Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Lamafa Terakhir

January 30, 2025 16:10
IMG-20250130-WA0016

Cerpen Suheri Simoen

Lamalera, 2001

HATIPENA.COM – Terik tengah di atas kepala. Panas yang menyengat, menguapkan bebatuan dan pasir, yang kemudian di bawa angin bulan Juli ke tiap rumah di Levo Bataona. Kala itu para matros hanya bergeming diri di dalam rumah mereka, atau duduk-duduk di beranda sembari mengharap-harap adanya baleo berupa semburan air ke atas udara di tengah laut, tanda kehadiran ikan paus, yang menjadi buruan mereka.

Meski terik kejam menggigit, namun Joshua tetap nyenyak tidur di bale-bale ruang tamu. Upacara Seremoti ternyata telah menguras tenaganya. Apalagi ia tak pernah bergeming sedikit pun kala melebur dalam tarian Dolo-Dolo, seusai Seremoti. Karena dia menjadi pusat perhatian dalam upacara itu, disebabkan penobatan dirinya menjadi Lamafa malam tadi.

Percikan air di wajah Joshua-lah yang menyebabkan pemuda itu terjaga. Mulanya ia akan marah, tetapi justru malah tersenyum manakala yang melakukan percikan itu adalah Theresa.

“Lihatlah matahari sudah di atas kepala, bangunlah,… malu pada ikan dan ketam,” sembari berkata begitu, Theresa menyuguhkan cangkir berisi kopi kepadanya.

Joshua meneguk beberapa kali, lalu memandang lembut pada Theresa Pareira, gadis generasi ke delapan dari Somi-Ruma itu. Ini kali pertama ia memperkenalkan Theresa pada keluarga besar Bataona, marganya. Kemudian, perbincangan pun pecah diantara mereka. Beberapa saat hal itu terus berlangsung, yang diwarnai dengan gelak tawa mereka.Tapi obrolan mereka lantas terdiam, ketika Petrus dengan terengah-engah datang dan berteriak lantang pada Joshua.

“Jo,… Baleo. Lekaslah kau turun, para matros telah siaga di Pledang masing-masing!” Petrus menunjuk ke arah laut. Mendengar itu, jantung Joshua seperti dibetot, adrinalinnya mendadak deras mengaliri nadinya.

“Aku harus pergi Thesa,…ini tugas pertamaku sebagai matros. Kau tunggulah di sini, aku pasti akan kembali,” tanpa menoleh, Joshua berlari mengekor Petrus. Tangannya erat menggenggam tombak warisan leluhurnya.

Teriakan para matros menyambut kedatangan Joshua. Suasana menjadi hidup dan kian hidup, ketika dari bibir pantai, mereka melihat semburan air air ke udara dari arah laut, bergantian tempat dan ukurannya. Pemandangan itu, membuat naluri pemburu yang mengalir di nadi mereka seperti memberi kekuatan dan nafsu berlimpah ruah. Air mancur dari laut terus berlangsung, tanda sekumpulan ikan paus mendatangi perairan Lamalera. Ulah para paus ini konon telah berlangsung sejak abad keempat belas silam.

Perburuan segera dimulai. Delapan buah pledang meluncur deras menuju sumber semburan tadi. Para pemburu mengayuh perahu dengan semangat berlebih, cepat serta bertenaga, sambil melagukan kidung berburuan, nyanyian berulang-ulang. Gema lagu mereka menjalar sampai ke batu-batu karang, pucuk-pucuk ombak, bahkan lambaian nyiur di kaki bukit.

Berlayarlah ke tengah lautan
Tempat bersemayan para ikan
Para leluhur penguasa langit dan bumi
Gerakkanlah mereka ke hadapan kami
Agar kami bisa menangkap dan membawa pulang

Sengatan mentari dan lelah seakan tak ada. Yang tampak hanya naluri purba dalam berburu. Oleh sebab itu, tak terasa mereka telah mendayung pledang delapan mil jauhnya dari kampung mereka, Lamalera. Kian dekat dengan sang calon korban, makin pelan mereka mendayung, dan tembang-tembang perburuan pun telah berhenti sama sekali.

Joshua tegak berdiam di ujung haluan. Sepanjang perjalanan, ia meniatkan jika hasil tangkapannya kelak akan dia bagikan kepada seluruh penduduk desa, sebagaimana niat yang lazim dilakukan oleh para matros. Sebagian kecil buat oleh-oleh Theresa, sebagai tanda mata yang dapat ia bawa pulang ke Maumere, lusa.

Di sisi lain, tak ada yang tahu bila sesungguhnya ia tengah berperang dengan dirinya sendiri. Joshua baru teringat dan sadar, jika di ujung malam tadi dia telah menyentuh Theresa. Kesadaran ini timbul saat dia telah berdiri di atas pledang, memegang tombak yang diikat leo itu. Berkecamuk di dadanya akan mitos yang hidup selama ini, bahwa seorang matros pantang untuk bersebadan bila esok harinya akan turun melaut berburu paus, terlebih bila hal itu dilakukan bukan dengan istrinya. Bila diabaikan, malapetaka akan menimpanya.

Sayangnya semua telah terjadi, dan dia malu dan pantang surut ke belakang. Apalagi tadi malam ia telah dinobatkan menjadi Lamafa. Disimpannya pergulatan batin dan rahasia itu dalam-dalam di dasar hatinya. Kemudian ditepisnya rasa gamang itu, dan ia buang lewat teriakan keras sambil telunjuknya mengarah ke samping kanan pledang yang ia tumpangi.

“Ituuu!”

Segera delapan pledang mermbentuk lingkaran. Mula-mula lingkaran besar, kemudian kian menyempit ketika mereka memastikan bila sang paus telah terperangkap dalam skenario mereka. Kepungan makin rapat, para matros tegang bukan kepalang. Mata tak berkedip memandang birunya laut sekeliling mereka. Jantung mereka deras berdetak, adrinalin mengucur cepat merambati sekujur aliran darah, hingga ke ujung-ujung kuku jari dan kaki. Hening menguasai. Hanya angin dan dengusan nafas yang sampai di telinga.

Kesunyian itu pecah, saat air laut tiba-tiba bergejolak dan menyembullah seekor paus yang tampaknya dari jenis Killer Whale. Ikan itu menyemprotkan air ke udara, lima meter dari arah mereka. Keriuhan kemudian terjadi, pledang Joshua mendekati paus lebih mula. Mata Joshua tajam menatap paus yang tengah menghembuskan uap air untuk mengambil nafas kembali. Perahu dikayuh lebih mendekat, tombak diangkat tinggi. Ujungnya yang lancip dan berkait, berkilau kala sinar mentari menyentuhnya. Joshua tampak gagah memegang benda itu.

Dipucuk kegentingan, tiba-tiba ada alun yang cukup besar, dan oleh sebab itu, pledang pun berayun-ayun, merepotkan para matros di atasnya. Semua menjaga keseimbangan agar tak tercebur di laut. Bersamaan dengan datangnya alun tadi, ternyata Joshua telah terbang menancapkan tombak ke tubuh sang paus. Dia lakukan itu beberapa saat sebelum sang ikan kembali menyelam.

Kemudian kegaduhan kembali terjadi. Di satu pihak, mereka gemirang karena usaha Joshua berhasil, di sisi lain, kecemasan mulai merambati hati mereka, terutama para matros tua.

“Itu gelombang yang tidak lazim. Ombak yang lebih besar tampaknya menunggu dari belakang. Pledang kita tak cukup kuat menahan gempuran gelombang, nantinya.” Hendrik tua, sang matros berpengalaman lantang berucap. Nada bicaranya mengisyaratkan kekhawatiran.

“Tapi buruan sudah di tangan. Kita tinggal bermain-main sebentar, lalu menyeretnya ke Levo. Bukankah gelombang seperti ini bukan pertama kali kita hadapi?” Joshua membuka suara memberi persuasi, sambil menyeimbangkan tubuhnya di tengah alun ombak, kemudian berenang menuju pledangnya.

“Musim berburu masih panjang. Para paus pasti akan datang lagi. Sayang pledang yang baru kita resmikan kemarin akan lumat diterjang gelombang. Anakku, Ini bertanda buruk, sebaiknya kita cepat mendarat.” Hendrik masih meyakinkan mereka.

“Apakah matros takut ombak? Mengapa tiba-tiba kita ciut nyalinya? Ayo Petrus,… dekatkan aku pada ikan itu!” darah muda Joshua yang berucap begitu. Di tangannya telah tergenggam tombak yang baru. Warna merah diantara birunya laut, memudahkan dia mengenali buruannya.

Joshua kembali beraksi. Tombak yang dia hidangkan pada sang paus membuat mamalia itu bertingkah polah tak tertib. Hal ini dikarenakan rasa sakit yang ia rasakan, sang paus menderita, membanting-bantingkan ekornya, lalu menyembul dan menyelam sesuka hatinya. Derita paus kian dalam ketika Joshua menghadiahi beberapa sabetan pedang ke tubuhnya, akibat dari hal itu, sang ikan makin tak terkendali.

Akibat ulah sang paus, pledang menjadi bergoyang-goyang dimainkan ombak, hal itu membuat perahu sedikit terganggu lajunya. Tapi para matros yang telah berpengalaman, mudah untuk mengatur leo mengikuti sang korban berpergian. Seperti ikan yang terkena kail, si pemancing menarik dan mengulur tali pancing agar tangkapannya menjadi letih lalu menyerah. Tarik ulur dengan paus berlangsung beberapa waktu lamanya. Keuntungan yang sudah di depan mata, memudarkan rasa kewaspadaan mereka.

Tombak ke tiga di arahkan. Sang paus kini telah kehilangan sebagian besar darahnya, kini melakukan perlawanan ala kadarnya saja, bahkan kemudian menyerah sama sekali. Para matros berteriak gembira, sisa tenaga yang masih ada, mereka gunakan untuk menarik korban ke kampung halaman.

Mereka meluapkan semangat kemenangan melalui teriakan dan pekikan. Enam pledang di depan, berbaris menyeret paus, sisanya di belakang mengawal sang korban.

Berlayarlah ke tengah lautan
Tempat bersemayan para ikan
Para leluhur penguasa langit dan bumi
Gerakkanlah mereka ke hadapan kami
Agar kami bisamenangkap dan membawa pulang

Kegembiraan terus mengguyuri mereka dalam langkah menuju kampungnya. Gelombang yang kian rapat datangnya tak dirasakan sebagai sebuah ancaman. Mereka hanya merasa ganjil saja, tatkala tiba-tiba air laut menyurut berlarian menuju ke tengah, namun keganjilan itu dirasakan sepintas saja. Para matros terus mengayuh dan berdendang.

Dalam hati, mereka mengagumi sikap dan pendirian Joshua. Layaklah bia ia diangkat menjadi lamafa. Tetapi dua mil sebelum menyentuh bibir pantai, gemuruh suara gelombang dari arah belakang, menyerbu ke arah mereka. Kepanikan pun menjadi. Tanpa berkata, pledang mereka kayuh sekuat dan secepatnya. Namun usaha itu tak berarti banyak. Gelombang setinggi lima meter dengan kecepatan 283 km/jam, lebih dahulu menciduk dan melemparkan mereka ke daratan.

Hasilnya, tiga pledang bertamu di rumah yang berbeda. Dua lainnya menyusur perdu-perdu di jalan setapak menuju bukit. Sebuah lagi, beserta bangkai paus, terlempar jauh ke daratan. Sebuah perahu pecah berserakan menghamtan pohon kelapa. Dan pledang ke delapan, tak tahu dimana rimbanya. Peristiwa itu hanya berlangsung dua menit saja, tetapi telah melumatkan semua yang bertahun-tahun telah ada.

Kegemparan lalu terjadi di Lamalera. Informasi BMKG yang menyatakan telah terjadi gempa tektonik berkekuatan 7,2 pada skala ritcher yang terjadi di laut Banda, bukan kabar yang lebih penting daripada warta tentang hilangnya Praso Sopang, pledang yang di perahu itu Joshua berada.

Sebulan dari peristiwa itu, Theresa masih tetap setia setiap senja duduk di bawah pohon Budi. Matanya tak lepas dari laut. Menunggu janji yang pernah Joshua katakana sebelum ia melaut.

Laku Theresa yang demikian itu, membuat Hendrik tua merasa ikut menyelami kepedihannya. Hendrik seperti hendak meyakinkan, karena ia matros berpengalaman. Petang itu, dia duduk diam-diam di samping Theresa.

“Apa dia menyentuhmu Thesa,….malam sebelum kami melaut?” Hati-hati Hendrik menyoal hal yang peka itu.

Theresa tidak menjawab. Matanya saja yang lantas berkaca-kaca. Lalu dari sela-sela bulu mata lentik itu, mengalir butiran air bening membentuk garis memanjang di kedua pipinya. (*)

Sukadana, Oktober 2007

Catatan:
Lamalera: Sebuah kampung di ujung selatan Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur. Penduduknya mempunyai tradisi berburu ikan paus.

Lamafa: juru tikam ikan paus

Levo: kampung

Baleo: tanda-tanda datangnya ikan paus

Matros : para pemburu ikan paus

Seremoti: upacara pesta makan bersama sebagai tanda bersyukur setelah membuat pledang, dll.

Pledang: perahu tradisional

Dolo-dolo: tarian yang dibawakan dengan bergandeng tangan melingkar, bernyanyi, dan menari serta berpantun.

Leo: tali yang disakralkan yang terbuat dari kapas yang dipintal, dilumuri getah pohon turi sebelum dikeringkan.