Cerpen Mochamad Taufik
HATIPENA.COM – Di sebuah kota yang dikenal sebagai Kota Santri, hiduplah seorang pedagang emas kaya raya bernama Makmur. Ia memiliki toko emas terbesar di pusat kota, dengan berbagai koleksi emas yang berkilauan di balik etalase kaca. Setiap hari, pelanggannya datang dari berbagai daerah untuk membeli perhiasan, dan hartanya terus bertambah.
Namun, di balik kesuksesannya, ada satu hal yang selalu ia abaikan: zakat maal.
Makmur bukan orang jahat. Ia rajin shalat, selalu ikut pengajian, bahkan sering bersedekah di masjid. Tapi baginya, zakat maal terasa berat. Bagaimana tidak? Dengan harta emas yang ia miliki, zakat yang harus ia keluarkan bisa mencapai ratusan juta rupiah dalam setahun.
“Ah, toh saya sudah banyak bersedekah. Zakat itu kan hanya untuk orang yang benar-benar butuh,” pikirnya setiap kali ia mengingat kewajiban zakatnya.
-0-
Pertemuan dengan Kiai Syafii
Suatu sore, seorang ulama yang dihormati di Kota Santri, Kiai Syafii, datang ke toko emasnya. Kiai itu tidak langsung membeli, melainkan duduk di kursi pelanggan sambil memperhatikan suasana toko.
“Makmur, kau ini orang sukses. MasyaAllah, toko emasmu semakin ramai,” kata Kiai Syafii sambil tersenyum.
“Alhamdulillah, Kiai. Doakan semoga makin berkah,” jawab Makmur.
Kiai Syafii mengangguk. “Berkah itu bukan hanya soal untung besar, Makmur. Tapi apakah hartamu sudah benar-benar bersih?”
Makmur mengernyitkan dahi. “Maksud Kiai?”
Kiai Syafii tersenyum tipis, lalu bertanya dengan lembut, “Berapa gram emas yang kau miliki sekarang?”
“Kalau dihitung semua, mungkin lebih dari 5 kilogram,” jawab Makmur dengan bangga.
Kiai Syafii mengangguk. “Tahukah kau, Makmur, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
‘Tidak ada kewajiban zakat atas emas yang kurang dari 20 dinar (85 gram), tetapi jika sudah mencapai itu, wajib dikeluarkan 2,5%.’ (HR. Abu Dawud & Ibnu Majah)”
Ia melanjutkan, “Jika kau memiliki 5 kilogram emas, berarti zakat yang harus kau keluarkan adalah 2,5% dari itu. Berarti sekitar 125 gram emas atau kalau diuangkan, bisa lebih dari Rp150 juta.”
Makmur terdiam. Jumlah itu terasa sangat besar baginya.
“Tapi Kiai, saya sudah banyak bersedekah. Bukankah sedekah juga bisa menggantikan zakat?” tanyanya ragu.
Kiai Syafii menggeleng. “Tidak, Makmur. Zakat itu kewajiban, sedangkan sedekah itu sunnah. Seperti shalat wajib dan shalat sunnah. Tidak bisa seseorang berkata, ‘Saya tidak shalat wajib, tapi saya shalat sunnah banyak kok.’ Itu tidak sah.”
Makmur terdiam. Ia merasa tersindir, tetapi dalam hatinya ia tahu bahwa Kiai Syafii berkata benar.
-0-
Musibah yang Menyadarkan
Beberapa bulan berlalu, Makmur masih ragu untuk membayar zakatnya. Ia selalu berpikir, “Nanti saja kalau keuntunganku lebih besar lagi.”
Namun, suatu malam, sebuah musibah terjadi. Tokonya kemalingan.
Para pencuri berhasil membawa kabur perhiasan emas senilai miliaran rupiah. Polisi yang datang mengatakan bahwa maling itu sangat terlatih dan mengetahui persis tata letak toko.
Makmur shock. Hatinya hancur. Seluruh kerja kerasnya bertahun-tahun lenyap dalam semalam.
Ia pun mendatangi Kiai Syafii dengan wajah pucat dan mata berkaca-kaca. “Kiai… saya kehilangan semuanya,” katanya lirih.
Kiai Syafii menatapnya dengan penuh kasih sayang. “Makmur, hartamu bukan hilang. Tapi mungkin Allah sedang mengingatkanmu.”
Air mata Makmur mulai jatuh. “Saya sadar, Kiai. Saya sudah menunda kewajiban saya terlalu lama. Saya terlalu sibuk menumpuk harta tanpa membersihkannya dengan zakat.”
Kiai Syafii tersenyum. “Masih ada waktu, Makmur. Allah Maha Pengampun. Mulai sekarang, tunaikanlah zakatmu dengan ikhlas. Jangan khawatir, janji Allah itu pasti.
‘Allah akan menggantikan harta yang kau keluarkan di jalan-Nya dengan yang lebih baik.’ (QS. Saba: 39)”
Sejak hari itu, Makmur berubah. Ia mulai menghitung zakat maalnya dengan teliti dan menyalurkannya kepada fakir miskin dan yatim piatu di Kota Santri. Meskipun tokonya masih dalam pemulihan, hatinya terasa lebih tenang dan damai.
Beberapa tahun kemudian, bisnisnya kembali sukses. Namun kali ini, ia tidak lagi menunda zakat. Setiap tahun, ia langsung membayarkan 2,5% dari seluruh hartanya dengan penuh keikhlasan.
Kini, setiap kali seseorang bertanya kepadanya tentang rahasia keberkahan usahanya, ia hanya tersenyum dan berkata:
“Rahasia utamanya? Bersihkan hartamu dengan zakat. Sebelum Allah yang membersihkannya dengan cara-Nya sendiri.” (*)