Cerpen Absurd Gus Nas Jogja
HATIPENA.COM – Gerimis lembut menyapa subuh, namun bukan di jalanan biasa. Kami berdiri di tengah lanskap anomali demonstrasi. Aspal jalanan Ibukota mencair dan mengeras lagi membentuk gundukan-gundukan aneh, seperti ombak beku yang mencoba mencapai langit. Di kejauhan, spanduk-spanduk tuntutan raksasa, yang seharusnya terbuat dari kain, kini berkelap-kelip seperti hologram, menampilkan deretan angka “17+8” yang menari-nari dalam berbagai tipografi. Udara bergetar bukan hanya oleh suara pekikan burung pipit yang entah dari mana asalnya, melainkan oleh desiran frekuensi tak kasat mata.
Aku, Sang Penyair Jalanan, dengan topi baret miring dan jaket lusuh penuh pin, menyeruput kopi sisa semalam dari termos penyok. Rasanya aneh, seperti campuran kafein, kecemasan, dan sedikit harapan. Bau aspal basah bercampur aroma melati yang entah dari mana datangnya, menciptakan simfoni olfaktori yang absurd, diperparah dengan bau gosong kabel-kabel putus di tiang listrik yang meliuk-liuk seperti ular.
Di sudut-sudut yang gelap, bersembunyi siluet-siluet mencurigakan. Mereka adalah para penumpang gelap, dengan jaket hitam dan topi kupluk yang menutupi wajah. Mata mereka tajam, sesekali melirik ke arah kami, lalu beralih ke layar ponsel mereka yang memancarkan cahaya biru. Di saku-saku mereka, tersembunyi remote-remote kecil, siap memicu efek domino yang lebih besar. Tidak jauh dari mereka, di balik reruntuhan bus kota yang terbakar dan kini menjadi patung abstrak, tampak bayangan-bayangan gemuk, para bohir dengan cerutu mengepul dan seringai tipis di wajah. Remote di tangan mereka lebih besar, seperti kontrol konsol game, dengan tombol-tombol berwarna-warni yang siap mengatur intensitas keramaian.
Di sampingku, Albert Camus, dengan rokoknya yang tak pernah padam, bergumam tentang ketidakberartian eksistensi. “Kopi ini,” katanya, “adalah metafora sempurna untuk kebosanan yang terstruktur. Pahit, tapi kita terus menyesapnya, berharap menemukan makna di dasar cangkir, padahal yang mengontrol rasa pahitnya adalah seseorang dengan remote di balik semak-semak.”
Aku tertawa. Tawa yang renyah, khas orang yang sudah terlalu sering melihat dunia terbalik. “Bukan makna, Bung Camus, tapi ampas! Dan ampas itu, seperti janji-janji manis, selalu menyisakan residu pahit. Dan sayangnya, remote para bohir itu tidak memiliki tombol ‘rasa manis’ di dalamnya.”
Pagi itu, Istana Negara tak seperti biasanya. Gerbangnya terbuka lebar, mengundang siapa saja untuk masuk. Sebuah undangan yang mencurigakan, seperti tawaran gratisan yang selalu punya udang di balik batu. Tapi, ini Istana Negara, bukan pasar malam yang dikendalikan oleh remote control. Atau mungkin iya?
Aku kembali tertawa. Tawa yang renyah, khas orang yang sudah terlalu sering melihat dunia penuh kepalsuan dan kemunafikan. “Bukan makna hitam kopinya, Bung Albert Camus, tapi ini soal ampas! Dan ampas itu, seperti janji-janji manis, selalu menyisakan residu pahit.”
Pagi itu, Istana Negara tak seperti biasanya. Bendera merah putih berkibar malas-malasan, seolah lelah menghadapi realitas. Gerbangnya terbuka lebar, mengundang siapa saja untuk masuk. Sebuah undangan yang mencurigakan, seperti tawaran gratisan yang selalu punya udang di balik batu. Tapi, ini Istana Negara, bukan pasar malam.
Aku dan Albert Camus melangkah masuk, melewati barisan Paspampres yang anehnya mengenakan kostum badut. Satu badut dengan hidung merah menyala menyapaku. “Selamat datang, Penyair! Apa yang kau bawa hari ini? Sajak-sajak yang membakar atau hanya keluh kesah yang menyejukkan?”
“Aku membawa Rahasia 17+8 Tuntutan Rakyat,” jawabku mantap.
Badut itu mengernyit. “Angka itu lagi? Angka keramat yang akhir-akhir ini menghantui mimpi para pejabat? Apa itu resep masakan? Atau kode rahasia menuju harta karun dalam teori konspirasi?”
“Lebih dari itu, Mas Badut. Ini adalah melodi yang lahir dari rahim keresahan, simfoni yang ditiupkan angin perubahan.”
Albert Camus di sampingku terbatuk. “Aku kira itu hanya deretan angka yang kebetulan berjumlah dua puluh lima.”
Kami sampai di aula utama. Sebuah ruangan megah yang seharusnya diisi rapat kabinet, kini disulap menjadi panggung teater absurd. Lampu sorot berwarna-warni menyoroti podium, di mana Friedrich Nietzsche sedang berpidato dengan penuh semangat. “Tuhan sudah mati!” teriaknya, “Dan kita yang membunuhnya dengan birokrasi yang berbelit-belit, dengan janji-janji yang menguap, dengan ketidakadilan yang merajalela! Serta dengan flexing para pejabat dan keluarganya!”
Para hadirin, yang tak lain adalah para filsuf dan sastrawan dari berbagai zaman, bertepuk tangan riuh. Ada Karl Marx dengan jenggot lebatnya yang mengangguk-angguk setuju, ada Virginia Woolf dengan tatapan tajamnya yang menganalisis setiap kata, dan ada Pramoedya Ananta Toer yang mencatat setiap detail di buku catatannya yang lusuh.
“Perspektif yang menarik, Nietzsche,” kataku. “Tapi, apa korelasi teori kematian Tuhan dengan Rahasia 17+8?”
Nietzsche menoleh, matanya berbinar. “Ah, Sang Penyair! 17+8 adalah manifestasi dari ‘kehendak untuk berkuasa’ yang gagal. Angka-angka itu adalah jeritan nurani yang tak tertulis, protes terhadap ketiadaan makna dalam kekuasaan yang hampa.”
Sontak, dari barisan belakang, Foucault bangkit. “Bukan kehendak berkuasa, Nietzsche! Ini adalah bentuk resistensi terhadap kekuasaan yang mendefinisikan kita, yang mengkonstruksi realitas kita. 17+8 adalah upaya untuk mendekonstruksi narasi dominan!”
Perdebatan pun pecah. Marx mengacungkan tinju, menyerukan revolusi proletariat. Woolf menulis esai instan di udara, menganalisis struktur patriarki di balik angka-angka. Pramoedya hanya tersenyum tipis, seolah semua kegaduhan ini adalah babak baru dalam roman kehidupannya. Chairil Anwar, Rendra, Umbu, Remy Sylado dan Sutardji Calzoum Bachri hanya diam membisu.
Aku tersenyum. Inilah “kelucuan khas aktivis, pendemo, dan para penyair jalanan.” Di tengah kekacauan, selalu ada celah untuk humor, untuk satire yang menusuk, untuk tawa yang membebaskan.
Tiba-tiba, pintu aula terbuka dengan derit keras. Sesosok pria paruh baya, dengan setelan jas rapi dan wajah sedikit panik, tergopoh-gopoh masuk. Dia adalah Bapak Presiden, yang rupanya baru saja terbangun dari tidur siangnya.
“Ada apa ini?” tanyanya, suaranya sedikit serak. “Mengapa Istana Negara berubah menjadi lokakarya filsafat?”
Aku melangkah maju. “Ampun, Bapak Presiden. Kami sedang mendiskusikan 17+8.”
Wajah Bapak Presiden langsung pucat. “17+8? Jangan sebut angka itu! Angka itu menghantuiku dalam mimpi. Aku melihatnya di setiap lembar laporan, di setiap pidato yang kubuat, bahkan di dalam kopi pagiku!”
“Itulah intinya, Bapak Presiden,” kata Camus. “Angka itu adalah cermin yang memantulkan kembali realitas yang Bapak ciptakan. Realitas yang absurd, penuh ketidakpastian.”
Bapak Presiden menghela napas panjang. “Baiklah, baiklah. Aku menyerah. Apa sebenarnya 17+8 itu? Katakan padaku, agar aku bisa tidur nyenyak malam ini.”
Aku mengeluarkan sebuah gulungan kertas dari balik jaketku. Isinya bukan sajak, bukan manifesto, tapi sebuah daftar belanja. “Ini dia, Bapak Presiden. 17+8 Tuntutan Rakyat.”
Semua mata tertuju pada gulungan kertas itu. Nietzsche mendekat, matanya membesar. Marx mengintip dari balik bahu Pramoedya. Woolf mengeluarkan kaca pembesarnya.
Aku mulai membaca.
- Turunkan harga cabai rawit setan, agar rakyat bisa makan pedas tanpa harus menjual ginjal.
- Sediakan Wi-Fi gratis di setiap pos ronda, agar bapak-bapak bisa nonton bola tanpa harus mencuri sinyal tetangga.
- Wajibkan semua pejabat negara untuk mengikuti kelas stand-up comedy, agar pidato mereka tidak lagi membosankan dan bikin ngantuk.
- Ganti seragam Paspampres dengan kostum superhero, biar lebih keren dan bisa langsung terbang kalau ada bencana.
- Bangun jembatan layang khusus untuk para pejalan kaki yang suka melamun, agar tidak tertabrak motor saat menyeberang.
- Legalkan tidur siang di jam kerja, tapi hanya untuk yang sudah mencapai target.
- Dirikan akademi khusus untuk para tukang parkir, agar mereka bisa mengatur lalu lintas dengan seni dan estetika.
- Buat lomba cipta lagu kebangsaan versi dangdut koplo, biar lebih merakyat dan bisa jadi goyangan massal.
- Pasang dispenser air mineral di setiap lampu merah, biar pengendara tidak dehidrasi saat terjebak macet.
- Sediakan fasilitas karaoke gratis di setiap kantor kelurahan, biar warga bisa menyalurkan bakat terpendam dan mengurangi stres.
- Wajibkan semua politisi untuk berpuasa media sosial selama seminggu penuh, biar mereka lebih fokus pada masalah rakyat daripada drama.
- Ganti nama jalan yang terlalu panjang dan rumit dengan nama-nama yang lebih simpel dan mudah diingat, seperti Jalan Cinta atau Jalan Damai.
- Sediakan penitipan kucing gratis di setiap pusat perbelanjaan, biar para ibu-ibu bisa belanja dengan tenang tanpa khawatir kucingnya kesepian.
- Bangun taman bermain khusus untuk para pensiunan, biar mereka bisa main perosotan dan ayunan tanpa harus malu.
- Adakan festival kuliner gratis setiap bulan, biar rakyat bisa menikmati berbagai masakan tanpa harus merogoh kocek terlalu dalam.
- Sediakan layanan pijat gratis di setiap stasiun kereta api, biar penumpang tidak pegal-pegal saat perjalanan jauh.
- Wajibkan semua angkutan umum untuk memutar musik klasik, biar suasana lebih tenang dan penumpang tidak mudah emosi.”
Semua terdiam. Bapak Presiden menganga. Camus menggeleng-gelengkan kepala. Nietzsche menyeringai.
“Dan delapan tuntutan tambahan,” lanjutku.
- Dirikan museum khusus untuk memamerkan koleksi sandal jepit hilang, biar kita bisa mengenang jejak-jejak masa lalu yang tak terlupakan.
- Ganti mata uang rupiah dengan koin cokelat, biar transaksi lebih manis dan bisa langsung dimakan kalau lapar.
- Sediakan tukang dongeng keliling di setiap komplek perumahan, biar anak-anak bisa tidur nyenyak tanpa harus diganggu tayangan TV yang tidak mendidik.
- Wajibkan semua arsitek untuk merancang bangunan dengan bentuk unik dan nyentrik, biar kota kita tidak monoton dan membosankan.
- Buat hari libur nasional khusus untuk merayakan ‘Hari Kemalasan Sedunia’, biar rakyat bisa bermalas-malasan tanpa rasa bersalah.
- Pasang cermin di setiap sudut kota, biar kita bisa selalu bercermin dan memperbaiki diri.
- Sediakan bangku taman yang bisa berputar 360 derajat, biar kita bisa menikmati pemandangan dari berbagai sudut tanpa harus pindah tempat.
- Dan yang terakhir, Bapak Presiden,” kataku, menatap langsung ke matanya, “wajarkan humor dalam setiap kebijakan. Karena hidup ini sudah cukup serius, biarkanlah tawa menjadi obatnya.”
Aula kembali hening. Lalu, tiba-tiba, Bapak Presiden tertawa. Tawa yang lepas, tawa yang tulus, tawa yang langka. Para filsuf dan sastrawan ikut tertawa. Badut Paspampres ikut tertawa, hidung merahnya berkedip-kedip.
“Ini… ini luar biasa!” kata Bapak Presiden, sambil menyeka air mata yang keluar dari sudut matanya. “Aku tidak pernah membayangkan tuntutan rakyat bisa se-absurd dan se-jenaka ini!”
Camus menepuk pundakku. “Sepertinya, Sang Penyair, kau telah berhasil menemukan makna dalam kebosanan. Makna yang tersembunyi di balik tawa.”
Nietzsche mengangguk-angguk. “Tuhan mungkin sudah mati dalam teoriku, tapi humor akan selalu hidup. Dan humor, seperti yang kau tunjukkan, adalah senjata paling ampuh untuk melawan kekuasaan yang kaku dan beku.”
Pramoedya tersenyum, lalu menulis sesuatu di buku catatannya. Aku yakin, dia sedang merangkai babak baru, tentang seorang penyair jalanan yang membawa tawa dan keabsurdan ke dalam Istana Negara, mengubah wajah politik menjadi pertunjukan komedi paling epik sepanjang masa.
Tiba-tiba, dari sudut ruangan, terdengar suara berat. Sosok yang selama ini diam, Jenderal Sudirman, yang entah sejak kapan berdiri di sana dengan tongkat di tangannya, maju ke depan. Wajahnya yang tegar, namun dihiasi seulas senyum tipis, menatap kami semua.
“Saudara-saudaraku sekalian,” katanya, suaranya tenang namun penuh wibawa, “Ingatlah pesan ini, yang selalu saya pegang teguh saat bergerilya: ‘Robek-robeklah selimut yang membelenggu keadilan dan kebenaran!’ Humor dan tawa memang obat, tetapi ia akan semakin ampuh jika diiringi dengan keberanian untuk merobek selimut ketidakbenaran itu.”
Lalu, di samping Jenderal Sudirman, muncul sosok lain, Jenderal Prabowo Subianto, yang membawa sebuah buku tebal. Dia membuka halaman tertentu dan membacanya dengan lantang. “Dalam bukuku, Paradoks, saya menulis: ‘Seringkali, kebenaran itu pahit dan tidak populer. Namun, kebenaran tetaplah kebenaran. Jangan pernah takut untuk mengungkapkannya, meski harus berhadapan dengan badai.’ Tuntutan 17+8 ini, meski terbungkus kelucuan, adalah bentuk kebenaran yang jujur dan menyentuh dasar hati rakyat.”
Semua terdiam lagi, kali ini dengan tatapan penuh perenungan. Kata-kata dari dua jenderal besar itu, satu dari masa lalu dan satu dari masa kini, terasa menusuk sekaligus menguatkan.
Aku tersenyum puas. Misi selesai. 17+8 Tuntutan Rakyat mungkin tidak akan mengubah dunia dalam semalam, tapi setidaknya, hari itu, kami berhasil menertawakan diri sendiri, menertawakan kekuasaan, dan menertawakan segala kepura-puraan yang menyelimuti hidup. Dan tawa itu, Bapak Presiden, adalah bentuk revolusi yang paling damai, paling jujur, dan paling manusiawi. Ditambah lagi, dengan pesan dari Jenderal Sudirman dan kutipan dari Jenderal Prabowo, tawa kami kini memiliki landasan yang lebih kokoh, sebuah pengingat bahwa di balik setiap kelucuan, ada sebuah kebenaran yang harus diperjuangkan.
“Jadi,” kata Camus, mematikan rokoknya, “apakah kita sudah mencapai titik absurditas tertinggi?”
Aku tertawa. “Belum, Bung Camus. Selama masih ada kopi pahit dan ampas janji, absurditas akan selalu punya panggung.”
Dan di tengah tawa riuh yang kembali pecah, aku tahu, pertunjukan ini belum berakhir. Pertunjukan kehidupan yang absurd, penuh paradoks, namun tak pernah kehilangan daya untuk memicu tawa, bahkan di dalam Istana Negara. (*)