Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Jejak Rumi di Istanbul

January 29, 2025 16:46
IMG_20250129_160042

Cerpen L K Ara

HATIPENA.COM – Alya selalu merasa ada yang hilang dalam hidupnya. Ia datang ke Istanbul bukan hanya untuk melihat keindahannya yang legendaris, tetapi juga untuk mencari sesuatu yang lebih dalam. Sebuah panggilan yang sudah lama ia rasakan—sebuah tarian jiwa yang terasa jauh, namun selalu hadir dalam mimpinya. Ia ingin merasakan apa yang dirasakan Rumi ketika menari, ketika berbicara dengan Tuhan, ketika merasakan cinta yang mendalam.

Langkah Alya menyusuri jalanan Istanbul yang berdebu, di mana hiruk-pikuk kota bertemu dengan bisikan angin yang membawa aroma tulip dan sejarah. Setiap sudut jalan seperti menyimpan kisah yang tak terungkapkan. Di balik deru kendaraan dan langkah kaki yang tergesa-gesa, ia mendengar bisikan angin yang seolah memanggilnya.

“Cari tarian itu di dalam dirimu,” angin itu berkata, lembut namun penuh makna.

Alya melanjutkan perjalanan, menyusuri lorong-lorong sempit, di bawah langit biru yang perlahan memudar. Laut Marmara tampak begitu tenang, seakan tak peduli dengan apa yang terjadi di daratan. Sesekali ia berhenti, memandangi keheningan yang aneh, tetapi tidak ada yang memberikan jawaban. Rumi, ia yakin ada jejaknya di sini—di Istanbul, kota yang menjadi saksi bisu perjalanan spiritual sang penyair.

Hari demi hari berlalu, dan Alya merasa semakin jauh dari apa yang ia cari. Bahkan suara adzan yang menggema di udara, tak mampu menjawab keresahannya. Setiap langkah terasa hampa, setiap sudut kota hanya membawa pertanyaan tanpa jawaban. Ketika ia mendekati Masjid Biru, ia berhenti sejenak. Kubahnya yang menjulang tinggi memantulkan cahaya matahari yang terbenam, menciptakan aura misterius yang tak bisa dijelaskan. Namun, meskipun ia berdiri di sana, ia tidak merasakan apa yang diharapkan—jawaban atas pencariannya.

Suatu hari, saat ia berjalan di bazar yang ramai, Alya merasa terhenti oleh keramaian yang tiba-tiba mencengkeramnya. Orang-orang berteriak menawarkan barang dagangan, dan dunia seakan berputar begitu cepat. Tetapi Alya hanya bisa menatap kosong, merasakan bayangan sesuatu yang hilang—sesuatu yang tak pernah ia temukan meski sudah lama mencarinya.

Saat itu, ia teringat akan kata-kata angin yang pernah ia dengar: “Cari tarian itu di dalam dirimu.” Ia pun berhenti sejenak, memejamkan mata, dan menarik napas dalam-dalam. Di dalam keheningan itu, ia merasakan sebuah perubahan. Tarian yang ia cari ternyata bukanlah sesuatu yang harus ditemukan di luar dirinya, tetapi sesuatu yang terpendam dalam hatinya sendiri—suatu rasa cinta yang tulus, suatu ketenangan batin yang sudah lama hilang.

Rumi, yang selama ini ia cari di jalan-jalan Istanbul, ternyata ada di dalam dirinya. Cinta yang dicari tak perlu ditunggu, karena cinta itu selalu ada, dalam setiap detik, dalam setiap hembusan napas, dalam setiap perasaan yang muncul dari dalam jiwa.

Alya tersenyum, merasa lega. Tarian yang ia cari ternyata bukan tentang bergerak mengikuti irama dunia, tetapi tentang menemukan kedamaian di dalam jiwa, tentang merasakan cinta tanpa syarat. Di tengah keramaian Istanbul, ia menemukan ketenangan yang selama ini ia cari. Dan ia tahu, perjalanan ini bukan tentang tujuan, tetapi tentang perjalanan itu sendiri. (*)

Istanbul , 2019