Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Pintu 25: Rendezvous Pasustri

March 20, 2025 08:00
IMG-20250320-WA0001

Pipiet Senja

HATIPENA.COM – Haji Akbar, 2007
Selama di Madinah kebersamaan dan rasa persaudaraan antar jamaah terasa makin kuat.
Aku mulai hafal nama-nama jamaah Cordova, terutama ibu-ibunya. Kalau dicermati, lebih banyak jamaah yang berusia muda dibanding jamaah paro baya atau lansia.

Pasangan suami-istri berusia muda, kurasa, sebanding dengan jamaah sorangan wae, seperti diriku. Tercatat pula beberapa jamaah yang masih lajang, pernah berhaji sebelumnya, bukan hanya sekali melainkan tiga atau empat kali.

Seperti Marlen dan Asih Dewayani, keduanya masih lajang, telah berhaji dan berumroh beberapa kali, dan selalu dengan ONH plus.

Dalam beberapa hari saja aku mulai bisa membaca karakter orang Madinah, terutama para pedagangnya. Bahasa yang dipergunakan di pasar-pasar atau mall lebih banyak bahasa Arab dan Indonesia, hanya sedikit yang memilih bahasa Inggris sebagai komunikasi.

“Indonesia… Indonesia… mari sini, murah, muraaah!”
“Indonesia… Siti Rahmah! Murah, sini muraaah!”

Demikian biasanya para pedagang yang semuanya berjenis kelamin lelaki itu, berteriak-teriak lantang, menghimbau rombongan Indonesia yang melintasi toko mereka.

Sepulang dari Masjid Nabawi, adakalanya rombonganku, berlima atau berenam, melihat-lihat pertokoan di sepanjang jalan.

“Pssst, jangan mau masuk ke situ!” seru seorang rekanku yang sudah pernah berhaji, mencegah Raymonna, mencekal lengannya kuat-kuat.

“Kenapa?” wanita muda yang wajah dan perawakannya menggemaskan itu, terheran-heran. Elok, putih susu, mirip Putri Giok.
“Lihat saja air mata si Wan Arab… hiiiy, syereeem!”

Kami jadi penasaran untuk mencermati pedagang lelaki itu. Sepasang matanya memang diarahkan kepada Raymonna, seakan-akan ingin menelan bulat-bulat ibu seorang anak itu. Bibirku tersenyum kecut, pandangan macam itu mengingatkanku akan tokoh para hidung belang di sinetron-sinetron Indonesia.

“Iyalah, Neng, sebaiknya dikau ini jangan pernah jalan sendirian, harus ada yang mendampingimu,” ujarku mengingatkannya.

“Iya juga sih, bahaya ya Teteh,” ujar Raymonna yang mengaku pernah dicowel bokongnya, saat ia terpaksa pulang sendirian karena terpisah dari rombongan.

Ternyata bukan Raymonna saja yang pernah mengalami gangguan. Dokter Erry suatu hari dikejar-kejar Wan Arab. Dia terpaksa masuk ke sebuah toko, bersembunyi sampai si pengganggu tak kelihatan lagi. Lain lagi yang dialami ibu P dari Jakarta. Dia mengaku hampir saja dicium di dalam lift.

“Makanya…sudah cantik juga, jangan pake riasan wajah lagilah….”
“Iiih, gak lagi… Cuma pelembab, lipstik seulas, bedak tipis….”
“Sekalian aja pake alis secolek, parfum sesemprooot.”

Agaknya gangguan dan gejala pelecehan terhadap ibu-ibu muda itu sampai juga di telinga bapak-bapak. Mereka pun serentak menjadi suami siaga, menjaga istrinya masing-masing.

Apabila usai sholat subuh, maka tampaklah pemandangan yang memikat hati. Para suami berjajar dengan setia, menanti istri mereka di pintu 25. Yakni pintu yang menuju Raudhah, bagian dari Masjid Nabawi yang diperuntukkan buat jamaah lelaki.

Pada saat-saat tertentu bagian ini khusus dibuka bagi jamaah perempuan yang hendak ziarah Rasul. Biasanya dua kali sehari, pagi setelah sholat subuh dan siang bada zuhur.

“Naaah…lihat! Indahnya cinta mereka! Subhanallah, romantisan banget, ya Mi?” komentarku kepada jamaah Bogor, Mami Lansia, demikian kita sebut.

Wanita lansia yang mengaku berumur 75 tapi tampak superenergik, sebelum jatuh sakit di Mina itu tersenyum-senyum kecil.

“Jangan mengiri, kita juga pernah begitu….”
“Iiiih, siapa bilang mengiri…kagum geto loh!”
“Iya, yah, mendingan buru-buru aja!” ujarnya sambil memeluk bahuku.

Kemudian ia menggandengku, menjauhi pagar betis para suami yang sudah jumpa istrinya masing-masing.

Tampak wajah pasutri yang semringah, sukacita, seolah telah lama tak sua. Padahal palingan juga cuma berpisah beberapa puluh menit saja…. Aduh, so sweet deh, aaah!

“Itulah berkahnya berpisah untuk beribadah di Masjid Nabawi, ya Mi,” kataku tak urung merasa takjub juga melihat pemandangan indah demikian.

Yah, kapan lagi bisa menyaksikan pertemuan yang begitu romantis, dan sarat berkah selain di pintu 25 gerbang Masjid Nabawi, demikian aku berpikir.
“Untung mereka gak bisa sekamar….”
“Memangnya kalau sekamar ada apa?”
“Pasti akan beranak-pinak sepulang dari sini, hehe….”

Dia seorang periang, humoris dengan celetukan khas Sunda. Kami pernah melakoni beberapa kejadian unik selama di Tanah Suci. Seperti ketika kami sedang jalan-jalan di Ben Dawood, Madinah. Ketika itu kami asyik memilih pernak-pernik seperti perhiasan lucu, gelang keroncongan baik imitasi maupun batu-batuan. Mami Lansia menawar tasbih yang diincarnya.

“Berapa ini… hei, Ahmad?”
Jamaah Indonesia biasa memanggil para pedagang Arab dengan sebutan; Ahmad, Muhammad, atau Ustad. Entahlah mengapa demikian, belum kuselidik asbabun nudzul-nya.

“Itu murah, murah….satunya lima riyal, muraaah!”
“Apa? Lima riyal kok murah? Tiga sepuluh riyal, ya? Kalau boleh kami mau beli yang banyak nih.”

“Tidak bisa…. Huh, Indonesia pelit! Indonesia bahiiil!”
“Yeee…bukannya pelit, bahil, nawar kan boleh-boleh saja,” Mami Lansia tersinggung. “Ayo, ah, kita cari di tempat lain….”

Ketika langkah kami sudah hendak meninggalkan toko itu, tiba-tiba si Arab berkata lagi. “Indonesia… Siti Rahmah, huh, bahlul!”
Kami tak memedulikan ceracaunya.

Otakku pun belum konek, sampai beberapa langkah baru teringat perkataan sahabatku: “Jangan mau dipanggil Siti Rahmah, ya Teteh. Itu panggilan untuk melecehkan kita perempuan Indonesia. Mereka menganggap perempuan Indonesia semuanya rendah, seperti perempuan nakal yang boleh dibuat apa pun….”

Dan Bahlul itu maknanya adalah; bego!
Tanpa sadar mulutku bergumam.

“Sebentar, ibu-ibu, mami-mami yang salehah. Tauk gak siiih… Bahlul itu artinya kan bego? Dan panggilan Siti Rahmah itu konon khusus buat kita, perempuan Indonesia. Tapi kononnya pula, itu berkonotasi melecehkan… Mereka anggap kita seperti perempuan murahan yang bisa diapa-apa….”
“Apaaa?! Kenapa gak bilang dari tadi?” sentak Mami Lansia mengagetkan.

“Eh, lepaskan tanganku, mau ke mana sih?” kuloloskan tangan yang dihela kuat-kuat oleh ibu sepuh itu. Ceproooolll!
“Ayo, kita protes tuh si Arab!” Mami Lansia seketika berbalik, tak memedulikan isyaratku untuk mencegahnya.

Ia gegas mengayunkan langkahnya kembali ke toko Wan Bahlul, diikuti oleh yang lainnya. Semuanya berempat, semuanya perempuan lansia, kecuali diriku yang masih paro baya, dan hanya mengawasi mereka dari kejauhan. Begitu sampai di depan si Wan Bahlul, Mami Lansia seketika mengomando.

Maka, secara serempak kwartet itu pun angkat protes, rame-rame. Tak ubahnya simpatisan PKS yang lagi demo di Kecamatan, gara-gara harga IMB yang tak masuk akal. Gw tuuung!

“Ngeunah weh maneh make nyebut uing bahlul sagala. Maneh atuh anu bahlul mah siah, dasar…. Arab gunduuul!”[1]

Enak saja kau menyebutku bahlul segala. Kau itulah yang bahlul, dasar…. Arab gundul, ceracaunya sewot sekali.

Ampuuunlah Mami!
Tak tahan kepingin ngakak plus kaget dengan kelakuan Mami Uun.

@@@@