Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Sebungkus Nasi

January 23, 2025 17:31
IMG-20250123-WA0079

Cerpen Sadri Ondang Jaya

HATIPENA.COM – Perjalanan kami ke Aceh Selatan, Sawang, Trieng Meudoro Baroh, beberapa hari lalu, meninggalkan kenangan mendalam yang tak terduga dan terlupakan.

Kami datang dalam walimatul urusy cucuk Umak, bukan sekadar menghadiri acara, melainkan menjadi bagian dari fragmen hidup yang kecil namun abadi.

Di Sawang, silaturahmi dan kebersamaan keluarga mengalir hangat. Langit Sawang tersenyum cerah, seolah merestui pertemuan itu.

Namun, ketika perjalanan pulang menuju Gosong Telaga, Singkil Utara, tidaklah seindah awalnya. Jalan berliku dan padatnya mobil bongsor di Gunung Singgersing menguji kesabaran kami. Rasa lelah yang memuncak, tubuh yang mulai rapuh menuntut istirahat.

Sesampainya di Kota Subulussalam, kami berhenti di sebuah rumah makan dan memesan nasi dan lauk pauknya. Waktu seakan bergerak lebih lambat, menyisakan rasa lapar yang mendera.

Umak, yang kini menginjak usia delapan puluhan, duduk di sudut meja. Wajahnya pucat, matanya tampak layu, namun senyum yang tersisa menunjukkan keberanian hidup yang tak lekang oleh usia.

Mak Uning Titi, adiknya yang lima tahun lebih muda, duduk di sampingnya menunduk dengan lembut, menggenggam tas kecil di pangkuannya.

Mereka adalah dua perempuan yang telah lama meniti jalan hidup bersama, melewati suka dan duka. Kini, mereka menghadapi kebutuhan sederhana: makan siang.

“Lama sekali makanan ini datang. Perut Umak sudah sakit,” keluh Umak, suaranya nyaris tak terdengar. Mak Uning tak mengucapkan kata-kata panjang.

Dengan tenang, ia merogoh tas kecilnya, dan mengeluarkan sebuah bungkusan nasi yang telah dibungkus rapi.

“Ayo, Teh. Kita makan dulu. Ada bekal yang kubawa,” ucapnya lembut, sambil menyodorkan bungkusan itu kepada Umak. Aku terdiam, menyaksikan pemandangan itu. Sebungkus nasi itu dibagi menjadi dua, sederhana namun sarat makna.

Mereka makan perlahan, tak terburu-buru, menghayati setiap butir nasi yang menyentuh lidah. Di tengah keheningan yang hangat itu, aku menyaksikan cinta yang tidak pernah diungkapkan dengan kata-kata.

Sebungkus nasi itu tak hanya mengenyangkan perut mereka, tetapi juga menghangatkan dua hati yang saling menopang di usia senja.

“Saya selalu bawa bekal kalau bepergian,” ujar Mak Uning tiba-tiba, memecah kesunyian. “Perjalanan itu tak pernah bisa ditebak. Kita harus selalu siap, apalagi di usia tua.”

Kata-katanya mengandung filosofi mendalam, seperti embun pagi yang jatuh perlahan di daun, jernih dan menyejukkan. Dalam sejenak, aku menahan gelombang emosi yang perlahan mengalir, tak mampu menahan rasa haru yang menyentuh jiwa.

Dalam sebungkus nasi itu, tersimpan pelajaran yang tak dapat dijumpai dalam buku mana pun. Pelajaran tentang kesiapan menghadapi hidup, tentang cinta yang tak mengenal syarat, dan tentang kebijaksanaan yang hanya lahir dari perjalanan panjang kehidupan.

Hari itu, aku belajar bahwa kebahagiaan sejati tidak diukur dari seberapa banyak yang kita miliki, tetapi dari ketulusan kita untuk berbagi. Sebungkus nasi yang dibagi bersama.

Di dalam mobil, dalam perjalanan pulang, aku memutar sebuah lagu yang sederhana namun mengandung makna mendalam tentang betapa bahagianya kakak-adik yang dengan hati yang lebih kaya, lebih dalam, dan penuh kasih.[*]