Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Pemulung Tua

January 25, 2025 11:13
IMG-20250125-WA0073(1)

Cerpen Sadri Ondang Jaya

HATIPENA.COM – Di lorong sempit yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kota, berdiri sebuah rumah kecil yang nyaris menyerupai gubuk. Atapnya bocor, dindingnya miring seolah lelah menopang waktu, dan lantainya hanyalah tanah keras yang memantulkan aroma lembab. Lorong itu seperti dunia yang terlupakan, tempat di mana jejak waktu terasa berhenti.

Di dalam rumah itu, seorang kakek tua tinggal bersama seekor kucing hitam yang selalu setia di sisinya.

Setiap pagi, sebelum fajar membelah langit, si kakek keluar dari rumah dengan langkah perlahan. Karung besar tersampir di pundaknya yang membungkuk seperti batang pohon tua yang rapuh. Tubuhnya kurus, tetapi sorot matanya memancarkan tekad yang tak pernah surut. Di belakangnya, kucing hitam itu berjalan ringan, seolah menjadi bayangan hidup yang tak pernah meninggalkannya.

Mereka menyusuri jalanan kota yang dipenuhi sisa-sisa kehidupan manusia: sampah plastik, kardus, dan logam bekas. Dengan telaten, kakek itu mengais, memilah, dan mengumpulkan. Tangannya yang kasar bergerak perlahan, memungut apa saja yang masih memiliki nilai bagi orang-orang seperti Wak Jalal, penampung barang bekas di ujung gang.

Kehidupan mereka sederhana, begitu sunyi, seolah dunia telah melupakan keberadaan kakek tua itu. Namun, baginya, kebersamaan dengan kucing hitamnya adalah harta tak ternilai.

Saat senja tiba, kakek itu kembali ke rumahnya dengan langkah yang lebih berat. Tubuhnya yang letih bersandar di kursi reyot, sementara kucingnya melingkar di dekat kaki tuannya. Nasi putih sederhana yang diperoleh dari belas kasih orang-orang baik menjadi santapan mereka. Tak pernah ada keluhan; hanya ada syukur yang mengalir dalam doa malam kakek.

Namun, sore itu berbeda. Ketukan lembut di pintu membuyarkan keheningan. Dengan langkah pelan, kakek membuka pintu. Di hadapannya berdiri seorang pria muda berpakaian rapi. Jas hitam pria itu tampak mencolok di antara kesederhanaan rumah kakek.

“Assalamu’alaikum, Kek,” sapanya dengan senyum ramah.

Kakek membalas salam itu dengan ragu, matanya memandang pria itu penuh tanya. “Maaf, Nak. Saya tidak ingat siapa kamu.”

Pria itu tersenyum, tidak tampak tersinggung. “Mungkin kakek tidak mengenal saya, tapi saya sering melihat kakek. Saya ingin berbicara, kalau kakek berkenan.”

Setelah mempersilakan masuk, mereka duduk di ruang tamu kecil yang hanya berisi meja kayu sederhana. Dua piring nasi sudah tersedia, satu untuk kakek, satu lagi untuk kucing hitam yang menunggu dengan sabar.

Pria itu menatap piring nasi kucing itu dengan dahi berkerut. “Kek, kenapa kucing ini makan nasi yang sama dengan kakek? Kenapa tidak diberi sisa saja? Kakek juga butuh makan.”

Kakek tersenyum, pandangannya jatuh pada kucing yang tengah melahap nasinya. “Nak, kucing ini sudah lama bersama saya. Ketika saya lapar, dia juga lapar. Bagaimana saya bisa makan dengan tenang sementara dia kelaparan? Nasi ini memang sedikit, tapi cukuplah kalau kami berbagi. Bukankah berbagi itu yang diajarkan oleh Nabi?”

Jawaban itu membuat pria muda itu terdiam. Matanya yang semula memancarkan rasa iba kini berubah menjadi kekaguman. Dalam hati, ia berkata, Orang tua ini tidak punya apa-apa, tetapi hatinya seluas samudera.

“Kek,” pria itu berkata dengan nada lebih lembut, “bagaimana kalau kakek tinggal bersama saya? Saya punya rumah yang cukup nyaman. Saya ingin kakek hidup lebih layak.”

Kakek tertegun. Mata tuanya membesar, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Nak, kenapa kamu melakukan ini untuk saya? Siapa saya ini, hanya seorang pemulung tua yang tak punya apa-apa.”

Pria itu tersenyum. “Kakek mungkin tidak punya harta, tetapi kakek punya hati yang lebih besar dari orang kaya mana pun yang pernah saya temui. Saya ingin menjadi saluran rezeki Allah untuk kakek, seperti kakek yang menjadi saluran rezeki bagi kucing ini.”

Air mata menetes di pipi keriput kakek itu. Selama bertahun-tahun, ia hidup dalam kesunyian, dilupakan oleh dunia yang terus melaju. Padahal dulu, ia pemilik tanah di wilayah itu, yang diambil paksa oleh orang-orang tamak hingga menyisakan rumah kecil ini. Kini, seorang asing datang membawa harapan baru.

Dengan tangan gemetar, kakek itu menggenggam tangan pria itu. “Nak, kalau memang ini kehendak Allah, saya tidak akan menolak. Terima kasih, terima kasih…”

Malam itu, mereka berjalan menuju mobil yang terparkir di luar. Kucing hitam melompat ke pangkuan kakek, mengeong pelan seolah memahami bahwa hidup mereka akan berubah. Dalam hati pria itu, ia merasa mendapatkan pelajaran paling berharga: hakikat hidup bukanlah apa yang dimiliki, melainkan seberapa tulus kita berbagi.[*]