Diceritakan Kembali Oleh Ruhina Sinin
SAYAP-SAYAP patah kala jari-jemariku menulis kalimat-kalimat ini, karena mataku yang tak sanggup lagi menampung perihnya air mata.
Kawan…
Semua yang disyariatkan Allah adalah benar yang harus kita lakukan. Dan Syariat itu tidak pernah salah dan keliru yang menjadikannya hancur adalah pribadi manusia.
Sebut saja namaku Abdullah. Aku diberi Allah pendamping yangg supel, pintar, rajin dan sangat sholehah, sebut saja namanya Aisyah, hidupku sangat bahagia apalagi Aisyah telah memberiku dua orang putra dan satu orang putri. Rumah tanggaku sangat bahagia.
Suatu hari hatiku diuji oleh Allah, aku jatuh cinta pada seorang gadis yang sangat cantik dan lebih mudah, sebut saja namanya Fatimah yang lebih membuatku makin kuat ingin menikah lagi dengan Fatimah, karena ia sangat taat menjalankan ibadah dan bersedia menjadi istri keduaku.
Akhirnya aku putuskan untuk menikah dengan Fatimah. Aku sudah memberi tahu istriku, namun Aisyah tidak menjawab apa-apa.
Yang kulihat hanya airmata yang tiba-tiba jatuh saat kusampaikan itu aku tak peduli…toh nanti juga dia akan menerima.
Terjadilah pernikahan antara aku dan Fatimah. Awal-awalnya memang agak susah tapi lama-kelamaan akhirnya baik- baik saja, hanya Aisyah sedikit lebih pendiam setelah aku menikah lagi.
Waktu terus bergulir, tidak terasa aku sedang membina rumah tangga dengan Fatimah sudah satu tahun dan dikaruniai seorang putri yang sekarang berusia enam bulan. Sementara Aisyah tidak banyak yang berubah darinya.
Hari hari terus bergulir dan aku mulai bosan dan jenuh, sehingga terjadilah badai dalam keluargaku.
Aku ingin menceraikan salah satu istriku. Akhirnya terjadi pertengkaran dalam keluargaku dan jatuhlah talakku pada Aisyah. Kulihat ada air mata di wajahnya namun dia terus diam dalam kebisuan air mata.
Kubiarkan Ghozy, Ghassan dan Balqis anak-anakku ikut dengan Aisyah karena aku tahu mereka pasti akan memilih ibunya.
Tahun berganti tahun. Hidupku dengan Fatimah pun mulai goyang. Sebenarnya aku sangat bahagia dengannya namun sifat manja dan tidak memahami perasaanku membuatku tidak nyaman, dan tak jarang rumah tangga kami mulai diterpa pertengkaran.
Suatu ketika kami pernah bertengkar hebat dan membuat aku enggan pulang ke rumah, aku pun mampir di sebuah masjid, kularutkan diri dalam sholat.
Dalam masjid itu pun aku rindu dengan Aisyah dan anak-anakku. Tapi di mana mereka? Tujuh tahun yang silam saat aku mentalak Aisyah,
Ghozy putra pertamaku berusia lima tahun, dan Ghassan berusia empat tahun sementara Balqis berusia satu tahun.
Hingga kini aku tak pernah mananyakan kabar mereka apalagi mengirimkan mereka biaya hidup.
Sungguh makin membuatku menderita memikirkannya. Saat itu hujan turun dengan lebatnya. Aku pelan-pelan dan diam-diam mulai mencari Aisyah dan anak-anakku, namun hasilnya nihil.
Aku mulai menanyakan kiri kanan pada keluarganya atau pada teman-teman Aisyah tapi tetap tak ada informasi yang jelas.
Mereka hilang bagai ditelan bumi.
“Di mana mereka ya Allah.” Tanyaku dalam hati.
Aku makin ketakutan manakala tak mendapat info apa-apa tentang mereka.
Pikiranku makin tak menentu.
Di sisi lain Fatimah hidup denganku dengan sejuta tuntutan.
Hari hari pun terus berlalu.
Bahkan hampir enam bulan aku mencari mereka.
Hingga pada suatu hari sehabis mengikuti kajian. Tiba-tiba seorang ustadz mendekatiku, “Abdullah! Apakah kau sudah bertemu Aisyah dan anak-anakmu?” Kugelengkan kepala dengan air mata kerinduan.
Ustadz itu berkata, “Insyaallah mereka baik-baik saja,” perkataan sang ustadz membuatku menatap wajahnya lekat-lekat.
Wajah sang ustadz seolah tersirat ia mengetahui keberadaan Aisyah dan anak-anakku.
Ternyata benarlah dugaanku. Sang ustadz memberi tahu setelah kudesak di mana Aisyah dan anak-anakku.
Aisyah menghilang dalam hidupku dan menetap di sebuah kota yang sangat jauh dari tempat yang pernah menjadi kota tempat kami saat membina rumah tangga.
Jauh dan sangat jauh. Jarak tempuhnya empat hari perjalanan. Di sebuah pondok pesantren di pelosok desa tepat di lereng gunung.
Saat itu aku berangkat bersama sang ustadz sebagai petunjuk dan mediator yang mempertemukan aku dengan Aisyah.
Perjalanan yang panjang membuat aku dan sang Ustadz ingin beristirahat sejenak.
Mampirlah kami di salah satu masjid di tempat itu. Dadaku bergemuruh, perasaanku tak menentu. Aku jadi ketakutan manakala anak-anakku tidak mau melihatku apa lagi menerimaku. Terus kuyakinkan hatiku.
Tiba-tiba lamunanku hilang oleh merdunya suara adzan. Air mataku menetes menghayati kalimat sang mu’adzin.
Saat itu waktu Magrib, aku dan Ustad memutuskan bermalam di masjid tersebut.
Allahu Akbar …
Suara imam menggema, aku tenggelam dalam sholat oleh tartil bacaan imam.
Menunjukkan sangat fasih dalam melafalkan Al-Quran. Setelah selesai salat sang imam memberikan tausyiah singkat tentang “Hargailah Orang yang Selalu Bersama Kita”. Lisan sang imam benar-benar mengiris hatiku.
Keesokan hari di kala subuh menjelang aku berdoa, “ya Allah, pertemukan aku dengan Aisyah dan anak-anakku.”
Adzan subuh pun berkumandang.
Sebelum sholat sang ustadz berkata, “insyaallah pagi ini kau akan bertemu dengan putra pertamamu.
Makin bergemuruh hatiku ditambah lagi suara sang imam membuat para jama’ah memecahkan tangisan.
Sungguh desa dan tempat yang dipilih Aisyah benar-benar sangat damai dari kebisingan dunia.
Benarlah, pagi itu aku bertemu dengan putra sulungku Ghozy yang tiada lain adalah imam yang dari tadi malam membuat jamaah menangis karena tartilnya membaca Quran.
Hatiku bergemuruh…
Dalam usia yang sangat mudah ia telah memiliki ilmu setara gurunya.
Hatiku kembali bergemuruh mana kala melihatnya tumbuh menjadi penghafal Quran.
Menetes air mataku kupeluk dia erat sekali, kutanyakan kabar ibu dan adik-adiknya.
Dengan gaya bahasa yang sangat sopan Ghozy menceritakan perjalanan ibunya menanggung ketiga anaknya tanpa ada sosok ayah.
Ghozy telah didewasakan oleh ilmunya walau ia baru berumur empat belas tahun.
Kisah perjalanan istrinya didengar dengan air mata tak terbendung.
Hati Abdullah makin merinding kala Ghozy mengatakan, bahwa adiknya Ghassan yang usia beda setahun dengan Ghozy telah berangkat ke Madinah karena prestasinya.
Di sisi lain Balqis yang berusia sembilan tahun telah selesai mengikuti program kelas tahfidz. Ghozy dengan tegas mengatakan kami semua bisa seperti yang abi dengar karena sosok ibu yang telah abi tinggalkan.
Umi membesarkan dan mendidik kami untuk lebih mencintai Allah.
Umi memberi kami makan dari hasil kerjanya sebagai orang yang mencuci piring di dapur pondok ini.
“Abi … Umi tak pernah mengajari kami untuk membencimu. Tapi ketahuilah kau adalah ayah kami, namun kau tak layak menjadi suami dari ibuku.”
Kalimat itu terdengar bagai petir. Dunia terasa gelap. Wajahku menunduk, aku tak tahu harus berbuat apa.
Untukmu yang sedang membaca tulisanku, jangan kau berbuat sepertiku.
Seseorang yang ada di sampingmu sekarang adalah orang terbaik yang dipilih Allah untukmu, maka jangan sia-siakan.
Aku tak bisa melanjutkan tulisanku ini karena air mataku menghalangi pandanganku.
Untukmu istriku Aisyah. Walau aku tak layak untukmu, kini kau buktikan bahwa sikapmu adalah cerminan dari namamu.
Hal terindah dalam hidupku, kau telah menjadikan anak-anakku sebagai jundi-jundi sejati. Untukmu istriku Aisyah. Di kala Allah mempertanyakan diriku tentang anak-anakku.
Apa yang menjadi hujjahku…?
“Untukmu istriku Aisyah. Aku telah membuang berlianku. Sungguh anak-anak kita tumbuh menjadi anak-anak mutthaqiin.” Satu hal yang kumohon pada Allah.
Agar aku diberi kesempatan untuk berkumpul dan menembus dosa dan kesalahan dengan kalian.
Ibroh yang bisa diambil dari kisah ini, bahwa bersyukur selalu kepada Allah dengan orang-orang terdekat saat ini, lengkapi kekurangannya, tutupi cacatnya, pujilah Allah selalu atas kebaikannya.
Kisah nyata yang mungkin bisa diambil ibrohnya terutama bagi kaum Adam yang ingin beristri lebih dari satu. Poligami itu disyari’atkan bukan maksiat dan bukan untuk dipermainkan, maka berpikirlah sebelum menyesal kemudian.
Nikahilah dua, tiga dan empat istri jika mampu. Jika tidak mampu, satu istri sudah cukup untuk dimuliakan.
Barakallahu Fiikum. Semoga Allah merahmati penulisnya. Izin berbagi kisahnya.
(Postingan dari grup Fiqih Keluarga Muslim)