Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

Kloset

May 31, 2025 12:29
IMG-20250531-WA0056

Cerpen Fanny J. Poyk

HATIPENA.COM – Jejeran kloset yang berwarna putih mengkilat di gerai-gerai sederhana itu tersusun rapi. Lokasinya dinamakan Pasar Rumput, tak jauh dari Taman Ismail Marzuki atau TIM. Para penjualnya terlihat sibuk membersihkan bagian-bagian kloset yang mungkin saja menurut mereka kurang terlihat bersinar.

Benda itu kemudian mulai terlihat berkilat seperti baru. Para pedagang membersihkannya dengan ketelitian yang prima. Proses pembersihan ini seolah mengirimkan kisah tersendiri kala aku menatapnya dari balik kendaraan online yang kutumpangi. Aku hendak ke TIM untuk menghadiri peluncuran buku seorang teman sastraku. Imajinasiku mulai berjalan liar dan membuatku sedikit mual tatkala membayangkannya.

Aku memikirkan tentang siapa saja yang pernah menduduki kloset tersebut, lalu tiap hari buang hajat melalui benda-benda porselein yang berwarna putih bersih itu. Tangan-tangan pedagang yang membersihkannya, tentu memerlukan perjuangan yang agak rumit ketika awal mula mereka membersihkan para kloset yang berjejer rapi di gerai-gerai sederhana Pasar Rumput. Aku memprediksi, tentunya ketika awal pertama kali dibeli, kloset-kloset itu sudah berusia puluhan tahun digunakan oleh si pemilik. Atau barangkali saja mereka sudah mendiami hotel-hotel mewah selama beberapa dekade. Dan imajinasi mulai merasuki benakku, melalui kloset-kloset tersebut, pastinya segala bentuk tinja yang ke luar dari mereka yang mendudukinya, bisa berujud berbagai rupa ada yang mencret atau sekeras batu.

Atau bisa juga terjadi hal-hal yang porno di atas kloset itu, manusia dengan libido liarnya melakukan hal-hal terlarang di atas kloset tersebut, bisa jadi di situ ada peristiwa perselingkuhan yang dilakukan agar semua dosa tertutup oleh benda berbentuk lonjong yang berada tersembunyi di ruang dua kali dua meter yang disebut toilet itu. Atau…ah aku mengutuki imajinasi liarku, dan kembali ke topik semula tentang kisah sebuah kloset yang menjadi sarana pembuangan kotoran manusia.

“Tampaknya, para pembersih dan penjual kloset itu tidak peduli siapa yang menduduki kloset-kloset yang mereka jual. Yang penting uang masuk ke kantong mereka, dan kloset yang sudah dipoles itu, terlihat mengkilat seperti baru lalu siap dijual kembali, Bu.” Ujar si sopir kendaraan online yang mengantarku hari itu. Sepertinya dia tahu apa yang kupikirkan.

Aku mengiyakan pendapatnya. Namun pikiranku kembali merambah ke mana-mana, terutama tentang kisah kehidupan manusia dari ranah marjinal yang keberadaan mereka berbanding seratus delapan puluh derajat dengan para taipan yang pernah buang hajat di kloset itu. Kemudian, kisah penggunaan kekuasaan, korupsi, permainan politik, tipu-menipu pembuatan pupuk yang merugikan para petani, sogok-menyogok hingga penguasaan laut melalui HGB, menari-nari di kepalaku. Semua itu bertujuan sama dan berakhir sama, demi untuk sesuap nasi, lalu membuang tinja yang ada di dalam perut mereka melalui kloset yang mereka duduki. Ya, lagi-lagi kloset menjadi pembuangan terakhir.

“Begitulah, Bu, perputaran kehidupan. Sekaya apa pun manusia, tetap kloset menjadi tujuan utama tatkala mereka bangun pagi. Tak ada kloset, manusia bisa kelabakan, apalagi zaman penggunaan jamban seperti dulu saya kecil sudah tak ada, kalau mau buang air besar di halaman ya bisa saja, cuma baunya ke mana-mana dan meresahkan orang banyak,” ujar si sopir lagi.

Karena penasaran, aku turun dari kendaraan online tepat di depan sebuah gerai kloset yang berada persis di depan jalan raya Pasar Rumput itu, niatku untuk ke TIM kutunda sejenak. Aku tidak bermaksud untuk membeli salah satu dari kloset itu, aku ingin menelisik lebih dalam seberapa seriusnya para pedagang ini membersihkan, mengampelas dan memoles ulang para kloset yang tentunya awal dibeli, bisa jadi berwarna kecoklatan atau ada bekas tempelan ragam tinja manusia yang telah berkerak.

“Dari mana saja kloset-kloset ini didapatkan, Pak?” tanyaku pada seorang bapak penjualnya.

“Ya dari mana-mana, Bu. Tapi yang paling banyak saya peroleh dari perumahan mewah dan hotel-hotel.” Jawabnya.

“Ada kisah yang seru tidak ketika Bapak membeli kloset-kloset ini?” Tanyaku seperti jurnalis sebuah stasiun TV.

“Yang seru paling cuma tingkat kebersihan kloset. Jika kami menerimanya sudah mengkilat dan tidak bau, itu artinya si pemilik rajin membersihkan kamar mandi dan klosetnya. Apabila kloset berwarna coklat tua dan penuh kerak tinja, itu artinya si empunya sosok yang jorok dan tidak memiliki tingkat kebersihan yang prima. Dari kolset akan terlihat bagaimana karakter si pemiliknya. Meski si pemilik terlihat rapi, keren dan cantik atau klimis, jika klosetnya terlihat kotor dan berbau, itu pertanda perilakunya dan karakter sama seperti bentuk klosetnya. Tapi banyak juga kloset yang sudah dimanipulatif dengan beragam benda atau cairan pembersih. Itu pertanda pemiliknya ahli strategi di dalam memanipulasi sebuah benda. Biasanya kloset dari hotel-hotel yang terlihat bersih dan kinclong karena ada pegawai hotel yang telah bekerja keras untuk membersihkannya. Pekerjaan membersihkan kloset dan seluruh isi toilet, sama seperti membersihkan korupsi yang tak terlihat, para koruptor membuang kotorannya tanpa rasa bersalah, sementara ada orang lain yang membersihkan dan menutupi kotoran itu, mencium aroma tak sedapnya. Hanya Tuhan yang tahu apa yang mereka lakukan, suatu saat balasan akan menimpa mereka, misalnya seperti kloset yang kepenuhan dan harus dikuras, lalu disedot semua isinya dan dibuang ke laut.” Tutur si penjual kloset dengan narasi penuh sindiran halus, rinci dan jelas.

Aku merenungi ucapannya. Tiba-tiba aku ingin segera pulang ke rumah, melihat apakah klosetku berwarna kecoklatan atau sudah kinclong bersinar? Ah, manusia, selalu tersadar setelah memperoleh satir atau teguran yang samar dari orang lain. Dan aku tersentak tatkala kudapati klosetku mulai retak akibat termakan waktu. Kloset yang retak itu tidak bagus, seluruh kotoran yang dibuang bisa saja akan menyelip ke sela-sela lubang yang retak itu. Lalu dengan gerak cepat, aku segera kembali ke Pasar Rumput, mencari kloset bekas yang masih bagus dijual dengan harga murah untuk mengganti kloset rusakku.

Aku melihat sebuah kloset antik putih bersih dijual dengan harga murah. Ketika kutanyakan harganya, si penjual menatapku tajam. “Ibu yakin tertarik dengan kloset ini?” tanyanya penuh selidik.

Aku mengangguk pasti. Tak perlu kuselidiki wajah penuh tanda-tanya dari si penjualnya. Klosetku yang retak harus segera kuganti. Sang penjual tak berkata apa-apa lagi ketika kloset itu ditaruh di mobil bak terbuka milik anakku. Singkat cerita, tukang yang mengganti kloset mengerjakan tugas mereka dengan cepat dan suskses. Kloset dari Pasar Rumput yang terlihat antik itu terpasang rapi dengan sempurna.

Dua hari aku dan keluarga melakukan rutinitas kemanusiaan usai kami makan. Isi perut meluncur sempurna setiap paginya. Kloset yang baru diganti tak bermasalah. Namun di hari ketiga dia mulai menunjukkan kerjasama yang kurang memuaskan aku, suami dan anak-anakku. Air pembuangan tak mau berjalan sempurna ke tempat penampungan. Aku berpikir mungkin bak penampungan kotoran manusia sudah penuh hingga perlu disedot ulang, namun ketika kru penyedot WC datang, sang pemimpin mengatakan lubang untuk tempat pembuangan kotoran manusia itu masih kosong.

Jadi, di mana letak permasalahannya? Kami menjadi resah juga gelisah. Jika hendak buang hajat terpaksa kami harus pergi ke mall terdekat untuk melakukan prosesi pengurasan isi perut. Aku mulai berpikir, bisa jadi kloset ini yang bermasalah, mengapa dia tidak mau bekerjasama denga nisi perut kami? Ketika kembali kudatangi si penjual kloset di Pasar Rumput, dia hanya berkata datar tanpa tekanan, “Ya, sudah, akan kami ganti klosetnya. Tadinya saya ingin mengatakan sesuatu pada Ibu, tapi Ibu terlihat sangat tertarik dengan kloset itu, saya akhirnya diam saja.”

“Lho, memangnya Bapak mau bilang apa?”

“Maaf Bu, waktu saya beli kloset tersebut, orang yang menjualnya tidak mau dibayar. Dia hanya bilang, jika ada apa-apa dengan si kloset, Bapak kuburkan saja dia.”

“Lho kok, kloset dikubur?” tanyaku.

“Menurut si empunya kloset, sebelum benda ini jatuh ke tangan saya, di lubang kloset pernah ditemukan kepala orang, Bu. Dia dibunuh istrinya melalui racun, kemudian kepalanya dipenggal dan ditaruh ke dalam kloset itu. Konon si lelaki yang kepalanya dipenggal itu tertangkap berselingkuh dengan wanita lain. Si istri kesal dan meracuninya. Hhhh…kisah yang miris tapi nyata, Bu…” tutur si penjual kloset.

Aku segera menelpon tukang yang sedang mengganti kloset yang bermasalah itu secepatnya. Sungguh, aku tak mau peristiwa supranatural itu benar-benar menjadi nyata, jika kepalanya muncul saat aku sedang duduk buang hajat di kloset antik itu kan repot … (*)

(Ditayangkan Kompas.id, Mei 2025)

Biodata singkat Fanny J. Poyk

Fanny memulai karir menulis sebagai penulis cerita anak, remaja, dewasa di berbagai majalah dan suratkabar sejak tahun 1973. Lulusan IISIP Jakarta jurusan jurnalistik ini, cerpen-cerpennya pernah dimuat harian Suara Pembaruan, Suara Karya, Sinar Harapan, Pikiran Rakyat, Kompas, Kompas.id, Jawa Pos, Singgalang, Bali Pos, Surabaya Pos, Timor Ekspres, Jurnal Nasional, Tribun Jabar, Koran Express Sabah Malaysia, Daily Ekspress Malaysia, Dalang Publishing Amerika, dan majalah Elipsis dan berbagai majalah lainnya. Cerpennya terpilih sebagai 20 besar cerpen terbaik versi koran Kompas. Fanny juga memberi pelatihan menulis (creative writing) ke seluruh Indonesia, ASEAN, Amerika dan Taipei, selain itu Fanny menjadi juri untuk kegiatan Festival Lomba Seni Siswa dan Sastra Tingkat Nasional (FLS3N), nara sumber berbagai peluncuran buku dan seminar sastra di Taman Ismail Marzuki, Sabah/Malaysia, Bogor Jawa Barat dan menjadi juri kepenulisan di tingkat ASEAN. Fanny pernah menjadi jurnalis di bawah kepemimpinan Arswendo Atmowiloto dan Harry Tjahjono. Selain menulis cerpen, Fanny juga menulis biografi, esai dan artikel sastra. Fanny kini tinggal di Depok, Jawa Barat.