Cerpen Guys MPS
HATIPENA.COM – Pagi itu, cahaya matahari menerobos jendela kelas, menciptakan garis-garis cahaya di atas meja-meja kayu yang mulai lapuk dimakan waktu. Udara masih menyisakan dingin semalam, dan suara anak-anak terdengar seperti gumaman lembut yang mengisi ruang, melayang-layang tanpa arah.
Tiba-tiba, dari sudut belakang kelas, sebuah suara lantang memecah keheningan.
“Putar lagi dong, Pak, lagunya!”
Suara itu milik Rev—anak bongsor dengan tubuh lebih besar dari teman-temannya, selalu duduk di baris paling belakang, selalu dengan wajah yang dihiasi senyum. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang tak bisa dijelaskan, sesuatu yang hangat, yang membuat suasana kelas selalu terasa lebih hidup.
Aku tersenyum kecil, mengangguk, lalu menekan layar ponsel. Dalam sekejap, suara Tetty Kadi mengalun, merambat perlahan, mengisi ruang yang tadi kosong.
“Alangkah indahnya pesawat udara
Kuingin menjadi pramugari
Pakaian wanita yang ingin kupakai
Seragam pramugari udara”
Dan seketika, seluruh kelas berubah.
Rev mulai mengayunkan tangannya, mengikuti irama lagu yang mungkin sudah jauh lebih tua darinya. Pipi chubby-nya sedikit bergetar saat ia bernyanyi dengan penuh semangat. Anak-anak lain pun ikut bernyanyi, suara mereka menyatu, membentuk harmoni yang sederhana tapi penuh kehangatan.
Sesaat, kelas ini bukan lagi ruang tempat mereka harus menghafal dan memahami rumus-rumus yang sering kali terasa asing. Sesaat, mereka lupa pada angka-angka yang harus diingat, pada barisan kata yang harus diurai. Yang tersisa hanyalah tawa, kebebasan, dan sebaris lirik yang menghidupkan pagi mereka.
Namun, seperti semua hal indah, lagu itu pun berakhir.
Dan saat sunyi kembali mengisi ruang, aku menarik napas dalam-dalam.
“Baiklah, sekarang kita ulangi pelajaran SPOK,” kataku, mencoba membawa mereka kembali ke dunia yang tak seindah lagu tadi.
Terdengar gumaman kecil, protes yang nyaris tak terdengar. Tapi aku tetap melanjutkan.
“Saya makan bakso.”
Sebuah kalimat sederhana. Begitu biasa, namun menyimpan sesuatu yang ingin kupahami bersama mereka.
“Saya” adalah subjeknya, “makan” predikatnya, dan “bakso” objeknya.
Sebagian mengangguk pelan, tanda mereka mulai mengerti. Tapi yang lain masih terdiam, mata mereka kosong, seolah kata-kata itu adalah sesuatu yang tak bisa mereka sentuh.
Tiba-tiba, Rev mengangkat tangan.
“Pak, kalau pada kalimat: ‘Bakso saya makan’, subjeknya mana, Pak?”
Aku terdiam.
Ada sesuatu dalam pertanyaannya yang membuatku berpikir lebih dalam.
Bingung.
Aku mencoba mencari jawaban di sudut pikiranku, tapi tak menemukannya. Sejenak, aku menatap wajah-wajah mereka yang menunggu.
Dan dalam keheningan itu, suara lain tiba-tiba memenuhi benakku.
Bapak.
Suara yang begitu akrab, suara yang datang dari masa lalu, membawa serta kenangan yang nyaris kulupakan.
“Subjek adalah sesuatu yang diutamakan.”
Aku menatap Rev, dan dengan suara yang lebih lembut dari sebelumnya, aku mengulang kata-kata yang dulu kudengar dari Bapak.
“Rev, subjek adalah sesuatu yang diutamakan. Dalam kalimat ‘Bakso saya makan’, apa yang kamu utamakan?”
Rev terdiam. Sejenak, hanya suara napasnya yang terdengar. Lalu perlahan, seulas senyum muncul di wajahnya.
“Bakso, Pak,” katanya dengan mantap.
Aku tersenyum kecil.
“Nah, jadi subjeknya adalah bakso.”
Rev mengangguk cepat. Ada kilau di matanya yang membuatku lega.
“O-o-o … begitu! Siap, Pak, saya sudah paham sekarang!”
Aku menarik napas panjang, merasa sesuatu yang tak terlihat telah jatuh ke tempatnya.
Sementara itu, Rev menunduk, mengelus perutnya dengan gerakan pelan.
Aku tahu, di kepalanya, satu kalimat kini tertata dengan sempurna.
“Bakso saya makan.”
Kulihat Rev memanjang panjangkan lehernya ke arah kisi-kisi jendela kelas. Matanya mencari-cari abang tukang bakso yang suaranya nyaring menembus dinding kelas kami, “Bakso … bakso …!” ***
Pondok Aren, Mei 2020