Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Ketika Sakit Membawa Nikmat

March 2, 2025 16:51
IMG-20250302-WA0094

Oleh Mila Muzakkar

Renungan Ramadan #1
HATIPENA.COM – Ingatanku kembali ke awal tahun 2024. Siang itu, di kursi ruang tamu, aku sibuk menelpon beberapa orang, berkoordinasi dengan tim dan mengurus persiapan Program Kelas Perempuan Muda Tangguh untuk perempuan muda marginal di wilayah Jabodetabek.

Program ini sudah kupersiapkan setahun sebelumnya, mulai dari membuat proposal program, proses seleksi tingkat Asia, hingga datangnya pengumuman yang menyatakan aku lulus mendapatkan funding dari Women Fund Asia, yang berbasis di India.

Senang, bangga, dan antusias. Perasaan itu memenuhiku. Terbayang-bayang sudah bagaimana project ini bisa berjalan mulus di lapangan. Tak ada emosi negatif yang hadir, semua positif.

Lalu, handphoneku berdering. Di sana, terlihat nama Y, laki-laki yang bekerja untuk suamiku. “Kak, datang kesini sekarang. Kak D (suamiku) sudah tidak sadar. Diajak bicara pun nggak nyambung. Kesini ya kak, nanti ada apa-apa,” nadanya sangat serius.

Seketika jantungku berdegup kencang. Tiba-tiba muncul rasa takut, emosi negatif satu-satu persatu berdatangan. Di luar hujan begitu deras.

Aku tinggalkan urusan program. Beberapa baju aku masukkan secara cepat ke tas travel, kupesan gocar, lalu menuju ke suamiku.

Di sana, kutemukan suamiku tertidur dengan hanya berselimut handuk. Ia tak sadar sepenuhnya. Kupeluk ia sambil menangis, “Kamu kenapa? Sakit apa? Kok nggak bilang?

Ia memelukku, setengah sadar ia berucap, “Nggak papa kok. Cuma sakit biasa.”

Tapi malam itu, ia tak biasa. Beberapa kali aku mengajaknya ke rumah sakit, tapi ia menolak. “Nanti aja. Istirahat aja di sini.”

Malam makin larut. Dalam kebingungan dan ketakutan, aku tak tahu harus berbuat apa. Belum pernah sebelumnya aku menghadapi orang sakit. Tak terbiasa pula aku berurusan dengan rumah sakit. Lalu teringat tetanggaku, seorang perawat di salah satu rumah sakit. Kepadanya, aku konsultasi lewat telepon. Aku putuskan membawanya ke rumah sakit.


Malam pertama di Instalasi Gawat Darurat (IGD) terasa mencekam. Di sekeliling ruangan, tubuh-tubuh lemas tak berdaya berjejer di atas ranjang. Suara-suara yang meringis kesakitan, sesekali teriakan, dan tangisan menggema di udara. Emosi-emosi negatif terus berusaha memenuhiku. Ini pengalaman pertamaku menghabiskan malam di IGD. Mata ini tak bisa terpejam.

Saat itu, fokusku hanya merawat suami di rumah sakit. Sebab, hanya aku sendiri yang menjaganya. Tak ada yang lain. Project tertunda, beberapa kegiatan yang sudah direncanakan tak dapat aku ikuti. UAS kuliah pun aku kerjakan di rumah sakit. Rasa sedih dan takut kehilangan hal-hal yang sudah aku usahakan, sekilas terlintas.

Malam kedua dan seterusnya, suasana sudah lebih baik. Suamiku sudah mulai sadar. Ia sudah nyambung di ajak bicara. Kepadanya, kuceritakan semua kejadian sebelumnya. Terutama hal-hal lucu, sekaligus menakutkan, yang terjadi sebelumnya. Misalnya, celana ia pakai sebagai baju, bilangnya minta air minum tapi maksudnya selimut, yah intinya fungsi otak tak bekerja dengan sempurna.

“Masa sih?,” responsnya. Ia tak percaya dengan apa yang dilakukannya. Lalu ia menertawai dirinya sendiri.

“Mungkin sudah waktunya kamu berbakti ke suami,” katanya kemudian sambil tertawa.

kalimat itu sejenak mengagetkanku. “What? Apakah maksudnya selama ini aku kurang perhatian?” Aku membatin. Memang sih selama lebih 10 tahun bersama, aku tetap melakukan kerja-kerja kemanusiaan di lapangan. Juga bekerja sebagai konsultan lepas yang cukup sering ke luar kota.

Kami lalu bercerita banyak hal, dari obrolan ringan sampai yang serius. Dari soal rumah tangga, hingga isu kemanusiaan.

Saban ia bangun, kami ngobrol lagi, hingga terjadi banyak “deep talk” tentang apa yang sudah kami lalui, apa yang keliru, dan what’s next?

Momen-momen ini justru jarang terjadi ketika kita di rumah. Kita lebih banyak menghabiskan waktu dengan kesibukan masing-masing. Kita juga memandang tak perlu ada waktu khusus untuk ngobrolin “tentang kita”.

Peristiwa ini membuatku merenungkan hal-hal yang bermakna, yang bisa dilihat sebagai kenikmatan jika menggunakan growth mindset. Pertama, merawat orang terdekat yang sakit mungkin akan menghilangkan beberapa kesempatan penting seperti, melakukan pekerjaan yang menghasilkan uang, menghadiri acara yang bisa mengembangkan karir, nongkrong bareng teman-teman dekat. Tapi di balik itu, kesempatan itu menjadi momen “quality time” bersama orang terdekat, yang bisa jadi selama ini luput dalam keseharian.

Kedua, kondisi sakit yang Tuhan berikan bukan hanya tentang ujian kesabaran dan ketakutan, tapi juga tentang kelapangan hati untuk berkorban pada orang yang kita cintai. Dan itulah bentuk cinta yang paling otentik. Sebagaimana Nabi Ibrahim lapang dada ingin mengurbankan anaknya pada Tuhan yang dicintainya.(*)

Sabtu, 1 Maret 2025