Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Pusaka Kerajaan Sekala Bekhak

March 23, 2025 05:50
IMG-20250323-WA0013

Mohammad Medani Bahagianda
(Dalom Putekha Jaya Makhga)

Hikayat Kerajaan Sekala Bekhak Lampung

HATIPENA.COM – Di tanah Lampung, jauh di pedalaman pegunungan Bukit Barisan, berdirilah Kerajaan Sekala Bekhak. Kerajaan ini dipercaya sebagai pusat kebudayaan dan kekuatan spiritual suku-suku asli Lampung. Kisah tentang Sekala Bekhak telah menjadi legenda yang diceritakan dari generasi ke generasi, namun ada satu cerita yang paling membangkitkan rasa kagum: cerita tentang pusaka sakti yang menjadi simbol kejayaan kerajaan ini.

Pusaka itu tidak hanya sebatas benda berharga. Dikatakan bahwa pusaka tersebut adalah pemberian langsung dari para leluhur, makhluk-makhluk gaib yang melindungi tanah Lampung. Pusaka itu dikenal sebagai Gading Puyang, sebuah tanduk gajah putih yang dipercayai memiliki kekuatan magis.

Pusaka ini bukan hanya simbol kekuatan, tetapi juga lambang kebijaksanaan, keberanian, dan hubungan yang erat antara raja dan rakyatnya dengan alam semesta.
Pusaka Gading Puyang disimpan dengan sangat hati-hati di dalam gua suci di lereng Gunung Pesagi, gunung tertinggi di wilayah itu, yang dianggap sebagai tempat bersemayamnya para roh leluhur.

Hanya raja Sekala Bekhak dan keturunan langsungnya yang diperbolehkan melihatnya. Dan bagi setiap raja yang memegangnya, pusaka itu dipercaya akan memberikan kekuatan untuk memimpin kerajaan dengan bijaksana.

Pada suatu malam, Raja Umpu Selampung, penguasa Sekala Bekhak yang termasyhur, bermimpi aneh. Dalam mimpinya, ia melihat seorang leluhur, sosok berjubah putih yang melayang di atas tanah, datang kepadanya. Mata leluhur itu bersinar, dan suaranya bergema seperti angin yang datang dari dasar lembah.

“Wahai Raja,” ujar leluhur itu, “Pusaka Gading Puyang kini terancam. Ada ancaman dari timur, dari mereka yang tamak akan kekuasaan dan kekayaan. Hanya dengan melindungi pusaka, engkau dapat menjaga keseimbangan alam ini dan mempertahankan kerajaanmu.”

Raja Umpu terbangun dengan keringat membasahi dahinya. Ia tahu, mimpi itu bukan sembarangan. Leluhur telah memperingatkannya tentang bahaya yang akan datang. Dengan cepat, ia memanggil para penasehat dan tetua adat untuk mendiskusikan makna dari mimpi tersebut.

Mereka semua sepakat, ancaman itu nyata. Dan yang lebih mengerikan, pusaka Gading Puyang yang sakti menjadi sasaran.
Di hari-hari berikutnya, Raja Umpu mulai mengamankan seluruh kerajaan, memperkuat pertahanan, dan memperketat penjagaan di sekitar Gunung Pesagi, tempat pusaka sakti disimpan. Namun, ancaman yang datang bukan hanya dari luar, tetapi juga dari dalam. Ada desas-desus tentang pengkhianatan di antara bangsawan kerajaan, mereka yang diam-diam merencanakan untuk merebut pusaka dan menggunakannya untuk kepentingan pribadi.

Di tengah-tengah ancaman yang mendekat, seorang tokoh penting muncul: Pangeran Radin Inggu, putra sulung Raja Umpu Selampung. Radin Inggu adalah seorang pangeran yang dikenal karena keberanian dan kecerdasannya, tetapi ia juga memiliki ambisi besar.

Banyak yang mengatakan bahwa ia terlalu tergesa-gesa ingin menggantikan ayahnya sebagai penguasa Sekala Bekhak.
Melihat kekhawatiran ayahnya tentang pusaka Gading Puyang, Radin Inggu berusaha meyakinkan bahwa dirinya adalah orang yang paling layak untuk melindungi pusaka tersebut.

Namun, Raja Umpu Selampung, yang masih mencintai dan mempercayai anaknya, merasakan ada sesuatu yang salah dalam cara berpikir Radin Inggu. Ada kekhawatiran bahwa anaknya mungkin tergoda oleh kekuatan pusaka, dan lebih mementingkan ambisinya daripada kesejahteraan rakyat.

Pada suatu malam yang penuh ketegangan, Radin Inggu mendatangi Gunung Pesagi tanpa izin ayahnya. Ia bertekad untuk mendapatkan Gading Puyang lebih cepat dari yang diharapkan.

Dengan beberapa pengikut setia yang tidak diketahui oleh kerajaan, ia memasuki gua suci, berharap kekuatan pusaka itu akan memberikannya jalan untuk merebut takhta.

Namun, sesampainya di dalam gua, Radin Inggu tidak menemukan pusaka tersebut. Hanya kegelapan dan keheningan yang menyelimuti tempat itu. Pada saat itulah, roh leluhur muncul di hadapannya, dan dengan suara penuh kemarahan, mereka menegur Radin Inggu. “Ambisimu akan menghancurkan Sekala Bekhak,” kata salah satu roh leluhur. “Pusaka ini tidak bisa dimiliki oleh mereka yang hatinya diliputi keserakahan.”

Pangeran Radin Inggu gemetar ketakutan. Ia berlutut dan memohon ampun kepada leluhur, tetapi penyesalannya datang terlambat. Para roh leluhur menghilang, meninggalkan Radin Inggu dalam kegelapan gua. Di luar, hujan mulai turun deras, seolah alam pun menandai pengkhianatan yang telah terjadi.

Kejadian di gua itu membawa malapetaka bagi Sekala Bekhak. Pangeran Radin Inggu yang kecewa dan dipenuhi oleh rasa bersalah, kembali ke kerajaan dengan hati yang penuh dendam. Ia mulai menghasut beberapa bangsawan untuk memberontak terhadap ayahnya, meyakinkan mereka bahwa raja sudah terlalu tua dan tidak mampu lagi melindungi pusaka sakti. Dalam waktu singkat, pemberontakan pun meletus.

Sekala Bekhak, yang selama ini hidup dalam kedamaian, terpecah dalam perang saudara. Rakyat terpecah antara mendukung Raja Umpu Selampung atau mengikuti Pangeran Radin Inggu. Peperangan berlangsung sengit, dan di tengah-tengah kekacauan itu, pusaka Gading Puyang tetap tersembunyi, dijaga oleh roh leluhur yang tidak ingin pusaka itu jatuh ke tangan yang salah.

Di puncak perang, Raja Umpu Selampung tahu bahwa hanya ada satu cara untuk mengakhiri konflik ini: ia harus melindungi pusaka dengan nyawanya sendiri. Dengan tubuh yang semakin lemah karena usia dan luka-luka pertempuran, Raja Umpu mendaki Gunung Pesagi sendirian. Ia tahu bahwa para leluhur sedang menunggu.

Sesampainya di gua suci, Raja Umpu bertemu dengan roh leluhur yang telah membimbingnya selama ini. “Waktumu sudah dekat,” ujar salah satu roh, “tetapi Sekala Bekhak masih bisa diselamatkan. Dengan mengorbankan dirimu, kau akan menyegel pusaka ini selamanya, sehingga tidak ada satu pun manusia yang dapat menggunakannya untuk tujuan jahat.”

Raja Umpu setuju. Dengan sebuah mantra kuno yang hanya diketahui oleh raja-raja Sekala Bekhak, ia mengunci pusaka Gading Puyang di dalam gua suci, di bawah perlindungan para leluhur. Dalam pengorbanan terakhirnya, ia meninggalkan dunia fana, dan pusaka itu menjadi bagian dari alam gaib, tidak lagi dapat disentuh oleh manusia.

Dengan pengorbanan Raja Umpu Selampung, perang saudara di Sekala Bekhak berakhir. Pangeran Radin Inggu, yang tersadar dari ambisinya, meninggalkan kerajaan dan mengasingkan diri. Rakyat Sekala Bekhak kembali bersatu, meskipun tanpa pusaka sakti, mereka hidup dalam kedamaian.

Namun, legenda tentang Gading Puyang terus hidup. Pusaka itu mungkin telah hilang dari dunia nyata, tetapi roh leluhur dan kekuatan spiritualnya tetap melindungi Sekala Bekhak dari bahaya.

Dan hingga kini, cerita tentang pusaka Kerajaan Sekala Bekhak menjadi bagian dari warisan rakyat Lampung, sebuah simbol kekuatan, kebijaksanaan, dan pengorbanan yang tak pernah pudar.
Sekala Bekhak, meski telah menjadi bagian dari legenda, tetap abadi di hati rakyatnya. (*)