Oleh: Wahyu Iryana | Cerpenis
Dosen UIN Raden Intan Lampung
HATIPENA.COM – Di halaman pondok yang teduh, berdiri sebuah pohon mimba tua. Daunnya rimbun, batangnya berliku, dan setiap sore rantingnya menjadi tempat hinggap burung-burung kecil yang pulang ke sarang. Di bawah pohon itu, para santri sering berkumpul seusai mengaji, bercerita tentang masa depan, atau sekadar menertawakan hal-hal kecil yang terjadi di asrama. Bagi mereka, pohon mimba adalah saksi bisu kehidupan pesantren: tempat rahasia dititipkan, doa dilangitkan, dan mimpi-mimpi ditanam dalam diam.
Salah satu santri yang sering duduk di bawah pohon itu adalah Hasan. Umurnya baru tujuh belas, berasal dari sebuah desa di lereng Gunung Raung, jauh dari kota. Wajahnya teduh, matanya tajam, dan senyumnya jarang lepas dari bibir. Ia datang ke pondok dua tahun lalu, dengan bekal selembar surat rekomendasi dari kepala desanya dan sebungkus beras kiriman ibunya. Sejak hari pertama, Hasan langsung jatuh cinta pada kehidupan pesantren suara bedug magrib, lantunan salawat selepas isya, dan aroma wangi kopi dari dapur ustaz setiap subuh.
Namun di balik keteduhan itu, Hasan menyimpan sesuatu. Ia sering terlihat termenung di malam hari, duduk di serambi mushalla sambil memandangi lampu minyak yang bergoyang ditiup angin. Beberapa kali teman-temannya bertanya, “Hasan, apa yang kau pikirkan setiap malam?” Tapi ia hanya tersenyum, “Aku sedang menghitung doa yang belum terkabul.”
Kyai Ma’ruf, pengasuh pesantren, lama-lama memperhatikan santri muda itu. Kyai sepuh itu dikenal bijak dan sabar, rambutnya memutih tapi sorot matanya tetap tajam seperti dulu ketika ia masih muda berjuang melawan penjajah. Suatu sore, selepas mengajar kitab Tafsir Jalalain, Kyai memanggil Hasan ke serambi ndalem.
“Hasan,” katanya pelan, “aku melihat engkau sering termenung. Adakah sesuatu yang kau sembunyikan?”
Hasan menunduk. Ia menggenggam ujung sarungnya. “Tidak ada apa-apa, Yai. Hanya rindu pada rumah.”
Kyai Ma’ruf tersenyum. “Rindu itu fitrah, Nak. Tapi jangan biarkan rindu menghalangi ilmu.”
Hasan mengangguk, tapi dalam hatinya ada getar lain. Ia tak berani berkata bahwa di kampung, ibunya sedang sakit keras. Setiap kali ada santri menerima kiriman paket dari orang tua, Hasan hanya menatap dari kejauhan. Ia tahu ibunya tak punya cukup uang untuk sekadar membeli perangko. Sudah berbulan-bulan ia tak menerima kabar dari rumah.
Suatu malam di bulan Rabiul Awal, pesantren kedatangan tamu. Seorang lelaki tua berpakaian lusuh datang menumpang truk sayur dari Banyuwangi. Ia mencari Kyai Ma’ruf, tapi sebelum sampai di ndalem, ia sempat jatuh pingsan di pelataran. Santri berhamburan menolong, dan betapa terkejutnya Hasan ketika melihat wajah lelaki itu Pak Dulloh, tetangga desanya.
Pak Dulloh sadar setelah diberi air putih dan dibacakan doa. Ia menatap Hasan lama, seolah menimbang bagaimana harus berbicara. Akhirnya dengan suara serak, ia berkata pelan, “Hasan… ibumu sakit, Nak. Sudah tiga minggu. Ia hanya menyebut namamu setiap malam.”
Dunia Hasan seolah berhenti berputar. Ia duduk lemas di tanah, tangannya gemetar. Ia ingin segera pulang, tapi ia tak punya uang sepeser pun. Tiket bus saja tak sanggup dibeli.
Kyai Ma’ruf yang mendengar percakapan itu segera mendekat. “Hasan, pulanglah. Ilmu bisa menunggu, tapi bakti kepada ibu tak bisa ditunda.”
Tanpa banyak bicara, Kyai memberi Hasan selembar uang dan sebuah bungkusan kecil. “Ini sedikit bekal. Dan ini, tasbih kesayanganku. Berikan kepada ibumu, katakan bahwa doaku bersamanya.”
Air mata Hasan jatuh. Ia bersujud di kaki sang Kyai, mencium tangan yang telah membimbingnya selama ini. Malam itu juga, dengan menumpang mobil sayur, ia berangkat pulang ke desanya.
Perjalanan panjang melewati jalan berkelok dan kabut gunung membuatnya tiba menjelang subuh. Rumahnya berdiri di tepi sawah, beratap genteng tua, dindingnya dari anyaman bambu. Dari kejauhan, Hasan melihat cahaya lampu kecil di dalam rumah. Ia berlari, memanggil-manggil nama ibunya.
Di ranjang bambu, ibunya terbaring lemah. Wajahnya pucat, tapi ketika melihat Hasan masuk, senyum tipis mengembang. “Alhamdulillah… kau datang juga, Nak.”
Hasan menggenggam tangan ibunya erat-erat. “Maaf, Bu. Hasan terlambat.”
Ibunya menggeleng pelan. “Tidak ada yang terlambat kalau hati masih hidup. Doamu sudah lebih dulu sampai sebelum kau datang.”
Malam itu mereka berbincang lama. Hasan menceritakan kehidupan di pesantren tentang teman-teman yang lucu, Kyai yang bijak, dan kitab kuning yang mulai bisa ia pahami. Ibunya mendengarkan dengan mata berkaca-kaca, sesekali menyentuh rambut anaknya. Di sela percakapan, Hasan menyerahkan tasbih Kyai Ma’ruf. “Kyai titip ini untuk Ibu. Katanya, doa akan lebih cepat sampai kalau tasbih ini ikut berdzikir.”
Ibunya tersenyum. “Tasbih ini akan Ibu bawa, sampai Allah mempertemukan kita lagi di surga.”
Keesokan harinya, sebelum matahari naik, ibunya berpulang dengan tenang, dalam dekapan Hasan. Ia sempat berucap lirih, “Jangan berhenti belajar, Nak. Jadilah santri yang membawa cahaya, bukan hanya untuk pesantrenmu, tapi untuk kampung ini juga.”
Dua minggu kemudian Hasan kembali ke pesantren. Wajahnya tampak tenang, meski matanya masih sembab. Kyai Ma’ruf menyambutnya di serambi. “Bagaimana ibumu, Nak?”
“Beliau sudah tenang, Yai. Dan sebelum pergi, beliau menitip pesan agar saya tetap menuntut ilmu.”
Kyai menatap Hasan lama. “Maka sekarang tanggung jawabmu bukan hanya belajar, tapi juga meneruskan doa ibumu. Ilmu yang kau pelajari harus memberi manfaat bagi orang lain. Itulah arti santri sejati.”
Sejak hari itu, Hasan berubah. Ia bukan lagi santri yang pendiam. Ia mulai membantu Kyai mengajar anak-anak baru membaca jurumiyah, memimpin tahlilan di desa sekitar, bahkan mengajar petani menulis surat permohonan bantuan pupuk. Ia menjadi jembatan antara ilmu dan kehidupan sehari-hari.
Suatu sore, di bawah pohon mimba, teman-temannya melihat Hasan menulis sesuatu di buku catatannya. “Apa yang kau tulis, San?” tanya Amir, sahabatnya.
Hasan tersenyum, “Aku menulis surat untuk masa depan pesantren. Aku ingin suatu hari nanti kita punya madrasah modern, ada perpustakaan, laboratorium, dan tempat belajar keterampilan bagi anak-anak kampung.”
Amir tertawa kecil. “Kau mimpi terlalu tinggi.”
Hasan menjawab, “Bukankah mimpi itu bagian dari doa yang belum selesai?”
Kalimat itu diam-diam menggema di hati para santri lain. Dari hari ke hari, semangat Hasan menular. Mereka mulai menggalang dana kecil-kecilan, menjual hasil kebun pesantren, dan memperbaiki kelas yang bocor. Kyai Ma’ruf hanya tersenyum melihat perubahan itu. “Pohon mimba itu,” katanya suatu pagi, “bukan hanya memberi keteduhan, tapi juga menumbuhkan semangat di bawahnya.”
Lima belas tahun kemudian, pesantren itu telah berubah. Di samping bangunan tua, berdiri madrasah baru yang megah. Ada laboratorium sederhana, ada koperasi santri, bahkan perpustakaan digital hasil kerja sama dengan alumni. Dan di halaman depan, pohon mimba masih berdiri, lebih rindang dari sebelumnya.
Hasan kini bukan lagi santri. Ia telah menjadi ustaz muda yang disegani, menggantikan posisi Kyai Ma’ruf yang wafat dengan tenang dua tahun sebelumnya. Namun setiap sore, ia masih duduk di bawah pohon itu, membaca kitab dan mengenang masa-masa ketika hidup hanya diisi harapan.
Suatu hari, seorang santri kecil datang menghampiri. “Ustaz, boleh saya duduk di sini?”
“Tentu,” jawab Hasan lembut. “Tempat ini milik semua santri yang bermimpi.”
Anak itu menatap langit di antara daun-daun mimba. “Saya ingin jadi seperti Ustaz, bisa mengajar dan membantu orang kampung.”
Hasan tersenyum, matanya menerawang jauh. “Kalau begitu, belajarlah sungguh-sungguh. Karena setiap doa, jika disiram dengan ilmu, akan tumbuh seperti pohon ini kuat, rindang, dan bermanfaat bagi siapa saja.”
Angin sore berhembus pelan, menggoyangkan daun mimba yang hijau. Dari kejauhan terdengar suara azan magrib, menggema lembut di antara atap-atap santri. Hasan berdiri, merapikan sarungnya, lalu berjalan ke masjid bersama anak kecil itu. Di langit yang berwarna jingga, cahaya senja jatuh di wajahnya wajah seorang santri yang telah menjadi penggerak, pembawa cahaya, sebagaimana pesan terakhir ibunya dulu. (*)
Kata akhir (Catatan Penulis):
Cerpen ini adalah refleksi tentang makna pengabdian santri dan transformasi pesantren sebagai pusat perubahan sosial. Hasan menjadi simbol santri penggerak: berakar pada doa, tumbuh dengan ilmu, dan berbuah dalam kemaslahatan umat.