Ilustrasi : AI/ Rizal Tanjung
Cerpen Rizal Tanjung
HATIPENA.COM – Bab 1 – Di sebuah aula kecil yang dindingnya penuh spanduk pudar bertuliskan “Pokir untuk Kesejahteraan,” seorang pria berkacamata tebal berdiri di depan mikrofon. Suaranya berat, parau, dan sedikit getir. Ia adalah Syamsul Bahri, mantan anggota legislatif yang baru saja mengalami kekalahan menyakitkan dalam pemilihan kepala daerah.
“Pokir oh Pokir, kenapa engkau mungkir?” nyanyinya dengan nada sendu.
“Kenapa aku tak mungkir? Kerna engkau galir,” sahut seseorang dari kerumunan, disambut gelak tawa sinis.
Kerumunan itu adalah para pendukungnya—dulunya. Kini, mereka lebih mirip penonton sirkus yang menikmati tontonan badut yang tak sadar dirinya sedang jadi bahan hiburan.
Syamsul mengerjapkan mata, mencoba menahan rasa malu. Ia mengingat saat dulu dirinya dielu-elukan sebagai ‘Pahlawan Pokir’. Dana pokok pikiran (pokir) yang ia gelontorkan untuk kesenian telah mengalir deras seperti sungai di musim hujan. Ia pikir, dengan uang itu, ia bisa membeli suara rakyat.
Ternyata ia salah besar.
Bab 2
“Kita sudah kasih mereka pentas, alat musik, bahkan seragam tari! Kenapa mereka malah milih orang lain?!” bentak Syamsul kepada Sabaruddin, tangan kanannya.
Sabaruddin, pria dengan perut buncit dan kemeja batik yang warnanya pudar, hanya menggeleng. “Bos, rakyat tuh nggak bisa ditebak. Mereka nggak cuma butuh seni. Mereka butuh jalan yang nggak berlubang, harga sembako murah, rumah sakit yang nggak penuh. Seni itu penting, tapi perut lebih penting.”
Syamsul mendengus. “Jadi, kau bilang dana pokirku sia-sia?”
Sabaruddin mengangkat bahu. “Bukan sia-sia, Bos. Cuma kurang strategis. Bapak kira seni bisa bikin orang lupa harga beras naik?”
Syamsul terdiam. Ia ingat betul, saat masih di kursi legislatif, ia sering tampil di acara peresmian proyek seni: panggung rakyat, festival budaya, lomba puisi. Semua itu dibiayai dari dana pokirnya. Ia pikir, rakyat akan membalas budi dengan memilihnya jadi kepala daerah.
Nyatanya, mereka lebih memilih lawannya—Sulaiman, mantan birokrat yang minim bicara tapi berhasil membangun jalan-jalan desa tanpa perlu banyak pidato.
Bab 3
Di sebuah warung kopi di pinggir jalan, beberapa warga sedang mengobrol santai.
“Jadi, kau pilih siapa kemarin?” tanya seorang pria tua sambil meniup kopi hitamnya.
“Aku pilih Sulaiman. Dia memang nggak banyak janji, tapi jalan desa kita sekarang nggak kayak kubangan kerbau,” jawab yang lain.
“Syamsul udah kasih dana pokir buat kesenian, loh,” sela seseorang.
“Terus? Apa perutku kenyang dengan tarian tradisional? Apa anakku bisa sekolah gratis cuma karena ada lomba baca puisi?” sahut pria tua itu.
“Pokir itu duit rakyat, bukan duit dia. Masa kita disuruh berterima kasih karena dia balikin uang kita sendiri?”
Warung itu meledak dalam tawa. Syamsul mungkin tak mendengar percakapan ini, tapi efeknya ia rasakan: rakyat sudah terlalu pintar untuk tertipu oleh ilusi kebaikan yang dibuat dengan uang mereka sendiri.
Bab 4
Di dalam rumahnya yang luas tapi kini terasa sunyi, Syamsul termenung di kursi goyang. Ponselnya sepi. Tak ada lagi telepon dari para “relawan” yang dulu mengerumuninya seperti lalat mengerubungi gula. Ia sudah kalah. Tak ada lagi yang peduli.
“Pokir oh Pokir,” gumamnya pelan.
Ia tertawa miris. Dulu, ia kira dana pokir bisa menjadi jembatan menuju kursi eksekutif. Ternyata, jembatan itu hanyalah ilusi.
Sabaruddin datang membawa secangkir teh. “Bos, masih ada waktu lima tahun lagi buat nyoba lagi. Kita bisa mulai dari sekarang.”
Syamsul mengangkat alis. “Dengan pokir lagi?”
Sabaruddin tersenyum tipis. “Dengan strategi yang lebih cerdas, Bos. Pokir boleh mengalir, tapi jangan lupa, rakyat sekarang lebih pintar memilih mana air jernih dan mana air keruh.”
Syamsul mendesah. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa benar-benar belajar tentang politik.
Epilog
Di panggung politik, uang memang bisa membeli banyak hal—spanduk, panggung, bahkan lagu pujian. Tapi satu hal yang tak bisa dibeli dengan uang adalah kepercayaan rakyat.
Syamsul mengira bahwa dengan mencurahkan dana pokir ke seni, ia bisa membangun citra seorang pemimpin yang peduli budaya. Sayangnya, rakyat bukan hanya seniman yang menari di panggung yang ia biayai. Mereka juga petani, buruh, ibu rumah tangga, dan anak sekolah yang butuh lebih dari sekadar hiburan.
Syamsul gagal bukan karena ia tak berusaha, tapi karena ia tak memahami bahwa suara rakyat tidak bisa dibeli dengan satu sektor saja.
“Pokir oh Pokir, kenapa engkau mungkir?”
Mungkin bukan pokir yang mungkir. Mungkin justru Syamsul yang gagal memahami bahwa politik bukan sekadar soal aliran dana, tapi soal siapa yang benar-benar bekerja untuk rakyat. (*)
Padang, 10 November 2024