Oleh : Benny, A.Yudi & M.Taufik Alumnus IPA 1 SMAN Bangil 1986
HATIPENA.COM – Di sebuah ruang guru yang hangat meski tanpa pendingin ruangan, tiga wanita duduk berdampingan. Bukan artis, bukan pejabat, tapi dampaknya menjalar jauh ke hati generasi penerus. Mereka adalah Bu Ana, Bu Ening, dan Bu Anis — tiga Kartini masa kini. Ketiganya alumnus IPA 1 SMAN Bangil 1986.
Pagi itu, tanggal 21 April. Di dinding terpajang banner bertuliskan “Selamat Hari Kartini: Tanpa Wanita, Dunia Serasa Hampa.”
Bu Ana tersenyum sambil mengoreksi tumpukan tugas matematika.
“Kalau tanpa dunia… wanita bisa apa ya?” gumam Bu Anis, membuka bekal nasi uduknya sambil tertawa kecil.
Bu Ening menimpali, “Maka itu, kita yang harus jaga dunianya… biar tetap bisa jadi cahaya.”
Candaan itu sederhana, tapi menyimpan makna dalam. Di balik kerudung yang rapi dan wajah yang mulai dihiasi keriput perjuangan, mereka tetap eksis — di kelas, di rumah, bahkan di hati murid-murid mereka. Mereka tidak hanya mengajar rumus, ejaan, atau sejarah. Mereka menanamkan harapan.
Tak lama kemudian, seorang murid kelas 6 masuk ke ruang guru. Namanya Sari. Matanya sembab, suaranya pelan.
“Bu Ana, boleh aku cerita?”
“Iya, sayang. Ada apa?” sahut Bu Ana, menyambut dengan senyum hangat.
“Mama bilang gak bisa ikut acara Kartini hari ini… lagi sibuk kerja.”
Bu Ening langsung merangkul pundaknya, “Gak apa-apa, Nak. Di sini ada kami. Kamu tetap Kartini kecil yang kuat, ya?”
Hari itu, panggung Kartini bukan hanya milik pahlawan dalam buku sejarah. Tapi milik para guru, ibu, dan perempuan biasa yang luar biasa. Mereka yang memilih tetap berdiri meski dunia kadang tak berpihak.
Kartini masa kini memang tak selalu berselendang putih dan berkebaya. Mereka bisa memakai daster, jas, bahkan seragam guru. Tapi semangatnya sama: berjuang untuk kehidupan yang lebih baik, bagi diri dan generasinya.
Dalam suratnya yang terkenal, Kartini menulis:
“Saya hendak bekerja bukan untuk mencari pujian orang, tetapi demi keyakinan hati.”
(Habis Gelap Terbitlah Terang)
Semangat ini hidup dalam sosok Bu Ana, Bu Ening, dan Bu Anis. Mereka bangun lebih awal, tidur lebih larut, menyiapkan pelajaran, membimbing murid, bahkan menjadi tempat curhat anak-anak yang kehilangan sosok ibu di rumah.
Dan di sinilah keindahan Islam juga bicara. Al-Qur’an memuliakan perempuan dengan sangat luhur. Allah berfirman:
“Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari satu jiwa, dan dari jiwa itu Dia menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.”
(QS. An-Nisa: 1)
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan bahwa ayat ini menegaskan kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam penciptaan dan kemuliaan. Maka, perempuan bukan objek, tetapi subjek yang aktif dalam membangun peradaban.
Tafsir Al-Maraghi menambahkan, “Mendidik perempuan sama halnya dengan mendidik satu generasi.” Maka perempuan adalah jantung peradaban — guru pertama yang menentukan arah sebuah bangsa.
Dalam QS. An-Nahl: 97, Allah menjanjikan balasan bagi siapa pun yang beramal saleh, laki-laki maupun perempuan, berupa kehidupan yang baik (hayatan thayyibah). Al-Qurthubi menegaskan bahwa amal dan pahala tak memandang gender, melainkan niat dan ketulusan.
Sebagaimana para pakar pendidikan modern menyimpulkan, guru perempuan memiliki efek emosional yang kuat dalam membentuk karakter murid. Psikolog pendidikan Dr. Ratna Wulan (2020) mencatat bahwa guru perempuan sering menjadi role model empati, kesabaran, dan ketegasan yang harmonis bagi anak-anak.
Hari Kartini bukan hanya selebrasi, tapi momentum kontemplasi. Bahwa perempuan — dalam segala perannya — adalah cahaya. Di balik papan tulis, di dapur rumah, di ruang kantor, dan di hati anak-anak yang sedang tumbuh mencari arah.
Kartini tidak hanya satu. Ia ada di mana-mana.
Selamat Hari Kartini.
Untuk Bu Ana, Bu Ening, Bu Anis…
Dan semua Kartini yang menjaga dunia tetap berdenyut dengan cinta.(*)
menuliscerpenpramuka&persahabatan Cerpen ke 19: