Oleh : A.Yudi & M.Taufik
Alumnus IPA 1 SMAN Bangil 1986
HATIPENA.COM – Di ruang IGD rumah sakit militer, malam tak pernah benar-benar tidur. Lampu neon tetap menyala seperti pelita yang enggan padam, memantulkan kilau pucat pada wajah-wajah lelah dan langkah-langkah sunyi. Di antara bayang-bayang itu, berdirilah Kapten Beny, seorang prajurit senior yang baru saja kembali dari medan tempur. Tubuhnya penuh perban, jiwanya penuh luka. Dunia yang ia lihat di luar sana bukan sekadar perang, tapi panggung sandiwara raksasa yang dipenuhi kepalsuan.
Ia duduk diam di ranjang dengan tatapan kosong ke langit-langit putih, mencoba memahami mengapa perjuangannya di garis depan terasa jauh lebih jujur dibanding kursi-kursi rapat penuh janji kosong dan tepuk tangan palsu. Ia teringat pada sebuah kutipan dari Soekarno, sang proklamator bangsa: “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” (Soekarno, Pidato Kenegaraan, 1966). Dan malam itu, kata-kata itu terasa seperti pisau—tajam dan menembus keyakinan terakhirnya.
Di bangsal dua belas, Bu Susy, perawat senior dengan reputasi sabar dan tegas, tengah mengganti infus. Ia melirik lelaki yang tak lagi banyak bicara, tapi selalu hadir di garis depan.
“Kapten Beny,” ucapnya pelan, seolah menyulam luka dengan suara. “Istirahatlah. Jalan panjangmu belum selesai.”
Beny menggeleng pelan. “Aku lelah, Bu Susy… Dunia ini memuakkan. Aku tidak tahu apa lagi yang layak dipercaya.”
Bu Susy meletakkan alat medis, lalu duduk di tepi ranjang. Tangan dinginnya menyentuh tangan Beny yang kasar dan penuh bekas luka.
“Kapten,” katanya lembut. “Dalam dunia yang penuh kepalsuan, yang paling berharga adalah mereka yang tetap tulus. Seperti aku… yang tetap tinggal meski kamu hancur.”
Beny menatap matanya yang teduh. Hatinya yang keras perlahan mencair.
Dalam jurnal psikologi militer internasional, disebutkan bahwa perawatan emosional pasca trauma sangat ditentukan oleh ikatan personal yang autentik, bukan hanya pengobatan klinis (Journal of Traumatic Stress, Vol. 33, 2020). Hal ini dikuatkan oleh teori dari Dr. Judith Herman, seorang psikiater ternama dari Harvard, yang menyatakan bahwa “healing only begins in a place where safety and connection exist.” (Herman, Trauma and Recovery, 2015).
Bu Susy membelai ujung selimut Beny. “Hatimu kuat, Kapten. Tapi bahkan hati yang terkuat pun kadang perlu bersandar.”
“Kalau aku menyerah… tolong, hiburlah aku.”
“Jangan bicara tentang menyerah.” Suaranya dalam, lebih sebagai doa ketimbang kalimat. “Aku di sini bukan hanya sebagai perawat. Aku teman seperjalanan. Kalau kamu jatuh, aku bantu bangkit. Kalau kamu ragu, aku bisikkan harapan.”
Dalam buku “Karakter dan Cinta dalam Kemanusiaan” karya Haidar Bagir (2018), dijelaskan bahwa cinta bukan hanya tentang rasa, tapi tentang kesetiaan dalam kehadiran. Ia menulis, “Cinta adalah kekuatan yang mampu menyembuhkan luka terdalam, bahkan yang tak terlihat oleh mata.”
Lorong panjang rumah sakit tetap sunyi. Tapi di ruangan itu, dua jiwa saling menemukan dalam diam. Antara luka dan doa, antara ketulusan dan pelukan tak kasat mata.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah lama, Kapten Beny memejamkan mata bukan untuk melupakan, tapi untuk mulai memaafkan dunia—dan dirinya sendiri.(*)
#menulis40cerpen Cerpen ke 39:
Referensi:
- Herman, J. (2015). Trauma and Recovery. Basic Books.
- Journal of Traumatic Stress (2020). Vol. 33, Issue 4, Wiley Online Library.
- Bagir, H. (2018). Karakter dan Cinta dalam Kemanusiaan. Mizan Publishing.
- Soekarno. Pidato Kenegaraan. Arsip Nasional Republik Indonesia, 1966.
- Damanik, E. (2021). Post-Traumatic Stress and Emotional Support among Soldiers, Jurnal Psikologi UGM, Vol. 47(1)