Cerpen L K Ara
HATIPENA.COM – Di sebuah desa kecil yang dikelilingi hutan pinus, hiduplah seorang perempuan muda bernama Dara. Setiap pagi, Dara akan keluar ke kebun bunga kecil di belakang rumahnya. Dengan tangan telaten, ia memetik mawar, melati, dan kenanga, lalu menyusun semuanya menjadi karangan bunga yang indah. Bunga-bunga itu bukan hanya sekadar dagangan baginya. Setiap kelopak diselipkan doa, setiap susunan diiringi harapan untuk kebahagiaan, kedamaian, atau perpisahan yang abadi.
Pasar di desa itu selalu ramai oleh orang-orang yang datang membeli karangan bunga Dara. “Bunga-bungamu bukan sekadar wangi, Dara,” kata Bu Lasmi, pelanggan setia yang sering membawa bunga untuk makam suaminya. “Mereka membawa ketenangan. Seperti ada sesuatu yang lebih dari sekadar warna dan harum.”
Dara hanya tersenyum. Ia percaya bahwa bunga memiliki bahasa sendiri, bahasa yang hanya bisa dipahami oleh hati yang lembut.
Namun, ada satu pelanggan yang selalu membuat Dara bertanya-tanya. Seorang lelaki tua dengan langkah tertatih, yang datang setiap Jumat sore. Wajahnya penuh keriput, namun matanya menyimpan kehangatan yang tak biasa. Ia selalu membeli karangan bunga terbesar.
“Untuk siapa, Pak?” tanya Dara suatu hari, tak bisa lagi menahan rasa ingin tahu.
Lelaki itu tersenyum tipis. “Untuk istriku,” jawabnya singkat, sebelum pergi dengan karangan bunga di tangannya.
Dara penasaran. Ia tahu lelaki itu hidup sendiri di gubuk kecil di tepi desa. Istrinya telah meninggal bertahun-tahun lalu. Namun, ia tak pernah bertanya lebih jauh, menghormati keheningan yang sering kali lebih berarti daripada jawaban.
Suatu pagi, kabar duka menyebar di desa. Lelaki tua itu ditemukan tak bernyawa di gubuknya. Di samping tubuhnya yang damai, ada seikat bunga yang hampir layu, karangan bunga terakhir yang ia beli dari Dara.
Dara tergerak untuk mengunjungi rumah lelaki itu. Di sana, ia menemukan sesuatu yang membuat hatinya tercekat. Di sebuah meja kecil, terdapat puluhan foto seorang perempuan muda dengan senyum lembut, di samping bunga-bunga yang sudah kering. Di dinding, tertempel kertas dengan tulisan tangan: “Bunga adalah caraku merawat cinta, bahkan setelah maut memisahkan.”
Air mata Dara menetes. Ia kini mengerti mengapa lelaki itu selalu membeli bunga. Karangan bunga itu bukan sekadar hiasan. Mereka adalah perwujudan cinta yang terus hidup, bahkan ketika jasad telah tiada.
Hari itu, Dara membawa karangan bunga terindah ke pemakaman lelaki tua itu. Dengan hati yang penuh doa, ia meletakkannya di atas tanah basah, menyadari bahwa setiap bunga yang ia rangkai bukan hanya menyentuh kehidupan, tetapi juga abadi dalam cinta.
Kalanareh, 2024