Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Mengejar Mimpi, Merawat Cinta

April 24, 2025 11:38
IMG-20250424-WA0039

Oleh: Sulistyani & M.Taufik
Alumnus 3C SMP N 1 Bangil 1983

HATIPENA.COM – Namaku Sulistyani. Aku anak keempat dari enam bersaudara. Kami tumbuh dalam keluarga yang penuh cinta dan kedisiplinan. Ayah seorang PNS, dan ibu seorang guru yang menjadi teladan. Mungkin dari merekalah kami diwarisi semangat kerja keras dan pengabdian.

Kakakku yang pertama, Mbak Pung, juga jadi guru seperti ibu. Lalu Mas Hery dan Mas Gunawan memilih jalur sebagai wiraswasta. Aku sendiri, Sulis, sejak kecil punya cita-cita unik: ingin kerja di kantor, duduk di balik meja, lalu tiap hari berangkat dan pulang naik mobil. Cita-cita yang sederhana, tapi melekat erat dalam kepala anak kampung kecil sepertiku dulu. Adikku, Tutik, mengikuti jejak keluarga sebagai guru, dan si bungsu Rida memilih dunia farmasi.

Waktu lulus SMA, ibu sempat memintaku kuliah di IKIP—“Biar kayak Ibu,” katanya. Tapi aku justru memilih jalan sendiri dan mendaftar di STKS, Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial, karena aku tahu aku ingin jadi pekerja sosial, orang kantoran. Alhamdulillah, aku lulus tahun 1989, dan dua tahun kemudian, tahun 1991, aku menikah dengan lelaki yang kini menjadi teman hidup sekaligus ayah dari keempat anakku.

Tahun 1992, SK CPNS-ku keluar. Penempatanku di Kanwil Departemen Sosial, Samarinda, Kalimantan Timur. Harusnya aku bahagia—impian masa kecilku akhirnya akan jadi kenyataan. Tapi hati ini justru campur aduk. Anakku baru saja lahir. Suamiku menolak jika aku harus pergi jauh. Aku menangis. Perempuan mana yang ingin meninggalkan bayinya yang baru 40 hari?

Lalu datanglah ibuku sebagai penyelamat. Ia membujuk menantunya, “Biarlah Lies berangkat, nanti paling tidak lama juga bisa pindah.” Akhirnya suamiku membuat kesepakatan: “Kalau dalam setahun kamu belum bisa pindah ke Jawa, kamu harus berhenti dan pulang.” Aku setuju. Meski air mata tak pernah berhenti, aku tahu aku harus pergi demi cita-cita.

Kehidupan di Samarinda tak mudah. Gaji kecil, komunikasi sulit—belum ada HP. Surat adalah satu-satunya penghubung dengan keluarga. Bahkan untuk menerima uang dari suami, aku harus menunggu wesel pos yang bisa datang seminggu sekali. Tapi aku jalani semua dengan penuh dedikasi. Di tempat kerja, aku berusaha menunjukkan kinerja terbaik dan terus mengajukan permohonan pindah ke Jawa.

Setiap malam aku menangis, merindukan bayiku yang belum bisa kupeluk. Tapi aku percaya, Allah tahu isi hatiku.

Dan benar, tepat setahun kemudian, doaku dijawab. Aku mendapat izin pindah ke Jawa karena alasan mengikuti suami. Aku kembali ke Bangil, dan anakku—yang dulu kutinggal masih merah—kini sudah bisa berjalan. Tapi luka itu membekas, karena ia sempat tak mengenaliku.

Kini, keempat anakku tumbuh menjadi kebanggaanku. Si sulung bekerja di PLN Gresik, anak kedua di PLN Cilegon. Anak ketigaku seorang bidan di Malang, dan si bungsu sedang kuliah di UIN.

Aku pernah berada di titik dilema: antara cinta seorang ibu dan impian masa kecil. Tapi kini aku tahu, keduanya bisa berjalan berdampingan asal dijalani dengan doa dan kesungguhan.

Dan lucunya, bersamaan dengan keluarnya SK CPNS-ku tahun 1992, datang pula lamaran dari suamiku. Seolah hidup menyodorkan dua jalan sekaligus: cinta dan cita-cita. Ternyata, aku bisa merawat keduanya. (*)

#menuliscerpenpramuka&persahabatan Cerpen ke-12