Cerpen Nurlelawati
“Halo…?” Suara itu, kecil namun jelas menembus gendang telinga. Sebuah bisikan yang tiba-tiba mengusik ketenangan soreku.
“Halo! dengan siapa?” Walau familiar, aku tetap bertanya, mencoba menyingkirkan rasa penasaran yang mulai merayap.
“Saya, Ibu Ina.
“Oh, Ibu Ina, ada apa, bu?” jawabku singkat, berusaha bersikap tenang.
“Kamu kirim apa di WhatsApp bapak?”
Pertanyaan itu tiba-tiba tanpa basa-basi seperti anak panah yang menusuk jantungku.
“Kirim? Maksudnya?” Aku berusaha bersikap tenang tapi jantungku sudah berdebar kencang.
“Saya tidak kirim apa pun.”
“Kamu kirim foto apa?” Suara Ibu Ina meninggi, seperti badai yang mengamuk di telingaku.
Mencoba mengingat, meraba-raba memori yang samar. Sejenak aku terdiam, mencari jejak digital yang mungkin terlupakan.
“Oh, ia. Beberapa minggu lalu, aku pernah kirim surat izin karena ada keperluan keluarga yang sangat penting.
“Kamu kirim foto apa di WhatsApp bapak?” ulangnya dengan suara makin meninggi.
Oh, aku teringat sekarang,” kata-kata itu terlontar dari bibirku, seperti angin yang menerpa daun kering.” Beberapa bulan lalu, ponselku dipinjam Pak Ari. Katanya untuk foto gedung bangunan yang diminta bapak.
Katanya ponselnya tidak bisa mengirim foto. Begitulah” jawabku datar, mencoba meredam gejolak di dalam hati. Karena baru saat itu aku ingat, Pak Ari pernah meminjam ponselku, dan aku memberikannya.
Ibu Ina bergeming, kata-katanya seperti batu yang keras dan dingin.”
Kamu jangan berbohong,” jawabnya.
Amarah membara di dadaku, menguap menjadi asap panas yang membubung tinggi. Aku menekan tombol volume ponselku, mencoba agar suaranya lebih jelas, menembus dinding ketidakpercayaan yang dibangun Ibu Ina.
“Sekali lagi saya ingatkan kamu ya. Tidak usah kirim apa pun di ponsel bapak!” Ibu Ina menutup teleponnya kasar, meninggalkan aku terdiam, terjebak dalam pusaran kekecewaan.
Bapak Ari adalah salah satu pegawai honorer di kantor ini. Aku baru beberapa bulan mutasi ke tempat ini. Aku tahu sebagian pegawai di sini adalah satu keluarga besar.
Kesal, aku dituduh yang bukan-bukan. Aku menarik tangan suamiku,
“Mas, yuk kita ke rumah Pak Ari untuk menanyakan hal ini, apa ada foto yang aneh yang di kirimkannya ke ponsel, Pak Eman, suaminya Bu Ina?”
“Yuk! jawab suamiku singkat, matanya berbinar-binar, mencerminkan rasa penasaran yang sama denganku. Dia sudah mendengar semua percakapan antara aku dan Ibu Ina, dan kini ia siap mencari kebenaran.
Dalam perjalanan menuju rumah Pak Ari, aku terus memikirkan kata-kata Ibu Ina. Apa maksudnya dia bilang kirim foto dan jangan berbohong? Pak Ari mengirim foto di ponsel Pak Eman? Awas kalau dia mengirim sesuatu atas namaku, atau Ibu Ina mencari gara-gara denganku karena aku baru bekerja di sini.
Pikiran-pikiran itu berputar di kepalaku, menciptakan pusaran kekhawatiran yang makin dalam.
Belum sempat suamiku menjawab, kami sudah sampai di depan rumah Pak Ari.
“Ada apa kok malam-malam datang tergesa-gesa sepertinya ada yang penting ya?” Pak Ari mempersilakan kami duduk, senyumnya terasa sedikit gugup.
“Pak, maaf? apa yang bapak kirimkan di ponsel Pak Eman.” Aku langsung bertanya, suaraku terdengar sedikit gemetar.
“Foto bangunan gedung”
“Terus selain itu,” apa lagi Pak” Aku mendesak, mataku menatapnya tajam.
“Tidak ada.” Ada apa Bu? Pak Ari terlihat terkejut, menatapku dengan heran. Aku meceritakan tentang telepon Ibu Ina yang menuduhku mengirimkan foto aneh.
“Saya tidak mau terjadi kesalahpahaman,” kataku, suaraku bergetar. Bukankah bapak yang mengirim foto itu dan meminjam ponselku. Atau Pak Ari yang mengirimkan foto aneh? Aku mulai curiga, terutama melihat Pak Ari diam saja, entah apa yang dipikirkannya, apakah dia mengingat sesuatu.
Di tempat kerja, aku datang pagi seperti biasa, namun auraku mendung, seolah terbungkus kabut tebal. Senyumku sirna, tergantikan bayangan kegelisahan. Pak Eman, yang mungkin sudah mendengar kabar ini dari Ibu Ina, menatapku dengan tatapan yang sulit ddiartikan
Sore itu, ponselku berdering, menghentikan laju waktuku, “Halo…!” Aku menjawab, suaraku serak.
“Iya, Pak.”
“Begini, bu saya minta ibu datang ke rumah saya nanti malam untuk meluruskan kesalahpahaman ini, bisa ya bu?”
Suara Pak Eman terdengar lembut, mencoba menenangkan badai yang mengamuk di dalam hatiku.
“Maaf, saya akan bicarakan dulu dengan suami saya ya Pak, dan minta izin.”
“Baiklah kalau begitu. Kabari ya kalau bisa, terima kasih.” Pak Eman menutup teleponnya.
“Mas, ada telepon dari Pak Eman,” aku berbisik, mencoba menahan gejolak di dalam hati.
“Mau apa?” Suamiku bertanya, suaranya dingin, mencerminkan kekecewaan yang sama denganku.
“Dia minta aku datang ke rumahnya malam ini. Katanya untuk meluruskan kesalahpahaman ini.” Jawabku datar.
“Tidak boleh. Besok saja di kantor biar semua jelas, dan saya akan ikut.”
Suamiku memutuskan dengan tegas, suaranya seperti palu yang menghantam baja.
Aku menelepon balik Pak Eman, “ Halo, bagaimana Bu?”
“Maaf Pak, saya tidak diizinkan suami kalau di rumah. Besok saja di kantor.”
“Baiklah kalau begitu.”
“Terima kasih pak.” Pak Eman menutup teleponnya, meninggalkan aku terdiam, terjebak dalam pusaran kekecewaan dan ketidakberdayaan.
Pagi ini, udara di kantor terasa dingin, seolah membeku oleh ketegangan yang tak terlihat. Semua pegawai sudah berkumpul, menunggu kejelasan dari Pak Eman.
Bisikan-bisikan samar terdengar di antara mereka, menciptakan suasana mencekam. Aku duduk di deretan paling belakang, merasa terasing, terjebak dalam pusaran ketakutan dan ketidakpastian.
Pak Eman berdiri di depan, wajahnya muram, matanya menatap kami dengan tatapan yang penuh dengan keputusasaan.
“Saya malu, dengan kejadian ini,” katanya, dengan suara bergetar.
“Mohon jelaskan.”
Aku baru ingin membuka mulut, menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, tetapi Ibu Ina, yang duduk di pojok depan, mendahului aku.
“Apa yang kamu kirimkan di ponsel bapak?” Matanya tajam menatapku, mencucurkan racun amarah yang mematikan.
“Saya tidak mengirim apa pun,” aku menjawab, suaraku gemetar.”
Pak Ari, tolong jelaskan, apa yang bapak kirim di ponsel Pak Eman?”
“Foto bangunan gedung, Bu,” jawab Pak Ari, suaranya datar, mencoba meredakan ketegangan.
Ibu Ina makin marah, ”Kenapa dihapus?”
Matanya melotot ke arah pak Eman, seolah ingin mencabik-cabiknya.
Pak Eman menjawab, “karena tidak perlu lagi.”
“Tidak perlu atau ada rahasia berdua?” Ibu Ina mencemooh, suaranya menusuk seperti duri tajam.
“Kenapa ada foto kamu di sini!” Ibu Ina berteriak, menunjukkan ponsel Pak Eman.
“Sok kecantikan mengirim di WhatApp!”
“Foto yang mana! Coba saya lihat!” Aku berdiri, mendekati Ibu Ina, mencoba untuk melihat foto yang dimaksud. Jangan-jangan Pak Ari kurang ajar mengirimkan fotoku!
“Iya, ini,” ibu ina memperlihatkan foto profilku, yang ada di kontak ponsel Pak Eman, bukan di pesan yang dikirim..
“Yang mana?” Sekali lagi saya ingin memastikan foto yang di maksud Ibu Ina. Aku mendesak, mencoba untuk memahami.
“Oh, itu,” jawabku nada sedikit mengejek.”
“Pak, tolong jelaskan kepada Ibu Ina,” kataku kepada operator yang duduk di sampingku,
“Susah bicara dengan orang gaptek,” bisikku, mencoba untuk menahan amarah yang menggelegak di dalam dada.
Ternyata, foto profil pun menjadi masalah. Aku kembali duduk, merasa terjebak dalam pusaran absurd.
“Mau foto saya, mau foto orang, mau si cantik, mau foto binatang terserah saya, profil-profil saya, telepon-telepon saya. Aneh ibu ini.
“Dasar, baru punya ponsel, udah sok-sokan! Mentang-mentang istri pimpinan, seenaknya aja ngomel-ngomel kayak lagi nge-rap. Dasar gak waras!” Aku bergumam, berusaha menenangkan amarah yang udah kayak gunung berapi siap meletus.
“Bu itu foto profil! Bukan dikirim! kalau kita simpan nomor kontaknya, fotonya tetap ada. Kecuali kalau kita gak punya nomor kontaknya, baru ilang.” Operator itu menjelaskan dengan sabar, seperti lagi ngajarin anak kecil belajar ABC.
Aku mencibir, “Oh, jadi sekarang aku yang bodoh, ya? Lucu sekali! Seolah-olah aku yang tidak tahu apa-apa.
“Ibu Ina, tolonglah! Saya tidak mengirim apa pun! Saya tidak tahu apa yang terjadi! Kenapa ibu bersikeras menuduh saya?”
Aku berteriak, suaraku bergetar, “Masa sih, Ibu tidak percaya sama penjelasan, Pak Ari?
Tapi, dalam hati, amarahku kayak gunung berapi siap meletus.
“Kenapa harus dijelasin sih? Kayak aku yang bodoh aja!”
“Bu, saya nggak ngirim! Titik. Tolong jangan menuduh saya lagi.”
Suamiku, yang tadi diam kayak patung tiba-tiba ngomong.
“Permisi Pak saya mau bicara! Suaranya serak, kayak orang habis nyayi dangdutan semalam.
“Silakan, Pak,” jawab Pak Eman, senyumnya terasa hambar, seperti gula yang sudah kedaluwarsa.”
“Rasanya kayak lagi main game horor, gak ada jalan keluar, sangat kecewa kayak nunggu paket yang nggak kunjung datang.
“Hari ini saya melarang istri saya untuk tidak meminjamkan ponsel kepada bapak dan ibu,” kata suamiku, suaranya tegas seperti palu menghantam baja.”
Bapak dan ibu di sini untuk tidak gaptek, rajin belajar teknologi.” Wajah Ibu Ina merah padam kayak tomat yang kena sengatan matahari. Rasa panasnya sampe ke kuping aku.”
“Aku merasa terjebak dalam labirin, tak tahu jalan keluar. Kekecewaan menggerogoti jiwaku seperti rayap yang memakan kayu.
“Suamiku berdiri tegak seperti superhero mau menyelamatkan dunia.”
Ayo, Mak! pulang! Dia narik aku pergi. Matanya melotot. Aku mengikuti langkahnya, meninggalkan ruangan itu dengan perasaan campur aduk; malu, marah dan kecewa.(*)
Way Kanan, 15 Januari 2025