Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Mamad

December 25, 2024 17:55
Ilustrasi: Kecerdasan Buatan/Hatipena
Ilustrasi: Kecerdasan Buatan/Hatipena

Oleh Anto Narasoma

SEPULANG dari sekolah, Mamad mengganti baju. Ia mengenakan kaus oblong dekil dan celana pendek rombeng.

Karena memang itulah yang dimiliki anak itu. Mamad saat ini sudah kelas enam sekolah dasar. Ia ditinggal ayahnya sejak usia empat tahun.

Mamad memiliki dua adik perempuan, Santi dan Meli. Dua adiknya masih kelas empat dan kelas dua sekolah dasar.

Ibunya kebetulan sakit gagal ginjal. Seharusnya, setiap seminggu dua kali ibunya harus cuci darah. Karena tak memiliki uang, ibunya hanya tergolek di tempat tidur kayu yang sudah usang saja. Ia tak berdaya apa-apa.

“Kau baru pulang sekolah, Nak?” tanya ibunya.

“Ia, bu. Mamad mau langsung ke kandang kambing Pak Sastro. Ada lima kambingnya yang harus Mamad gembalakan ke padang rumput di dekat Bukit Dara,” jawab Mamad.

“Hati-hati, Nak. Kabarnya di sekitar bukit itu banyak ular dan binatang buas,” ibunya berpesan.

“Insya Allah, Mamad akan membawa arit penebas rumput, Bu. Karena hari ini Mamad gajian,” ujar anak itu.

Mamad, selain bertugas menggembalakan kambing Pak Sastro, ia juga ikut membantu Pak Tarsif yang dapat borongan membangun gedung dewan desa, di sebelah kantor Desa Rangi.

“Lumayan. Untuk tambahan pendapatan Mamad. Karena uang itu akan digunakan untuk membeli obat ibu dan bayaran sekolah Mamad dan adik-adik. Semuanya sudah Mamad tabung ke tabungan bambu di samping kamar tidur kita,” ujar Mamad. Setelah itu ia berbegas pergi.

Ibu Ela sedih melihat nasib anak lelakinya. Seharusnya, anak seusia Mamad itu hanya santai, bermain ke sana-sini. Tapi karena keadaan kekuarganya yang tak mampu, Mamad harus ikut bekerja, membantu menghidupi kekuarganya.

Ah, anakku. Nasibmu buruk sekali, begitu hati Nik Ela berkata. Air matanya berlinang setelah bayangan Mamad hilang dari balik pintu depan pondok berdinding bambu tersebut.

Saat ini Mamad baru berusia 12 tahun. Namun tanggung jawab terhadap keluarganya begitu besar. Selepas menggembalakan kambing Pak Sastro, ia pun lari secepatnya ke proyek bangunan dewan desa.

Dalam sebulan ia menerima upah sebesar Rp 750 ribu dari Pak Sastro. Uang itu ia simpan di sakunya yang ia jahit cukup dalam. Jadi tersimpan aman.

Tatkala Mamad tiba, Pak Tasrif tersenyum. “Kau sudah siap, Mad?” tanya Pak Tarsif, tersenyum.

Orang tua ini sangat menyukai Mamad. Selain rajin, anak ini sangat penurut dan tak pernah membantah ketika disuruh mengerjakan apa saja.

“Kau ini anak yang baik, Mad,” ujar Pak Tarsif sembari mengaduk semen untuk mengisi tulang beton gedung yang sedang dibangun. Mamad hanya tersenyum menerima pujian itu.

Saat orang-orang asyik bekerja, tiba-tiba terasa getaran cukup kuat. “Ah, ada gempa,” teriak orang-orang.

Mereka yang ada di atas berusaha turun seepatnya. Namun ketika terjadi getaran kuat di celah pinggir gedung, Pak Tarsif terjatuh. Sedangkan dinding yang baru dibubuhi semen itu itu roboh. Selain Pak Tarsif, Mamad yang berada di bawah karena bertugas mengisi semen ke ember plastik, tertimpa dinding beton. Aaahh, Masya Allah. Orang-orang panik dan segera memburu ke tempat kejadian. Sementara getaran tanah dengan 6,5 skala richter itu masih terasa.

Kabar kecelakaan Pak Tarsif dan Mamad yang tertimpa dinding beton gedung, begitu heboh. Kedua orang itu tewas seketika.

Mendengar laporan dari dari orang-orang kampung, Nik Ela (ibu Mamad), kaget bukan main. Ibu muda ini berusaha bangkit dari tempat tidurnya, tapi pinggangnya sangat sakit. Ah, anakku. Itu saja yang dapat terucap dari bibirnya. Nik Ela dan kedua anak perempuannya menangis berpelukan sedih. (*)

Tirta Bening, 16 Mei 2019