Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Pak Tapa dan Goa Sungai Pesangan

January 30, 2025 17:45
IMG-20250130-WA0098

Cerpen L K Ara

HATIPENA.COM – Di sebuah desa kecil di pinggiran Sungai Pesangan, hiduplah seorang petapa tua yang dikenal hanya dengan nama Pak Tapa. Tak ada yang tahu persis siapa dia atau dari mana asal-usulnya. Semua orang hanya tahu bahwa dia telah tinggal di sana selama bertahun-tahun, duduk dalam keheningan, dan sesekali berbicara dengan mereka yang datang bertanya.

Desa itu terletak jauh dari keramaian kota, dikelilingi oleh hutan lebat yang seakan menjaga kedamaian mereka. Hanya sedikit orang yang tahu jalan menuju goa tempat Pak Tapa tinggal. Goa itu terletak di tepi Sungai Pesangan, sebuah sungai yang airnya jernih dan mengalir perlahan, membelah pegunungan.

Pak Tapa tak pernah banyak berbicara, tetapi selalu ada yang datang menemuinya. Mereka datang dengan berbagai pertanyaan, dari masalah hidup yang rumit hingga pertanyaan sederhana tentang kehidupan sehari-hari. Pak Tapa selalu menerima mereka dengan senyuman lembut, namun tak pernah menjawab lebih dari sekadar kata-kata yang benar-benar perlu.

Suatu hari, seorang pemuda bernama Arif datang mencarinya. Arif baru saja mengalami kegagalan besar dalam hidupnya. Usahanya untuk membuka sebuah toko di desa itu berakhir dengan kerugian besar. Tak hanya itu, hubungan dengan kekasihnya pun mulai renggang. Ia merasa terpuruk dan mencari jawaban. Mungkin Pak Tapa, yang selalu tenang dan penuh kedamaian, bisa memberikan pencerahan.

Ketika Arif tiba di goa, ia melihat Pak Tapa duduk di sana, di tepi sungai. Dengan jubah lusuh dan tatapan jauh ke depan, Pak Tapa seolah tidak memedulikan kedatangannya. Arif pun duduk di sampingnya.

“Apa yang membuatmu datang kemari, anak muda?” tanya Pak Tapa dengan suara serak namun tenang.

Arif terkejut mendengar suara itu, seolah Pak Tapa sudah mengetahui kedatangannya sejak lama. Namun, ia tetap melanjutkan. “Saya datang untuk mencari jawaban. Hidup saya terasa hancur. Saya gagal dalam usaha saya, dan hubungan saya juga mulai kacau. Apa yang harus saya lakukan, Pak Tapa? Apa yang salah dengan hidup saya?”

Pak Tapa menunduk. Ia tidak segera menjawab. Sejenak, suasana hening, hanya terdengar gemericik air sungai yang mengalir pelan. Arif menunggu, berharap kata-kata bijak akan keluar dari mulut Pak Tapa. Namun, yang ia dengar hanya suara napas yang tenang dan damai.

“Kenapa kamu tunduk begitu?” tanya Arif, bingung dengan sikap Pak Tapa yang selalu rendah hati. “Kenapa tak pernah ada kekuatan dalam jawabanmu? Tak bisakah kamu memberi saya solusi yang lebih jelas?”

Pak Tapa tersenyum lembut. “Tunduk bukan tanda kelemahan, nak. Kadang, kita harus tunduk untuk mendengar suara hati kita sendiri, untuk mendengar bisikan Tuhan. Ketika kita terlalu keras kepala, kita tak bisa mendengar apa yang sebenarnya perlu kita dengar. Semua jawaban ada di dalam diri kita, tetapi kita sering lupa untuk mencarinya dalam keheningan.”

Arif terdiam. Ia tak mengerti sepenuhnya apa yang dimaksud oleh Pak Tapa, namun ada sesuatu dalam kata-kata itu yang menenangkan hatinya. Ia kemudian menatap sungai yang mengalir tenang di hadapannya. Airnya tampak begitu jernih, begitu tenang, seakan tak terpengaruh oleh keramaian dunia luar.

Pak Tapa melanjutkan, “Lihatlah sungai itu. Ia mengalir tanpa henti, tanpa terburu-buru. Ia mengikuti alirannya, apa adanya. Tak pernah ada keluhan dari air yang mengalir. Begitu juga hidup, nak. Kadang kita merasa terhimpit oleh masalah, namun kita harus belajar mengalir dengan hidup, tidak melawan, tidak terburu-buru mencari jawaban.”

Arif mulai memahami sedikit demi sedikit. Ia menatap Pak Tapa dengan lebih seksama, merasa ada kedamaian dalam diri orang tua itu yang tak bisa ia dapatkan di tempat lain. “Tapi, Pak, saya merasa dunia ini tidak adil. Kenapa saya harus menderita seperti ini?”

Pak Tapa tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. “Keadaan tak selalu bisa kita kontrol, nak. Namun, ketenangan bisa kita pilih. Tunduk bukan berarti menyerah, tapi lebih kepada mengakui bahwa kita tak selalu bisa mengendalikan semuanya. Cobalah untuk diam sejenak. Dengarkan aliran sungai, dengarkan angin yang berhembus. Tuhan selalu ada di dekat kita, bahkan dalam keheningan yang paling dalam.”

Arif merasakan ketenangan mulai menyusup ke dalam hatinya. Ia duduk lebih lama, merenung, mendengarkan bisikan alam yang mengalir bersama aliran air sungai. Perlahan, perasaan cemas yang menghimpit dada mulai menghilang. Ia merasa lebih ringan, lebih lapang, seolah beban hidupnya tak lagi begitu berat.

Sejak hari itu, Arif sering datang ke goa Sungai Pesangan, duduk bersama Pak Tapa, mendengarkan keheningan, dan belajar untuk tunduk. Ia tak lagi mencari jawaban yang cepat, melainkan menerima hidup dengan lebih lapang dan tenang. Di sana, di tepi sungai yang mengalir damai, ia menemukan jawabannya—bahwa terkadang, keheningan adalah jawaban terbaik, dan tunduk bukanlah kekalahan, tetapi sebuah pengakuan akan kebesaran Tuhan. (*)

Kalanareh, 2024

Berita Terkait

Berita Terbaru