HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Pulang Kampung

April 9, 2025 09:38
IMG-20250407-WA0087

Cerpen Ilhamdi Sulaiman

HATIPENA.COM – Dengan mengendarai mobil Honda Brio, Uda Syafruddin bersama istri dan dua anaknya pulang ke kampung halamannya di Sumatra dengan riang.
Sesampai di Pelabuhan Merak, Uda Saf merasa seperti Sutan Andara saja. Anak-anak mereka yang duduk di belakang menghentak-hentakkan pantat ke jok, sebelum mobilnya dimasukkan ke lambung kapal feri, Uda Saf membeli segelas kopi untuk diminum dalam pelayaran Merak–Bakauheni nanti.

Ketika kapal meninggalkan dermaga, cuaca sedikit mendung, tetapi ombak tidak terlalu besar. Di atas kapal, istri Uda Saf mengeluarkan tas dari mobil untuk dibawa ke dek kapal agar mereka bisa beristirahat.

Dalam tas jinjing itu terdapat bungkus nasi berbalut daun pisang, sambal, dan beberapa potong ayam goreng yang telah mereka persiapkan untuk dua kali makan di perjalanan.

Sementara itu, kopi yang dibeli Uda Saf sudah mulai dingin. Meski begitu, ia tetap meminumnya karena tahu harga kopi di restoran kapal bisa tiga kali lipat lebih mahal daripada di darat.

Setelah tiba di Pelabuhan Bakauheni, mobil-mobil antre satu per satu menuju dermaga. Uda Saf dan keluarganya kemudian melanjutkan perjalanan melewati Bandar Lampung, Palembang, lalu berbelok ke arah Jambi.

Malam itu, di daerah Jambi, mobil yang dikendarainya hampir bertabrakan dengan truk tangki pengangkut BBM. Uda Saf mengantuk, hampir saja celaka.

Setelah melewati perbukitan Sitinjau Laut yang curam dan berliku, akhirnya mereka sampai di kampung setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 36 jam.

Di kampung, kedua orangtua Uda Saf menyambut kedatangannya dengan sukacita. Sudah lebih dari tiga tahun mereka tidak bersua dengan anaknya yang merantau ke Jakarta.

Sementara itu, orang-orang kampung berdatangan untuk bersalaman. Anak kecil dan emak-emaknya menadahkan tangan kepada Uda Saf untuk meminta THR, kata mereka, dan takjub melihat keberhasilan Uda Saf saat ini. Baru tiga tahun merantau, ia sudah memiliki mobil—sesuatu yang menurut ukuran orang kampung adalah pencapaian luar biasa.

Malam harinya, kebiasaan lama Uda Saf untuk maota ota (bercerita) muncul kembali. Dengan mengenakan sarung dan jas bekas yang ia beli di lantai tiga pertokoan Proyek Senen, Jakarta, ia pergi ke kedai kopi Mak Pakieh, yang sejak lama berdagang di halaman depan rumahnya.

“Assalamualaikum, Mak Pakieh,” sapa Uda Saf.

“Waalaikumsalam. Oh, Nak Safruddin rupanya! Kapan sampai dari rantau?” tanya Mak Pakieh sambil menawarkan teh telur buatannya yang terkenal di kampung itu.

“Boleh, Mak. Satu, ya. Sudah lama pula awak tak minum teh telur,” balas Uda Saf.

Mak Pakieh dengan cekatan mengocok telur untuk minuman pesanannya. Sambil menunggu, Uda Saf menyaksikan berita di televisi tentang situasi mudik tahun ini. Berita menampilkan kemacetan parah di titik-titik penyeberangan dan jalan tol.

Ada juga kabar mengerikan tentang sebuah bus yang bertabrakan dengan mobil Kijang, di mana seluruh penumpang Kijang tewas di tempat.

Berita kriminal pun turut tersaji.
Teh telur akhirnya terhidang. Mak Pakieh duduk di dekat Uda Saf dan membuka obrolan untuk mencairkan suasana.

“Tahun ini tahun yang sulit, Saf. Utang negara ke Bank Dunia makin naik dari tahun ke tahun. Di Jakarta, toko-toko orang kita banyak yang bangkrut gara-gara penjualan online makin marak.

Tapi aku lihat kau sukses di sana. Pulang dengan mobil bagus, macam orang kaya korupsi saja kau ini. Ilmu apa yang kau pakai?” Mak Pakieh tertawa terkekeh-kekeh, giginya yang tinggal dua seakan hendak meloncat ke muka Uda Saf.

Uda Saf tersanjung. “Ilmu saya cuma kerja keras, sabar, dan ikhlas saja, Mak.”

“Tapi budaya pulang kampung ini ada baik buruknya juga, Saf. Banyak yang memaksakan diri pulang dengan berhutang ke rentenir. Giliran balik ke rantau, utang menumpuk sana-sini, tak bisa dibayar. Itu yang kasihan,” ujar Mak Pakieh.

Uda Saf hanya mengangguk dan menunduk. Makin malam, kedai Mak Pakieh makin ramai. Orang tua, anak muda, bahkan lansia berdatangan hanya untuk sekadar maota ota. Uda Saf menyalami satu per satu. Ketika berita terakhir di televisi selesai, ia pun pamit dengan alasan masih lelah setelah perjalanan jauh dari Jakarta.

Setibanya di rumah, ia langsung menuju kamar yang telah disiapkan ibunya. Dalam keheningan, kata-kata Mak Pakieh kembali terngiang di benaknya. Tentang kondisi ekonomi negara, tentang mudik Lebaran, tentang orang-orang yang terpaksa berutang demi bisa pulang kampung.

Pada hari ketiga di kampung, pagi-pagi, telepon genggam istrinya berdering. Dari layar, tertulis nama Pak Juanda, temannya di Jakarta. Istrinya memberi tahu Uda Saf tentang panggilan itu.

“Kalau dia telepon lagi, tak usah diangkat. Biarkan saja. Nanti saya urus setelah kembali ke sana,” pesan Uda Saf.

Istrinya hanya mengangguk pelan.
Seminggu telah berlalu, Uda Saf dan keluarganya kembali ke Jakarta. Sesampainya di Pelabuhan Merak, polisi menyetop mobil yang ia kendarai. Polisi tidak menanyakan surat-surat kendaraan atau SIM-nya. Polisi langsung memborgol tangannya.

“Maaf, kami terpaksa memborgol Bapak karena kami mendapatkan laporan bahwa mobil ini telah digelapkan oleh penyewa dari tempat rental miliknya.”

“Silakan ikut kami ke kantor untuk lebih jelas persoalannya,” ujar petugas.

Polisi menyuruh Uda Saf turun dari mobil dan membawanya ke dalam mobil polisi.

Uda Saf tak dapat berkata apa-apa. Istrinya sedih dan kedua anaknya menangis ketakutan melihat polisi menangkap ayah mereka.

Sesampainya di kantor polisi, Pak Juanda, pemilik rental, sudah berada di sana. Ia marah-marah dan membentak-bentak Uda Saf karena tidak mau mengangkat telepon saat di kampung berlebaran.

Istri dan anak-anaknya tidak bertemu dengan pemilik rental karena mereka langsung diantar ke kontrakan mereka.

Malam itu, istri dan anak-anaknya cemas dan gelisah memikirkan keadaan Uda Saf di kantor polisi.
Tengah malam, tiba-tiba terdengar pintu kontrakan mereka digedor orang dengan keras.

Istri Uda Saf bergegas ke pintu untuk melihat siapa yang melakukan itu dengan kasar. Begitu pintu terbuka, ia terkejut dan ketakutan. Di hadapannya berdiri dua orang bertubuh tinggi besar, berkulit hitam.

“Mana suamimu?” tanya salah seorang dari mereka dengan suara berat.

Rupanya, dua tamu tak diundang itu adalah kolektor utang yang dikirim seorang rentenir.

“Kalau tidak mampu membayar, gak usah berutang buat gaya-gayaan di hari Lebaran!” bentak salah satu dari mereka yang berambut keriting.

Istri Da Saf hanya menjawab, “Di kantor polisi.” Lalu pingsan dan suara dua nak mereka menangis melebihi tangisnya di perjalanan tadi ketika ayahnya di borgol polisi. (*)

Jakarta, 3 Maret 2025