HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Misteri Hantu Pengantin di Jalan Leter “S”

February 26, 2025 21:33
IMG-20250226-WA0021

Ilustrasi : Meta AI/ Rizal Pandiya
Cerpen Sadri Ondang Jaya *)

HATIPENA.COM – Jalan itu meliuk seperti ular raksasa yang terbangun dari tidur panjangnya, membelah perbukitan yang menjulang dengan gagah.

Dari ketinggian, ia tampak seperti guratan halus pada tubuh bumi, menghubungkan satu kabupaten dengan kabupaten lain, menjinakkan kesunyian yang meliputi lembah dan tebing curam.

Siang hari, keindahannya menggoda mata. Lereng-lereng hijau menyambut perjalanan, diselingi aliran sungai jernih yang menari di sela bebatuan, menciptakan irama alam yang menenangkan.

Namun, ketika malam merayap, segala keindahan itu lenyap ditelan pekatnya kabut. Jalan Leter S berubah menjadi gerbang misteri yang hanya bisa dilewati oleh mereka yang hatinya teguh dan bibirnya tak lupa berzikir.

Mereka yang melaju tanpa doa, tanpa ayat-ayat suci yang membentengi diri, sering kali mendapati hal-hal di luar nalar. Mesin kendaraan tiba-tiba mati. Klakson membisu. Setir mengeras seolah ada tangan tak kasat mata yang merenggut kendali.

Di antara banyak kisah yang beredar, satu tragedi menjadi akar dari segala ketakutan itu. Tragedi yang dimulai dari malam pernikahan seorang gadis bernama Sari.

Malam itu seharusnya menjadi awal kebahagiaan Sari bersama Deni, suaminya. Lampu-lampu pesta berpendar di pekarangan rumah, tabuhan gendang mengiringi tari-tarian, dan tamu-tamu masih larut dalam tawa serta doa. Akan tetapi, di tengah kemeriahan itu, kedua mempelai menghilang.

Tamu geger. Kamar pengantin kosong. Hanya jendela yang terbuka, menganga seperti mulut yang hendak meneriakkan rahasia.

Pagi harinya, tubuh Sari ditemukan di dasar jurang. Gaun pengantinnya yang semalam begitu indah kini lusuh, bercampur lumpur dan dedaunan kering. Rambut panjangnya menutupi luka-luka di lehernya. Anehnya, di jemarinya masih melekat cincin pernikahan, tetapi kalung emasnya lenyap.

Sejak malam tragis itu, sosok perempuan bergaun pengantin sering terlihat di Jalan Leter S. Kadang ia berdiri di tepi jalan, menatap kendaraan yang melintas. Kadang ia melangkah pelan ke tengah, memaksa pengendara membanting setir atau menghentikan laju kendaraan.

Dan satu hal yang harus diingat: siapa pun yang melihatnya, jangan pernah menceritakan apa yang mereka lihat. Karena bisa kualat.

Suatu malam, Rahmat, seorang sopir truk, harus melintasi Jalan Leter S. Udara terasa lebih dingin dari biasanya. Mesin truknya tiba-tiba batuk-batuk sebelum mati di tengah jembatan. Klaksonnya tak berbunyi. Lampu kendaraan meredup seperti nyawa yang sedang dicabut perlahan.

Saat ia mendongak, matanya terpaku pada sosok perempuan di depan truknya.

Gaunnya kotor dan basah, menempel di tubuhnya seperti kain kafan. Rambut panjangnya menjuntai, menyembunyikan wajahnya. Perlahan, tangannya yang pucat terangkat, menunjuk ke dalam jurang.

Rahmat menelan ludah. Dengan sisa keberanian, ia menyalakan senter dan mengarahkannya ke dasar jurang. Saat cahaya menembus kegelapan, napasnya tertahan.

Di sana, di antara semak belukar, terbujur kerangka manusia. Lebih mengejutkan lagi, di dekat kerangka itu ada sepeda motor. Dan di jemari tulangnya, melingkar sebuah cincin emas putih, persis seperti yang dikenakan Sari.

Rahmat limbung. Ia ingin lari, tetapi sesuatu mendorong tubuhnya hingga ia tersungkur. Dengan sisa tenaga, ia merangkak menjauh, bibirnya merapalkan doa-doa. Hanya dengan keberanian dan keyakinan, ia akhirnya bisa melepaskan diri dari cengkeraman malam.

Pagi harinya, Rahmat memutuskan untuk melanggar pantangan. Ia melaporkan temuannya ke polisi.

Dan saat petugas mengevakuasi kerangka dari dasar jurang, misteri yang lama terkubur pun terkuak.

Kerangka itu bukan milik Deni, suami Sari. Ia adalah Rido, seorang lelaki yang pernah menjadi bagian dari hidup Sari.

Dulu, sebelum pernikahan yang dipaksakan, Sari dan Rido adalah sepasang kekasih. Mereka saling mencintai, saling berjanji untuk sehidup semati. Namun, takdir berkata lain. Orang tua Sari berutang budi pada keluarga Deni, dan sebagai gantinya, Sari harus menikah dengan lelaki yang tak pernah ia cintai.

Malam itu, Sari bukan pergi dengan Deni. Ia pergi bersama Rido, melarikan diri dari pernikahan yang hanya menjadi penjara. Namun, di tengah perjalanan, motor mereka tergelincir di Jalan Leter S.

Rido tewas di tempat. Sari selamat, tetapi tidak lama kemudian. Ia terjebak di dasar jurang, sendirian, dalam kegelapan yang pekat. Mungkin ia menangis, memanggil nama Rido, memohon pertolongan, tetapi suara malam menelan semua jeritannya.

Tak ada yang menemukannya. Tak ada yang tahu bagaimana ia menghabiskan sisa hidupnya di sana.

Dan ketika ajal menjemput, jiwanya tak benar-benar pergi.

Deni, suami Sari, menghilang malam itu juga. Ia tak pernah kembali. Mungkin saja, Deni malu karena dari gelagat, Sari tidak mencintainya.

Sejak saat itu, Jalan Leter S bukan hanya dihantui oleh satu arwah, melainkan dua jiwa yang terperangkap dalam kisah cinta yang tak pernah sampai pada takdir yang mereka inginkan.

Mungkin, Sari tak meminta keadilan. Ia hanya ingin menunjukkan kebenaran, bahwa rasa cinta tak bisa dipaksa.

Tetapi kini, setelah semuanya terungkap, apakah arwahnya akan tenang?

Ataukah, sosok lain yang kini akan muncul dari dalam kabut?

Karena jin telah bersumpah akan terus memperdaya manusia, di mana pun berada, dan kapan pun. Apalagi di saat sepi.

Malam semakin pekat di Jalan Leter S. Angin berdesir di antara pepohonan, membawa bisikan yang hanya bisa didengar oleh mereka yang hatinya masih terbuka pada misteri.

Dan di tikungan tajam itu, di tepi jurang yang dingin, bayangan seorang perempuan masih berdiri.
Menunggu![*]

*) Penulis adalah guru dan pemerhati dinamika sosial-budaya di Aceh