam “Daring Greatly” (2012), menulis: “Vulnerability is the birthplace of love, belonging, joy, courage, empathy, and creativity.” Keberanian Fendik membuka perasaan adalah ekspresi cinta dewasa yang tidak mengikat, namun menghidupkan.

Dalam konteks lokal, Jurnal Psikologi Integratif (Fitriyani, 2021) menyebutkan bahwa “kemampuan seseorang dalam mengelola kekecewaan cinta sangat dipengaruhi oleh tingkat emotional regulation dan self-awareness.” Fendik dan Ening keduanya menunjukkan pengendalian emosi yang dewasa: satu memilih jujur dalam harapan, satunya jujur dalam luka.

Jurnal internasional Journal of Social and Personal Relationships juga menyoroti bahwa “secure emotional expression and acceptance of rejection are key elements in maintaining psychological resilience and healthy relationships.” (Maner et al., 2017). Kisah ini justru menampilkan kekuatan emosional melalui pengakuan dan penerimaan, bukan hanya lewat hubungan yang jadi nyata. (*)

#menuliscerpenpramuka& persahabatan Cerpen ke 14


Referensi:

  1. Brown, B. (2012). Daring Greatly: How the Courage to Be Vulnerable Transforms the Way We Live, Love, Parent, and Lead. Gotham Books.
  2. Winch, G. (2013). Emotional First Aid: Practical Strategies for Treating Failure, Rejection, Guilt, and Other Everyday Psychological Injuries. Plume.
  3. Fitriyani, A. (2021). “Regulasi Emosi dan Pemulihan Pasca-Putus Cinta pada Remaja Dewasa Awal.” Jurnal Psikologi Integratif, Vol. 9, No. 2.
  4. Maner, J. K., et al. (2017). “Romantic rejection and resilience: The emotional regulation of love loss.” Journal of Social and Personal Relationships, 34(4), 548–570.