Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

Hukum dan Keadilan di Negeri yang Sakit

March 27, 2025 05:59
IMG-20250325-WA0126

Cerpen Rizal Tanjung

HATIPENA.COM – Di dalam sebuah ruangan gelap dan luas, dinding-dindingnya penuh buku-buku tebal yang berdebu. Meja bundar dari kayu tua di tengah ruangan menjadi saksi bisu dari sebuah diskusi paling sengit yang pernah terjadi. Malam itu, para filsuf, ilmuwan, dan cendekiawan dari berbagai zaman berkumpul, dipanggil oleh entah siapa, untuk membahas satu topik: Hukum dan Keadilan di Negeri yang Sakit.

Cahaya lilin redup menari-nari di atas meja, menciptakan bayangan yang bergerak seiring napas para pemikir besar ini. Di antara mereka, seorang pria berjubah lusuh dengan rambut berantakan berdiri. Sokrates. Ia menyapu pandangan ke sekeliling ruangan, menatap wajah-wajah yang ia kenal dari berbagai era. Ia tersenyum sinis sebelum akhirnya berbicara.

Sokrates:
“Keadilan,” katanya dengan suara berat, “adalah konsep yang seharusnya melayani kebenaran. Namun, di negeri ini, keadilan telah menjadi komoditas. Sama seperti anggur di pasar Athena dulu. Siapa yang membayar lebih, dialah yang menang.”

Di ujung meja, Karl Marx mengetuk-ketukkan jarinya di atas kayu tua itu. Matanya menyipit, penuh amarah yang tertahan.

Karl Marx:
“Jangan bertele-tele, Sokrates! Ini semua bukan tentang keadilan, tapi tentang kelas dan modal! Hukum di sini adalah alat borjuasi, digunakan untuk menindas proletariat. Uang mengendalikan segalanya—termasuk hakim, jaksa, dan bahkan media!”

Terdengar suara tawa kecil dari sudut lain ruangan. Seorang pria bersandar santai di kursinya, mengenakan jas rapi dengan senyum penuh arti. Niccolò Machiavelli.

Machiavelli:
“Ah, Marx… Aku tak akan membantahmu. Tapi bukankah itu wajar? Kekuasaan bukan soal moralitas, melainkan strategi dan kelicikan. Para penguasa negeri ini paham betul: hukum bukan untuk melindungi rakyat, tetapi untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Jangan naif.”

Sebelum Marx bisa membalas, suara ketukan keras menghentikan semua pembicaraan. Friedrich Nietzsche menatap mereka dengan mata tajam, wajahnya penuh dengan ekspresi penghinaan.

Nietzsche:
“Ha! Kalian semua membahas hukum seolah-olah itu sesuatu yang sakral! Hukum di negeri ini hanyalah topeng dari kehendak untuk berkuasa. Para hakim, jaksa, dan aparat hukum bukanlah pencari kebenaran—mereka adalah pelayan bagi yang lebih kuat. Keadilan? Itu hanya dongeng untuk menenangkan budak-budak moral!”

Suara berat lainnya muncul dari dekat tumpukan dokumen kasus yang berserakan di lantai. Michel Foucault, duduk di sana dengan mata penuh perhitungan.

Foucault:
“Kalian masih terpaku pada konsep keadilan yang klasik. Kalian berpikir hukum seharusnya adil? Tidak! Hukum adalah alat kontrol. Ia adalah panopticon yang mengawasi, menindas, dan menentukan siapa yang boleh hidup nyaman dan siapa yang harus menderita. Negeri ini? Hanya eksperimen kekuasaan yang sudah berjalan terlalu lama.”

Di sisi lain, seorang lelaki berjubah putih dengan janggut panjang, Ibn Khaldun, mengelus janggutnya sambil bergumam.

Ibn Khaldun:
“Menarik… Dalam sejarah, hukum memang selalu menjadi bagian dari politik kekuasaan. Negara yang sakit memiliki hukum yang lebih sakit. Korupsi dalam hukum bukan sekadar fenomena, melainkan pertanda. Ini adalah tanda bahwa negeri ini telah memasuki fase kehancuran dalam siklus dinasti yang aku jelaskan berabad-abad lalu.”

Sementara itu, Aristoteles, yang sejak tadi diam, akhirnya menghela napas dan angkat bicara.

Aristoteles:
“Tapi hukum seharusnya didasarkan pada keutamaan dan kebajikan! Bagaimana mungkin negeri ini bisa sehat jika hukum dijadikan alat permainan? Negeri tanpa hukum yang adil akan runtuh karena ketidakpercayaan rakyatnya.”

Tiba-tiba, suara tawa keras menggema di ruangan. Seorang pria dengan mata tajam, Adam Smith, menggelengkan kepalanya.

Adam Smith:
“Kalian ini terlalu dramatis! Ini semua bukan soal keadilan atau moralitas, tapi soal mekanisme pasar. Hukum di negeri ini telah menjadi bagian dari ekonomi—supply dan demand. Permintaan akan putusan bebas meningkat, maka harganya naik. Hakim dan jaksa bukan penegak keadilan, mereka hanyalah pedagang dalam pasar hukum.”

Suara keras buku yang ditutup dengan kasar membuat semua mata beralih. Noam Chomsky, yang sejak tadi membaca, menatap mereka tajam.

Chomsky:
“Bukan hanya hukum yang mereka kendalikan, tetapi juga narasi. Kalian berpikir keadilan bisa ditegakkan jika rakyat tidak tahu apa yang terjadi? Mereka yang berkuasa mengendalikan berita, menyaring informasi, membentuk kesadaran publik! Kasus-kasus besar bisa menghilang dari berita, sementara kasus kecil bisa diperbesar untuk mengalihkan perhatian rakyat. Ini bukan sekadar ketidakadilan hukum, ini adalah manipulasi kesadaran massal!”

Dari sudut lain, seorang pria dengan sorban hitam dan tatapan tajam, Ali bin Abi Thalib, bersuara.

Ali bin Abi Thalib:
“Seharusnya, hukum ditegakkan berdasarkan keadilan dan kebenaran. Tapi di negeri ini, hukum dipermainkan oleh mereka yang memiliki kekuasaan. Aku pernah berkata: ‘Kekuasaan tanpa keadilan adalah tirani.’ Dan kini aku melihat tirani itu merajalela.”

Keheningan sejenak. Kemudian, suara berat menggema di ruangan. George Orwell, dengan mata penuh kekecewaan, berbicara.

Orwell:
“Aku menulis tentang ini dalam 1984. Negeri ini bukan sekadar memiliki hukum yang korup, tapi juga menciptakan sistem yang membuat rakyat terbiasa dengan ketidakadilan. Mereka telah diprogram untuk menerima bahwa hukum itu memang selalu bisa dibeli. Ini bukan sekadar mafia hukum. Ini adalah distopia yang berjalan nyata.”

Dari sudut ruangan, suara desahan panjang terdengar. Albert Einstein, yang sejak tadi sibuk mencoret-coret rumus di kertasnya, mengangkat wajah.

Einstein:
“Sederhana saja. Hukum di negeri ini seperti hukum relativitas waktu: bagi orang miskin, waktu di penjara terasa panjang, tetapi bagi orang kaya, hukum bisa dipercepat atau bahkan dihentikan sama sekali.”

Suasana ruangan semakin panas. Semua tokoh berdebat dengan suara semakin tinggi. Hingga akhirnya, pintu ruangan terbuka dengan suara keras. Seorang lelaki berbaju putih dengan tangan kotor penuh tinta hukum masuk. Ia adalah rakyat biasa, dengan tatapan lelah.

Rakyat:
“Kalian boleh berdebat selama ribuan tahun, tapi di luar sana, kami hanya ingin satu hal: keadilan yang bisa dijangkau oleh semua orang. Kami lelah melihat hukum hanya menjadi permainan bagi mereka yang berduit.”

Ruangan pun hening. Para filsuf dan cendekiawan itu saling menatap. Untuk pertama kalinya, mereka tak punya jawaban yang pasti.

Malam semakin larut. Tapi satu hal jelas: di negeri yang sakit, hukum bukanlah dokter yang menyembuhkan—melainkan penyakit yang membuatnya makin parah.(*)

Padang, 2025