Rizal Pandiya
Sekretaris Satupena Lampung
HATIPENA.COM – Langit di medio tahun 1992 itu terasa lebih dekat dari biasanya. Barangkali karena kami berdiri di atas Gunung Betung, tempat paling tinggi yang bisa dijangkau oleh mahasiswa kere macam kami, selain mimpi dan cita-cita yang belum bayar SPP. Kabut turun pelan seperti selimut ibu kos yang suka tiba-tiba datang ke kamar buat nagih uang listrik. Tapi kami cuek. Saat itu, di usia dua puluh awal yang masih bau pemikiran dan penuh tawa receh, segalanya terasa mungkin. Termasuk naik gunung padahal asma, atau pura-pura menikmati pemandangan meski isi kepala cuma mikir: “Kapan turunnya?”
Kami bukan pendaki sejati. Kami cuma mahasiswa dengan ransel murah, mie instan, dan semangat yang lebih besar dari logistik. Aku sendiri lebih cocok di forum senat ketimbang di hutan belantara. Tapi Slamet, Dasril, dan Catur berhasil menyeretku ikut ekspedisi absurd ini. Mungkin inilah caranya hidup bilang: “Hei, kamu harus punya cerita lain selain rapat, proposal fiktif, dan debat isu nasional.” Dan ya, cerita itu dimulai di Betung—gunung yang bukan sekadar tumpukan tanah tinggi, tapi tempat di mana kami pernah merasa muda, bebas, lapar, dan… ngopi sampai mataku melotot kayak lampu senter.
Tepat 33 tahun lalu, aku—seorang aktivis senat mahasiswa—menemukan diriku berdiri di kaki Gunung Betung, yang biasanya mengenakan kemeja necis, sepatu semi formal, dan ngepit map isi proposal. Ya, map itu bawaannya refleks. Aktivis kan harus siap setiap saat kalau diminta audiensi, sekalipun di tengah hutan.
Tapi hari itu bukan untuk diskusi, bukan juga untuk pertemuan antar senat se-Indonesia. Hari itu aku diajak naik gunung oleh Slamet Harianto—teman seangkatan yang pecinta alam garis keras. Pecinta dedaunan. Penikmat kabut. Perayu akar-akaran.
Kadang aku sempet mikir, Slamet itu pecinta alam tapi kok masuk Fisip? Gak salah? Kenapa gak masuk Fakultas Kehutanan UGM seperti Jokowi? Atau minimal Pertanian Unila deh, supaya tetap dekat dengan alam. Tapi ya sudahlah. Mungkin dulu cita-citanya mau jadi politikus, kali.
Tapi kenapa aku ikut? Entah. Mungkin karena takut dikira cupu. Atau karena bujukan Slamet yang kalau ngajak itu pakai logika dan ancaman moral: “Masak aktivis kayak loe gak pernah naik gunung? Memalukan, Bung!”
Padahal jujur saja, aku gak suka naik gunung. Ada tiga alasan mendasar. Pertama, aku penderita asma. Jalan nanjak itu ibarat olahraga kematian buat paru-paruku. Kedua, aku gak suka capek. Karena kalau udah capek, aku jadi malas mikir. Ketiga, ini yang paling penting, aku gak bakat jadi pecinta alam. Bukan karena aku benci alam—alam itu indah—tapi aku bingung mesti ngapain. Sampai puncak gunung cuma bisa bengong. Liat awan. Liat pohon. Liat langit. Rumah orang juga gak kelihatan, ketutup hutan.
Tapi Slamet punya dua bala bantuan: Dasril Yanto dan Hilarius Catur. Dasril itu pelawak alami. Mulutnya kayak radio rusak: nyala terus, tapi isinya bikin ngakak. Hilarius? Jago main gitar. Tapi suaranya… ah, lebih cocok disebut “nyanyi dengan penuh perjuangan”.
Kami naik ramai-ramai, bawa bekal mie instan, gitar, dan semangat muda yang tidak tahu arah. Sampai puncak, hari sudah gelap. Dengan sigap kami pasang tenda. Tapi baru pagi harinya kami sadar: tendanya persis di tepi jurang. Jurang beneran! Yang kalau terpeleset, langsung nyungsep ke batu cadas dan tamat riwayat.
Tapi waktu itu kami gak takut sama sekali. Nggak kepikiran beruang, harimau, srigala, apalagi singa. Paling yang kami antisipasi itu ular, itupun cukup dengan garam. Kata kuncen gunung, tabur garam keliling tenda. Ular ogah lewat. Mungkin karena ular juga punya kolesterol.
Nah, soal makanan. Di gunung itu, makanan utama, camilan, dan makanan penutup semuanya sama: mie instan. Malam makan mie. Tengah malam lapar lagi, mie. Pagi-pagi? Mie lagi. Gunung bukan tempat untuk diet garam atau MSG.
Dan satu lagi. Tiga temanku itu penggila kopi. Kecanduannya udah di atas batas kemanusiaan. Mereka ngopi sambil ngobrol, ngopi sambil masak, bahkan ngopi sambil masang tenda. Aku? Gak suka kopi. Takut jantung. Tapi kan gak lucu cuma duduk bengong. Jadi aku coba secangkir kecil. Ealah, efeknya luar biasa. Mereka enak-enakan tidur sampe subuh. Aku? Mataku melotot kayak lampu gunung baru diisi minyak tanah. Gak bisa tidur. Dari jam 12 malam sampe matahari nongol lagi, aku masih melek. Turun gunung pun masih melek. Baru bisa tidur setelah sampai kosan—balas dendam 24 jam.
Tapi kami senang. Bernyanyi di puncak gunung, diiringi gitar bolong Hilarius, dengan vocal utama aku yang lebih sumbang, kami merasa seperti band kampus yang tersesat di alam liar.
Dasril jadi penabuh drum. Ya drum dari periuk kosong abis masak mie instan. Slamet pegang kecrek-kecrek sambil mukul-mukul botol pake sendok. Waah…seru nyanyi sampe tengah malam bersama nyamuk hutan.
Itulah pertama kalinya kami menggelar konser musik di hutan yang tak ada penontonnya. Persis seperti anak band di tahun sebelum masehi.
Sekarang, semuanya tinggal kenangan. Dasril masih suka ngocol di mana dia suka, Hilarius seperti hilang ditelan bumi, entah kemana. Tapi Slamet… ah Slamet. Ia sekarang tak bisa lagi melihat alam yang dulu begitu ia cintai. Serangan parasit toksoplasma merenggut penglihatannya. Operasi pun tak berhasil. Tapi Slamet tetap kuat. Ia selalu bilang, “Kalau mata tak bisa lagi melihat, biarlah hati yang jadi penerang.”
Dan hari ini, kami semua bersyukur dan bahagia untuknya. Putri semata wayangnya tercinta, Nastya Pradnyamitha Anjani, A.P.B.C, baru saja menikah dengan lelaki baik dan pintar, Muhammad Sindu Wijaya, S.AK, AKT., M.AK. Dua anak muda yang sama-sama bekerja di instansi pemerintah.
Selamat ya, Met! Semoga Nastya dan Sindu menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Kalau dulu kamu yang menuntun kami di hutan, sekarang kamu dituntun oleh kebanggaan seorang ayah.
Oh ya, satu fakta penutup. Di antara kami, IPK Slamet paling tinggi: 3,5! Luar biasa. Aku? Cuma 2,2. Hahaha. Itulah akibat terlalu aktif di senat, terlalu sibuk rapat, diskusi, demo, sampai lupa masuk kuliah.
Dan hebatnya lagi, nilai Bahasa Inggris Slamet paling tinggi di antara anggota genk, “A”. Padahal setauku, dia gak pernah ngomong bahasa Inggris. Tapi kalo urusan grammer, dia paling jago.
Nah, ironisnya, aku yang duluan dapat kerja. Langsung diterima jadi jurnalis di Lampung Post. Rupanya, IPK tinggi itu belum tentu langsung sukses. Kadang, yang penting bukan nilai, tapi gaya bicara dan keahlian berbohong waktu wawancara, hahaha….
Ya begitulah hidup. Kadang kita naik gunung tanpa tahu kenapa, minum kopi padahal gak suka, tidur dekat jurang tapi merasa aman. Tapi yang paling penting: kenangan itu masih hidup. Dan tawa masa lalu, tetap terkenang sepanjang masa. (*)