Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Raja Terakhir Sekala Bekhak

March 24, 2025 16:18
IMG-20250324-WA0079(1)

Mohammad Medani Bahagianda
(Dalom Putekha Jaya Makhga)

Hikayat Kerajaan Sekala Bekhak Lampung

HATIPENA.COM – Di kaki Gunung Pesagi, di antara hutan lebat dan pegunungan yang menjulang tinggi, berdirilah sebuah kerajaan yang megah namun terpencil: Kerajaan Sekala Bekhak. Kerajaan ini, sejak berabad-abad lamanya, menjadi benteng terakhir budaya dan tradisi leluhur suku Lampung. Kerajaan ini tidak pernah tunduk pada pengaruh luar, dan bagi mereka yang hidup di dalam batas-batas kerajaannya, Sekala Bekhak adalah simbol kemuliaan, kekuatan, dan kebanggaan. Namun, sejarah selalu berubah, dan tidak ada yang abadi, bahkan bagi kerajaan yang kuat sekalipun.

Adalah Raja Puncak Pesagi, raja terakhir dari dinasti panjang penguasa Sekala Bekhak, yang hidup dalam masa yang penuh dengan tantangan dan ancaman. Sejak awal pemerintahannya, Raja Puncak Pesagi dihadapkan pada banyak tekanan dari luar. Penjajah Belanda mulai merambah lebih dalam ke wilayah pedalaman Lampung, membawa serta keinginan mereka untuk menaklukkan dan memanfaatkan sumber daya alam yang melimpah.

Sekala Bekhak, dengan kekayaan alam dan posisinya yang strategis di kaki gunung, menjadi target yang tak terhindarkan.

Meskipun demikian, Raja Puncak Pesagi bukanlah pemimpin yang mudah tunduk. Ia mewarisi darah pejuang dari leluhurnya yang telah mempertahankan kerajaan selama berabad-abad dari serangan musuh-musuh mereka, baik dari luar maupun dari dalam.

Namun, ia juga seorang pemimpin yang bijaksana, menyadari bahwa pertempuran fisik bukanlah satu-satunya cara untuk melindungi rakyatnya. Dalam masa-masa awal pemerintahannya, ia mencoba menjaga hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan tetangga dan bahkan melakukan negosiasi dengan pihak Belanda yang mulai mendekati wilayah kerajaannya.

Namun, di balik upaya diplomatiknya, tekanan dari dalam kerajaannya sendiri mulai muncul. Ada desas-desus di kalangan bangsawan bahwa sang raja terlalu lemah dalam menghadapi ancaman penjajah.

“Mengapa kita harus bernegosiasi dengan musuh yang jelas-jelas ingin mengambil tanah kita?” bisik seorang bangsawan di istana. “Leluhur kita tidak pernah mundur dari pertempuran. Mereka mengangkat senjata dan berperang demi kehormatan Sekala Bekhak.”

Sementara itu, rakyat mulai merasakan dampak dari masuknya pengaruh Belanda. Pajak yang tinggi, peraturan yang membatasi kebebasan, dan perlahan tapi pasti, tanah mereka mulai dirampas. Mereka menyalahkan kerajaan yang tampak tidak berdaya melawan gelombang kolonialisme yang datang makin mendekat.

Keresahan ini makin terasa, hingga akhirnya, sekelompok bangsawan dan rakyat mulai merencanakan pemberontakan.

Di tengah situasi yang semakin genting, Raja Puncak Pesagi memanggil rapat besar di istananya. Semua pemimpin suku, bangsawan, dan tokoh masyarakat dikumpulkan. Di aula besar yang dipenuhi dengan ukiran kayu dan simbol-simbol kerajaan, raja berdiri di hadapan mereka. Wajahnya tampak lelah, namun matanya memancarkan tekad yang kuat.

“Kita berada di ambang kehancuran,” ucap Raja Puncak Pesagi memulai pidatonya. “Belanda mendekat, dan aku tahu bahwa banyak dari kalian merasa bahwa kita tidak cukup kuat untuk melawan. Kalian mungkin berpikir bahwa aku terlalu lemah, terlalu lembut dalam menghadapi musuh.

Namun, ketahuilah, aku telah mencoba segala cara untuk melindungi tanah kita tanpa harus mengorbankan nyawa rakyat kita.”
Salah satu bangsawan berdiri. “Raja, dengan segala hormat, apakah itu artinya kita harus tunduk pada Belanda? Apakah kita akan menyerahkan Sekala Bekhak tanpa perlawanan? Jika itu yang terjadi, maka kita lebih baik mati dalam pertempuran daripada hidup sebagai budak!”

Keributan segera pecah di antara hadirin. Beberapa bangsawan mendukung pandangan sang raja, sementara yang lain merasa bahwa perang adalah satu-satunya jalan keluar.

Dalam kekacauan tersebut, seorang tokoh tua yang bijaksana, Ki Gede, yang merupakan penasihat raja sejak masa ayahnya, bangkit berdiri.

“Tenang, saudara-saudara,” kata Ki Gede dengan suara lembut namun tegas. “Raja kita adalah keturunan pejuang, dia tidak akan menyerahkan tanah ini dengan mudah. Namun, kita harus bijak dalam memilih pertempuran kita.

Kita tahu bahwa Belanda datang dengan senjata yang jauh lebih kuat. Perang frontal hanya akan membawa kehancuran. Mungkin sudah saatnya kita berpikir dengan kepala dingin, bukan dengan emosi.”

Raja Puncak Pesagi mengangguk setuju. “Benar, Ki Gede. Kita tidak bisa berperang seperti yang dilakukan leluhur kita. Tapi aku juga tidak akan membiarkan tanah ini jatuh ke tangan penjajah tanpa perlawanan. Kita akan melawan, tetapi dengan cara yang berbeda.”

Maka, sebuah rencana disusun. Alih-alih berperang secara terbuka, Raja Puncak Pesagi dan pasukannya memilih perlawanan gerilya. Mereka menggunakan hutan-hutan dan gunung-gunung sebagai perlindungan, menyerang pasukan Belanda dengan tiba-tiba lalu menghilang ke dalam bayangan. Taktik ini berhasil untuk sementara waktu, membuat Belanda kewalahan.

Namun, mereka tidak bisa bertahan selamanya. Jumlah pasukan Belanda terlalu banyak, dan senjata mereka terlalu canggih.

Pada akhirnya, setelah berbulan-bulan bertempur dalam bayang-bayang, Sekala Bekhak mulai kehabisan sumber daya. Pasukan kerajaan semakin sedikit, rakyat semakin menderita, dan Belanda semakin mendekat ke jantung kerajaan. Raja Puncak Pesagi menyadari bahwa ini mungkin akhir dari Sekala Bekhak yang ia cintai.

Di malam terakhir sebelum Belanda menyerbu istananya, Raja Puncak Pesagi berdiri sendirian di balkon istana, menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Di bawah sana, hutan-hutan yang dulu menjadi pelindungnya kini tampak sunyi dan gelap.

Ia teringat kisah-kisah leluhurnya, tentang bagaimana mereka mendirikan kerajaan ini dengan darah dan keringat. Ia teringat akan janji yang ia buat kepada ayahnya, bahwa ia akan melindungi tanah ini dengan segenap kekuatannya.

Namun, kadang-kadang, kekuatan bukanlah satu-satunya yang dibutuhkan untuk bertahan. Raja Puncak Pesagi sadar bahwa setiap kerajaan memiliki masanya sendiri, dan Sekala Bekhak, seperti kerajaan-kerajaan besar lainnya, mungkin telah mencapai akhirnya.

Keesokan harinya, Belanda menyerang. Pertempuran terakhir itu sangat sengit, namun pada akhirnya, istana Sekala Bekhak jatuh ke tangan penjajah. Raja Puncak Pesagi gugur dalam pertempuran, mempertahankan tanah leluhurnya hingga nafas terakhir.

Dengan kematian Raja Puncak Pesagi, berakhir pula era Kerajaan Sekala Bekhak. Namun, meskipun kerajaan itu runtuh, semangat dan warisannya tidak pernah hilang. Rakyat Lampung terus mengingat perjuangan raja terakhir mereka, dan hingga hari ini, kisahnya terus diceritakan dari generasi ke generasi.

Raja Puncak Pesagi mungkin telah tiada, tetapi keberaniannya tetap hidup dalam hati rakyatnya, sebagai simbol perlawanan dan cinta tanah air yang tak pernah padam.

Dan meskipun kerajaan itu kini hanya tinggal kenangan, semangat Sekala Bekhak masih terus menyala di setiap jiwa yang mencintai kebebasan. (*)