Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Lelaki Penatap Langit dari Timor

February 23, 2025 11:29
IMG-20250223-WA0078

Ilustrasi AI/ Rizal Pandiya
Oleh Kiyai Iyan *)

HATIPENA.COM – Ode Abdulmidi bukanlah dosen biasa. Ia bukan sekadar pengajar, tapi juga seorang manusia amatiran yang hobi pamer tulisan, selalu merasa paling benar, dan tentu saja, brisik dengan segala yang diperbuat. Jika ada ajang “Siapa yang Paling Menyebalkan di Kampus,” ia pasti juara bertahan tiga tahun berturut-turut.

Setiap hari, akun media sosialnya penuh dengan unggahan yang intinya sama: betapa hebatnya dirinya.

“Menulis itu bukan sekadar aktivitas, tapi seni. Aku baru saja menyelesaikan artikel 15 halaman dalam dua jam! Gimana? Bisa?”

“Ilmuwan sejati itu bukan yang diam, tapi yang berani berbicara! Aku baru saja mengkritik teori besar di seminar! Revolusi akademik dimulai dariku!”

“Kenapa banyak orang tidak paham teori-teori besar? Karena mereka malas membaca! Sementara aku, membaca adalah napas kehidupanku.”

Setiap postingannya selalu diakhiri dengan: #Janganjadibodoh, #BelajarBerjuang, #Kitabisakitahebat.

Pamer Tulisan, Pamer Segalanya

Tak hanya di media sosial, kebiasaan Ode pamer tulisan juga merambah ke dunia nyata. Setiap kali bertemu kolega di fakultas, ia akan menyelipkan kalimat seperti:

“Kebetulan aku baru selesai menulis artikel tentang epistemologi kritis. Agak berat sih, karena levelnya sudah filsafat tingkat tinggi. Tapi, yah, aku harus tetap menulis untuk kemajuan ilmu.”

Dosen lain hanya tersenyum kecut. Mereka tahu, artikel yang dimaksud biasanya hanya sekadar kumpulan teori yang dikutip tanpa analisis yang jelas.

Puncaknya terjadi di ruang dosen, saat ia dengan sengaja membawa setumpuk jurnal hasil tulisannya sendiri dan meletakkannya di meja kantin fakultas.

“Silakan baca kalau mau tercerahkan,” katanya dengan nada sok bijak.

Dosen muda bernama Anwar yang kebetulan lewat tak tahan untuk berkomentar. “Pak Ode, ini jurnalnya diterbitkan di mana?”

Ode tersenyum sombong. “Oh, ini jurnal internasional!”

Anwar mengerutkan dahi. “Tapi kok formatnya kayak skripsi mahasiswa?”

Ode terbatuk. “Eh, begini… Ini jurnal independen. Aku menerbitkan sendiri. Lebih bebas, lebih ilmiah!”

Para dosen lainnya diam-diam menahan tawa. Rupanya, semua tulisan yang sering ia pamerkan itu bukan diterbitkan di jurnal bereputasi, tapi di blog pribadinya sendiri.

Mahasiswa Jadi Korban

Sebagai dosen, Ode Abdulmidi punya kebiasaan unik: mewajibkan mahasiswanya membaca setiap tulisan yang ia buat.

“Baik, untuk tugas minggu ini, kalian harus membaca dan meresensi artikel yang saya tulis!” katanya di kelas.

Seorang mahasiswa bernama Rendi mencoba bertanya, “Pak, apa kami bisa memilih artikel dari jurnal lain?”

Ode menatapnya seperti baru saja mendengar penghinaan terbesar dalam hidupnya. “Hah?! Kamu meragukan kualitas tulisanku?”

“Bukan begitu, Pak, hanya saja—”

“Tidak ada hanya! Kalau mau belajar sungguhan, baca tulisanku! Itu baru ilmu sejati!”

Akhirnya, mahasiswa pasrah. Setiap minggu mereka dipaksa membaca artikel yang lebih banyak isinya tentang Ode sendiri ketimbang topik yang sebenarnya.

Misalnya, dalam satu artikel berjudul “Paradigma Baru dalam Pendidikan”, isinya bukan soal paradigma pendidikan, tapi tentang bagaimana Ode Abdulmidi merasa sebagai pelopor perubahan akademik.

“Banyak dosen tidak berani berpikir di luar kebiasaan. Tapi aku, dengan gagasanku, mengubah cara orang belajar!”

“Aku sering dikritik karena terlalu maju dalam berpikir. Tapi inilah risiko jadi ilmuwan sejati!”

Mahasiswa hanya bisa geleng-geleng kepala.

Seminar yang Berujung Malu

Suatu hari, Ode Abdulmidi mendapat kesempatan berbicara di seminar akademik nasional. Baginya, ini panggung besar untuk unjuk gigi.

Hari itu, dengan jas kebesaran yang dipinjam dari seniornya, ia naik ke podium dan mulai berpidato.

“Saudara sekalian, ilmu tidak boleh stagnan! Saya di sini untuk mendobrak batasan akademik yang kaku!” katanya penuh semangat.

Ia mulai membacakan makalahnya yang setebal 30 halaman—tentu saja, semua isinya tentang betapa hebatnya pemikirannya sendiri.

Namun, kejadian tak terduga terjadi ketika sesi tanya jawab dibuka.

Seorang profesor senior bertanya, “Pak Ode, saya tertarik dengan konsep yang Anda sampaikan. Bisa Anda jelaskan metodologi penelitian yang Anda gunakan?”

Ode tersenyum. “Oh, saya menggunakan metodologi yang lebih fleksibel, tidak kaku seperti penelitian konvensional!”

Profesor itu mengangguk. “Jadi, maksudnya tidak ada metodologi yang jelas?”

Ode mulai gelisah. “Bukan begitu… Saya lebih mengandalkan intuisi akademik!”

Ruangan mendadak sunyi. Beberapa orang saling pandang, menahan tawa.

Profesor itu tersenyum tipis. “Baik, Pak Ode. Mungkin bisa sebutkan jurnal terindeks yang pernah mempublikasikan gagasan ini?”

Ode terbatuk. Ia ingat bahwa semua tulisan yang ia banggakan hanya ada di blog pribadinya.

“Eh… saya sedang dalam tahap pengajuan ke jurnal besar,” katanya, mencoba mengelak.

Profesor itu tersenyum penuh arti. “Oh, kalau begitu, kami tunggu publikasinya.”

Seisi ruangan meledak dalam tawa tertahan.

Balas Dendam dengan Media Sosial

Setelah kejadian memalukan di seminar, Ode Abdulmidi bukannya introspeksi, tapi justru semakin berisik di media sosial.

“Hari ini, aku dikelilingi oleh orang-orang yang belum siap menerima perubahan akademik! Tapi aku tetap maju!”

“Banyak yang tidak memahami pemikiran besar. Tak masalah, aku akan terus menulis!”

Tentu saja, tak ada yang peduli. Mahasiswa tetap mengeluh saat harus membaca tulisannya, kolega tetap menghindarinya di kantin, dan para profesor tetap tidak menganggapnya serius.

Tapi, bagi Ode Abdulmidi, yang penting adalah pamer tulisan tetap jalan!

Dan begitulah, manusia amatiran yang brisik ini tetap merasa dirinya adalah cahaya akademik, meskipun seisi kampus sudah lelah dengan segala tingkahnya.(*)

*) Budayawan, Cerpenis Lampung