Cerpen Sadri Ondang Jaya
HATIPENA.COM – Hujan rintik-rintik mengguyur kota kecil itu, melukiskan irama melankolis di atas atap seng warung sederhana. Gerimis bukan sekadar air yang jatuh dari langit; ia membawa pesan tentang waktu yang terus berjalan dan tentang manusia yang tetap berjuang di tengah dingin.
Lampu jalan berdiri seperti saksi bisu di antara aspal basah, cahayanya memantulkan bayang-bayang seperti lukisan buram yang tak selesai. Genangan air mencerminkan bulan yang samar tertutup awan, menciptakan suasana syahdu yang merasuk hingga ke tulang.
Di salah satu sudut jalan itu, sebuah warung kecil berdiri, nyaris tersamarkan oleh hujan malam. Dari dalamnya, aroma nasi goreng yang berpadu dengan wangi jahe dari bandrek hangat, menyeruak menembus udara basah. Kehangatan itu menjadi oase kecil di tengah malam yang menggigil.
Di bangku kayu di pojok warung, Subki duduk sambil menunduk, tenggelam dalam buku lusuh yang sudah berkali-kali dibacanya. Buku itu bukan sekadar tumpukan kertas; baginya, ia adalah pintu ke dunia lain. Dunia yang menawarkan pelarian, mimpi, dan jawaban atas kegelisahannya.
Di belakangnya, suara gesekan spatula di wajan terdengar, ritmenya seperti lagu sederhana yang mengiringi malam. Ayahnya, dengan wajah tenang dan gerakan yang penuh pengalaman, memasak pesanan terakhir pelanggan. Setiap gerakannya mengajarkan Subki arti ketekunan dan kesabaran.
“Sub,” suara berat itu memecah keheningan. “Sudah shalat Isya?”
Subki mendongak, bertemu tatapan ayahnya yang penuh wibawa.
“Iya, Yah,” jawabnya singkat. Namun sebenarnya, ia belum menunaikan shalat.
Ayahnya tersenyum kecil, seolah tahu. “Jaga warung sebentar. Ayah mau ke masjid.”
Subki mengangguk. Ia memperhatikan punggung ayahnya yang perlahan menghilang di balik tirai hujan. Punggung itu, meski mulai bungkuk dimakan usia, tetap memancarkan kekuatan seorang lelaki yang tak pernah menyerah pada kehidupan.
Hujan makin deras. Suara gemericik air berpadu dengan desau angin yang menerpa daun-daun. Subki menunduk lagi, menelusuri baris demi baris di bukunya, berharap menemukan kehangatan dalam kata-kata yang tertulis. Namun, ketenangan itu tak bertahan lama.
Langkah berat menghentak genangan di depan warung. Tiga pemuda bertubuh kekar masuk, jaket mereka basah kuyup, wajah mereka keras seperti batu karang yang dihantam ombak.
“Hei, bocah! Kopi tiga, cepat!” salah satu dari mereka berseru, suaranya serak seperti langit yang menggelegar.
Subki tersentak. Bukunya terjatuh ke lantai. Dengan tangan gemetar, ia bergegas menyiapkan kopi, berusaha mengabaikan suara-suara kasar yang makin mengusik.
“Lama amat! Mau jadi orang pintar, hah? Baca buku nggak bakal bikin kau bertahan hidup di dunia ini, bocah!”
Kata-kata itu menusuk, tapi Subki hanya diam. Ia tahu suaranya tak akan terdengar di antara gema tawa mereka yang menguasai ruangan. Namun, dalam diamnya, ada bara yang mulai menyala, meski kecil dan tersembunyi.
Tiba-tiba, pintu warung terbuka. Hujan dan angin malam seolah ikut masuk bersama sosok ayah Subki yang kembali dari masjid. Wajahnya tenang, tapi ada kilatan tajam di matanya.
“Ada masalah di sini?” tanyanya pelan, tapi suaranya menggetarkan.
Salah satu pemuda mendekat, menatapnya dengan tatapan menantang. “Apa kau ini bapak si bocah? Mau ikut campur, pak tua?”
Ayah Subki hanya tersenyum tipis. “Kalau kalian mau makan, silakan duduk dengan sopan. Tapi kalau hanya ingin mencari masalah, pergilah sebelum kalian menyesal.”
Tawa mereka meledak, memenuhi ruangan. “Berani sekali kau, pak tua!”
Dalam sekejap, salah satu pemuda itu melangkah maju, menarik kerah baju ayah Subki. Tapi sebelum ia sempat melanjutkan, ayah Subki bergerak cepat. Dengan satu gerakan sederhana, pemuda itu terjatuh, tubuhnya menghantam lantai dengan bunyi yang keras.
“Dengar,” kata ayah Subki sambil menarik pemuda itu lebih dekat. “Kekuatan bukan soal otot, tapi soal kendali. Jika kau tak bisa mengendalikan dirimu, kau akan hancur oleh kesombonganmu sendiri.”
Pemuda itu terdiam, wajahnya pucat. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia bangkit dan keluar dari warung, diikuti dua temannya yang tampak bingung dan takut.
Ketika suasana kembali tenang, Subki masih berdiri di tempatnya, menatap ayahnya dengan kagum.
“Yah,” panggilnya pelan.
Ayahnya menoleh, senyumnya mengembang, lembut namun tegas. “Hidup ini adalah ujian, Sub. Kekuatan sejati adalah ketika kau tahu kapan harus melawan dan kapan harus memaafkan.”
Subki mengangguk. Malam itu, ia belajar sesuatu yang tak bisa diajarkan oleh buku: keberanian bukan tentang besar tubuh, melainkan tentang besar jiwa.
Di luar, hujan terus turun. Tapi di dalam warung kecil itu, ada kehangatan yang lahir dari pelajaran hidup. Pelajaran yang akan terus Subki kenang sepanjang hayatnya.[*]