Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Nasi Karak, Perjuangan yang Tak Sia-sia

March 7, 2025 19:27
IMG-20250307-WA0106

Cerpen M. Taufik

HATIPENA.COM – Pagi itu, seperti biasa, aku dan keenam saudaraku duduk melingkari tampah berisi nasi karak atau kadang nasi sisa kemarin yang digoreng ulang dengan minyak dan garam seadanya. Jika beruntung, ibu menambahkan sedikit teri atau telur yang dibagi rata.

“Ayo makan dulu sebelum berangkat,” suara ibu terdengar lembut namun penuh ketegasan. Wajahnya lelah, tapi semangatnya tak pernah pudar.

Ayah bekerja di luar kota sebagai tukang cuci emas. Beliau hanya pulang sebulan sekali, membawa sedikit uang hasil jerih payahnya. Ibu adalah nahkoda rumah tangga ini. Setiap hari, ia memutar otak agar kami tetap bisa makan, sekolah, dan bertahan hidup.

Kami tujuh bersaudara, dan semua punya tugas. Kakak pertama, perempuan, bertanggung jawab belanja di pasar dengan uang pas-pasan. Kakak kedua, juga perempuan, bertugas membersihkan rumah. Aku, anak ketiga, punya tugas mengantar barang pesanan ke desa sebelah, berjalan kaki sejauh tiga kilometer. Adik-adik yang lain juga punya tugas masing-masing—menjaga rumah, mencuci, atau membantu ibu memasak.

Meski hidup serba sulit, kami tak pernah menyerah. Setiap pagi, setelah menyantap nasi karak, kami berangkat ke sekolah dengan tekad kuat. Aku tahu, pendidikan adalah satu-satunya cara untuk mengubah nasib kami.

Perjuangan Tak Pernah Mengkhianati Hasil

Kakak pertama akhirnya menyelesaikan pendidikannya di pesantren dan menjadi panutan di keluarga. Kakak kedua berhasil menjadi seorang PNS di SMA, sebuah pencapaian luar biasa bagi keluarga kami. Sementara aku, dengan tekad yang tak pernah surut, akhirnya bisa kuliah di Universitas Negeri Surabaya (UNESA). Tahun 1993, aku berdiri dengan bangga di panggung wisuda, mengenakan toga dan menerima gelar sarjana pertama dalam keluarga kami.

Air mata ibu menetes saat melihatku. Aku tahu, itu bukan hanya tangisan haru, tapi juga bukti bahwa semua perjuangan kami tidak sia-sia.

Namun, perjalanan belum berakhir. Aku terus melangkah, bekerja keras, hingga akhirnya bisa melanjutkan studi ke jenjang S3. Kini, aku sedang menyelesaikan program doktoral—sesuatu yang dulu hanya bisa aku bayangkan saat berjalan kaki sejauh tiga kilometer mengantar barang.

Kami yang dulu makan nasi karak dengan penuh keprihatinan kini telah mengubah hidup kami. Lima dari tujuh saudara kami berhasil meraih gelar sarjana. Hidup memang tak selalu mudah, tapi setiap tetes keringat, setiap langkah berat yang kami jalani, telah membentuk kami menjadi pribadi yang lebih kuat.

Hari ini, setiap kali aku mencium aroma nasi goreng sederhana, aku tak lagi melihatnya sebagai lambang kesulitan. Nasi karak adalah saksi perjuangan, simbol ketabahan, dan pengingat bahwa dengan kerja keras dan doa ibu, kami bisa mengubah nasib.(*)