Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Regu Tembak Khusus untuk Koruptor Telah Dipersiapkan

March 11, 2025 17:58
IMG-20250311-WA0000

Cerpen Rizal Tanjung

HATIPENA.COM – Di tengah lapangan yang dipenuhi teriakan rakyat, regu tembak bersiap. Beberapa koruptor kelas kakap berdiri di tonggak eksekusi, wajah mereka pucat, tetapi beberapa tetap menyeringai, seakan kematian hanyalah jeda dalam siklus kejahatan mereka.

Di antara kerumunan, bukan hanya rakyat yang menyaksikan, tetapi juga para pemikir lintas zaman. Dari bayangan sejarah, Socrates, Ali Audah, Datuak Perpatih Nan Sabatang, Datuak Katumanggungan, dan kini, filsuf-filsuf besar lainnya turut hadir.

I
Sartre, dengan matanya yang tajam, menatap pemandangan itu dengan sinis. “Jadi, inikah kebebasan yang kalian perjuangkan? Menukar satu bentuk tirani dengan tirani lainnya?”

Karl Marx terkekeh, mengisap cerutu imajiner. “Kebebasan macam apa, Sartre? Ini adalah konsekuensi dari sistem yang telah menindas rakyat selama berabad-abad. Mereka yang berdiri di tonggak eksekusi itu adalah borjuis yang merampas hak kaum proletar. Hukuman ini adalah revolusi!”

Tolstoy, yang selama ini percaya pada perdamaian, menggelengkan kepala. “Kekerasan tidak akan menyelesaikan apa pun. Korupsi adalah penyakit moral, dan penyakit tidak bisa disembuhkan dengan tembakan. Kita butuh perubahan jiwa, bukan hanya penghukuman jasmani.”

Dari sudut yang lebih gelap, Maxim Gorky tertawa pahit. “Tolstoy, kau berbicara seolah dunia masih bisa disembuhkan dengan doa dan moralitas. Aku telah hidup di tengah kemiskinan dan penderitaan kaum pekerja. Mereka tidak butuh filsafat, mereka butuh tindakan konkret! Jika peluru ini bisa memberikan ketakutan pada para pencuri, maka biarkan peluru berbicara!”

Goethe, yang selama ini diam, akhirnya membuka suara. “Manusia selalu terjebak dalam dilema antara keadilan dan balas dendam. Tapi ingatlah, sahabat-sahabatku, kejahatan tidak hanya terjadi karena ada pelakunya, tetapi juga karena ada mereka yang diam melihatnya.”

Datuak Perpatih Nan Sabatang menatap Goethe dengan hormat. “Betul, Tuan Goethe. Korupsi tak akan ada jika rakyat dan pemimpinnya memiliki nurani. Hanya saja, realitas tidak seideal itu. Hukum harus ditegakkan, tapi tidak boleh menjadi alat balas dendam.”

Datuak Katumanggungan menyela, “Tapi hukum tanpa ketegasan hanya akan menjadi dongeng kosong! Berapa banyak koruptor yang tertawa di atas penderitaan rakyat karena mereka tahu hukum bisa dibeli?”

Socrates tertawa kecil. “Ah, aku sudah melihat perdebatan seperti ini sejak lama. Bukankah ini alasan kenapa aku dihukum mati? Karena aku bertanya terlalu banyak? Karena aku menuntut keadilan yang lebih mendasar?”

Ali Audah menimpali, “Dan aku mati karena aku berbicara terlalu jujur. Sejarah terus berulang. Hari ini para koruptor ditembak, besok mungkin orang-orang jujur yang akan ditembak atas tuduhan palsu.”

II
Dari tengah kerumunan, seorang lelaki tua dengan wajah yang keriput berdiri. “Kalian para pemikir, kalian bisa berdebat sepanjang hari. Tapi kami di sini yang lapar! Kami di sini yang kehilangan anak-anak kami karena uang kesehatan dirampok! Jika kalian tidak punya solusi selain bicara, maka biarkan peluru ini berbicara untuk kami!”

Sorak-sorai rakyat membahana. Mereka tidak ingin lagi mendengar filsafat panjang. Mereka ingin keadilan.

Karl Marx menunjuk ke arah mereka. “Lihatlah, inilah revolusi! Inilah saatnya rakyat merebut hak mereka kembali!”

Tapi Sartre menatap rakyat dengan ragu. “Revolusi tanpa arah hanya akan melahirkan penindasan baru. Apa yang menjamin bahwa setelah mereka mati, sistem tidak akan kembali seperti semula?”

Goethe mengangguk. “Benar. Setiap eksekusi harus memiliki tujuan yang jelas. Jika hari ini koruptor mati, tetapi esok para penguasa baru mengambil tempat mereka, maka darah ini hanya akan sia-sia.”

Datuak Perpatih Nan Sabatang memandang rakyat dengan penuh kebijaksanaan. “Kita tak boleh hanya menembak. Kita harus mengubah sistem. Jika hari ini kita membunuh tanpa reformasi, maka besok kita akan tetap melawan musuh yang sama, hanya dengan wajah yang berbeda.”

Datuak Katumanggungan mengangkat tangan. “Tapi jika kita tidak menghukum dengan tegas, kita hanya akan terus dikhianati oleh mereka yang punya kuasa!”

Socrates kembali angkat bicara, kali ini dengan suara yang lebih tajam. “Baiklah, aku bertanya: Apakah kalian yakin orang-orang ini adalah satu-satunya koruptor? Apakah setelah mereka mati, korupsi akan berhenti?”

Maxim Gorky menatap langit yang mendung. “Mungkin tidak. Tapi setidaknya, biarkan rakyat merasa mereka memiliki kekuatan untuk melawan. Biarkan peluru ini memberi pesan kepada yang lain.”

III
Regu tembak bersiap. Koruptor yang berdiri di tonggak eksekusi tertawa, seakan tahu bahwa kematian mereka tidak akan mengubah apa pun.

Seorang koruptor berbisik sebelum peluru dilepaskan, “Setelah kami, akan ada yang lain. Lihatlah siapa yang akan berdiri di tempat kami esok hari.”

Plato, yang sejak tadi diam, akhirnya berkata, “Dan di sinilah tragedi manusia: selalu ingin menegakkan keadilan, tetapi tak pernah memahami akarnya.”

Tolstoy memejamkan mata. “Semoga darah yang tumpah hari ini tidak sia-sia.”

Perintah eksekusi diberikan.

DOR!

Peluru melesat, tubuh-tubuh terhempas.

Tapi pertanyaan besar tetap menggantung di udara: Apakah ini akhir, atau hanya babak baru dari lingkaran setan korupsi? (*)

Padang, 2025.