Oleh: Geger S. & M.Taufik
Alumnus 3C SMP N 1 Bangil 1983
HATIPENA.COM – Langit siang itu biru sempurna, seperti kanvas harapan yang tak selesai dilukis. Di tepian bekas tambang yang sunyi, sekelompok mahasiswa berbalut jaket lapangan biru menapaki tanah merah yang pernah dilukai. Mereka tak sedang melakukan kunjungan biasa. Mereka sedang menulis perhitungan, mencatat luka, dan menyusun solusi.
Di balik semangat itu, berdiri Dr. Geger Suharmono, dosen senior yang dikenal gigih menanamkan ilmu tidak hanya lewat teori, tapi lewat pengalaman langsung di lapangan. Dengan wajah tenang dan pandangan tajam, ia mengawasi anak didiknya bekerja, sambil mengutip lembut ucapan Rachel Carson, ilmuwan lingkungan legendaris: “The more clearly we can focus our attention on the wonders and realities of the universe about us, the less taste we shall have for destruction.” (Carson, Silent Spring, 1962).
Naila, mahasiswi akhir jurusan kimia lingkungan, mencelupkan botol bening ke dalam aliran air tambang yang keruh. Tangannya gemetar oleh semangat dan suhu tanah yang menyengat. “pH-nya rendah sekali, Pak. Indikasi logam beratnya tinggi,” ucapnya.
Dr. Geger menatap hasil pengukuran. “Itu tandanya tanah ini belum pulih. Tapi tugas kalian bukan hanya menguji, melainkan menyusun harapan ilmiah,” katanya.
Adit, mahasiswa teknik lingkungan, menimpali, “Logam berat seperti Cd dan Pb bisa mengendap dan mengancam ekosistem hingga puluhan tahun ke depan jika tidak ditangani.” Ia merujuk pada penelitian dari jurnal internasional:
Zhou et al. (2021) dalam Journal of Environmental Management menyatakan bahwa tambang terbengkalai adalah sumber utama kontaminasi logam berat yang memerlukan pendekatan bio-remediasi terpadu berbasis komunitas (Zhou, H. et al., 2021, JEM, Elsevier).
Dr. Geger mengangguk. “Pendekatan kalian harus kolaboratif. Libatkan masyarakat, gunakan data. Ingat, ilmu lingkungan bukan hanya menyelamatkan pohon, tapi juga manusia yang hidup di sekitarnya.”
Mereka berdiskusi di atas tikar lusuh, di antara alat uji dan catatan tangan. Tak ada whiteboard, tapi langit jadi atap kelas mereka. Salah satu referensi penting yang mereka bahas adalah buku “Lingkungan Hidup dan Peradaban” (Fitriani & Suryatna, 2022), yang menekankan pentingnya eco-literacy sejak bangku kuliah sebagai bekal pengambilan kebijakan berbasis sains dan empati sosial.
Diskusi berlanjut saat sore merambat. Data sementara menunjukkan adanya paparan arsenik dan mangan di atas ambang baku mutu air tanah, sejalan dengan temuan Safitri & Yulianto (2021) dalam Jurnal Ilmu Lingkungan Tropika yang mengkaji dampak tambang terhadap kualitas air di kawasan eksploitasi nikel di Indonesia bagian timur.
Dr. Geger menutup laptopnya perlahan. “Kalian sudah lihat sendiri. Tambang ini adalah ruang luka, tapi juga ruang belajar. Kalau kalian bisa menulis solusi dari sini, itu lebih dari sekadar gelar.”
Sore itu, cahaya matahari menyinari jejak kaki mereka di tanah merah. Tak banyak yang tahu bahwa di tempat sesepi ini, sains dan cinta lingkungan berpadu menjadi naskah perlawanan yang sunyi, namun berarti.
Di pinggir tambang yang senyap, berdirilah generasi muda yang bukan hanya mencatat data, tapi menyusun masa depan. (*)
Referensi yang Disisipkan dalam Cerpen:
- Zhou, H., Liu, Y., Wang, J., & Chen, X. (2021). Heavy metals contamination and remediation strategies in abandoned mine sites. Journal of Environmental Management, Elsevier.
- Safitri, N., & Yulianto, M. (2021). Analisis Kandungan Logam Berat di Air Tambang Bekas Eksploitasi Nikel. Jurnal Ilmu Lingkungan Tropika, 18(2), 135-142.
- Fitriani, A., & Suryatna, A. (2022). Lingkungan Hidup dan Peradaban: Tinjauan Interdisipliner. Jakarta: Pustaka Langit Biru.
- Carson, R. (1962). Silent Spring. Boston: Houghton Mifflin.
- Buya Hamka. (1996). Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas.
menulis40cerpen Cerpen ke 40