Oleh Ipouw
HATIPENA.COM – Akhir-akhir ini berbeda dari sebelumnya, panas membuat kekeringan. Tak ada lagi gugusan awan nimbo stratus di balik bingkai langit. Hanya helaian awan stratus membelakangi bumi, tapi sebentar saja, menghalangi. Burung pipit tidak berani siul, ia tak terlihat kepakan sayapnya terbang, hibur bumi. Hewan-hewan berlindung antara pepohonan hutan di kejauhan sana.
Semua orang berlindung di emperan pertokoan kios milik orang Makassar, Jawa dan Bugis di Oyehe. Sebagiannya lagi menuju pantai Nabire. Marta Songgonau dan Nella Kogoya juga ke sana. Mereka baru saja pulang dari Jayapura. Tentunya bawah es kelapa dan dan es buah untuk menjadi hidangan istimewa, menyegarkan dahaga.
Hari ini panas menggelegak. Sebenarnya setiap hari. Tapi, hari ini lebih dari sebelumnya. Bagaimana tidak? Wilayah adat Meepago sekaligus pusat menghubung transportasi darat dan laut di wilayah Meepago tidak seperti biasanya. Di Nabire, tak bisa di duga bahwa musim hujan dan kemarau. Menurut buku (peta dunia) atlas, kota Nabire terletak di bawah garis khatulistiwa, sehingga tidak seperti di Eropa. Di Papua, pagi mentari terbit dan sore hujan lebat guyur menyiram bumi.
Tengah panasnya hari ini, gadis jelita duduk di atas tembok panjang pantai Nabire, di bawah pohon ketapan. Dengan seikat kacang, sebelahnya terdapat sebuah gelas es kelapa. Ia terdiam diri. Angin lsut lembut mengipas wajah, teduh, gadis itu menjadi salah satu tamu, penikmat es buah.
Gadis jelita itu adalah Veronika Adii, asal Deiyai biasanya disapa dengan sebutan Vero. Posturnya tidak kurus, agak tinggi manis cantik rupanya seindah bunga Wagade yang menghiasi gunung Deiyai. Banyak pria menggoda padanya, itu terbukti dari beberapa laki-laki yang mengagumi tempak kecantikan Vero. Termasuk teman-temanya di SMA Tabernakle Nabire.
Veronika terbuai dalam menikmati keindahan riuh gemuruh ombak yang memainkan botol-botol bekas yang berserakan sepanjang bibir pantai Nabire kadang tidak dirawat, penunjung dan pedang buang sampah seenak jidat.
Perahu nelayan terapung lautan terhias indah memanjakan setiap mata yang memandangnya. Sesekali ombak memeluk tembok tua pantai Nabire, angin laut sepoi melambai tubuh Veronika.
Kesejukan menyelimuti tubuhnya segar tanpa teman cerita, Vero hanya bisa menarik nafas dan perlahan menghembuskannya. Ia berusaha melepaskan beban yang ada dalam benaknya. Ia berusaha ikhlaskan. Berusaha melepaskan yang perlu dilepaskan, namum bayangan pujaan hatinya masih bertuan dalam istana hatinya. Dia masih jadi pangeran diingatan yang suatu saat akan datang menjemputnya menjadi pendamping hidup. Susah lupakan tentang lelaki itu.
Secangkir es buahnya kini tinaggal ampas. Seikat kacang yang masih mneikmati, makan satu buah kulitnya, tinggal akar kering.
Veronika ambil tas coklat miliknya dari samping kanannya, ia di sodorkan buku, dalam buku ini, dalam buku ini Vero segala pertanyaan. Ia tulis tentang kesedihan maupun kebahagiaan, ia tulis juga tentang Alex, pacarnya. Vero baca catatan-catatan dari bukunya.
Vero menghela nafas, ia baca terus catatannya. Perih, perlahan tentang Alex merasuk sekujur nadi kemudian berkeping naik ke bola mata lalu cucurkan bituran air mata. Vero baca tepat pada kalimat yang menjadi kekuatannya untuk jalani kekuatannya untuk jalani hubungan dengan kekasihnya, Alex.
“Bagiku, mencintai adalah anugerah terindah. Senyum manismu adalah semangatku. Aku jaga hubungan ini sampai tuhan ambil nafasku.” Kata-kata Alex saat berjumpa, di awal bulan Juni.
Baca kalimat dari catatan itu, tanpa sadar, air mata berjatuhan basahi polos pipinya, bagi Veronika dulunya kalimat itu menjadi kekuatan untuk menjaga hubungan kepada Alex namun sejak seminggu lalu kalimat itu menjadi luka.
Vero fokus baca, ia memaknai kata yang diucapkan Alex kala bersama. Bahwa Alex yang ia cintai hanya mampu menghadiahkan Veronika dengan air mata.
Di singkat cerita bagi Alex; selepas mengenal pertama di Bomomani, Mapia, ia datang ke Nabire. Seterusnya tidak tahu, tidak pernah terlihat di hadapan Vero, hilang dari kota Nabire.
Vero bayangi semuanya itu. Minggu lalu, Alex minta Vero bertemu di tempat yang ia duduk sekarang. Suasana masih kalanya membuat ingat kembali ingat kembali perjumpaan itu. Tapi sekarang hanya Vero mematung merajut kerinduan. Sepertinya perpisahan kembali mengulang bagai panggung sandiwara memainkan opera. Berikut cerita singkat perpisahan Vero dan Alex:
“Kenapa kau datang memintaku datang ke sini?” Tanya Veronika dengan wajah penuh tanya.
Sebagaian dari perhatian dan tingkah Alex sudah tidak setulusnya dengan sebelumnya.
“Iya, ada hal penting yang perlu bicara di sini. Bagiku, ini memang hal sangat berat untuk katakan padamu, Vero. Maafkan aku, Juwitaku,” lanjut Alex yang sontak putus asa.
“Kau bicara apa ? katakan saja, jangan buat aku penasaran, Alex, aku takut. Hanya saja takut kehilanganmu,” pinta Vero.
Alex diam. Seperti tulang ikan tersangkut dalam tenggorakan. Tunduk kepala, sekali memandang sambil meremas jari telunjuk.
“Vero, maaf. Sekarang aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini, aku sudah capek hadapi sifat orangtuamu. Mereka selalu menghina orangtuaku. Ayahku telah tiada di dunia ini. Ia pergi menghadap tuhan. Mamaku juga petani. Ia tinggal di kampungku. Orangtuamu selalu bicara hal itu setiap kali aku main di rumahmu. Aku tahu soal itu,” Alex sedih dan kesal.
Veronika terdiam, matanya mulai berkaca, ia tetap dengar kata-katanya keluar dari kekasihnya.
“Bukan hanya itu, kita takkan bersama lantaran keluarga kita sedarah (famili) walau hanya menurut adat kepercayaan kita,” Alex serius.
“Kenapa jadi begini, Alex. Bukankah kita sudah saling berjanji untuk sehidup semati? Agar benih cinta tumbuh di taman nurani bertumbuh mekar. Alex, hanya kau yang bisa menyiraminya, biar benih itu tetap bertubuh subur.”
“Itu benar, kau tahu rasa aku sayang padamu seperti apa. Bagiku kau adalah energi yang memberikan kekuatan atas benih kita. Bahkan kau sudah menjadi alasan ku bertekad menjadi oang sukses. Tapi Vero, aku tidak biasa menerima hinaan kepada orangtuaku. Kau juga tahu Vero, bagaimana rasanya orangtuamu dihina depan kau, tentu saja kau tidak akan terima Vero.
Mengdengar semua perkatan itu, Vero terbuai dalam sedih. Air matanya sudah berlinang pipinya yang tak bersalah, lalu jatuh mengenai tanah.
“Vero tidak akan pernah berpisah bersama lelaki idamannya. Vero apalah daya jika orangtua tidak menyetujui. Vero sangat memahami perasaan Alex, hanya Alex satu-satunya.
Vero kita tidak pernah akan bersama. Terhadap orang tuamu itu, kita bisa bicara baik, tapi adat, tidak hukum yang bisa mengatasi. Agar ajaran bertumbuh di taman kita, kita akhiri saja di sini.”
Alex kesal dan bingun. Air keringat sudah basahi baju hitamya.
“Iya, aku tahu, Alex. Tapi aku tidak bisa mengakhiri semua ini. Aku sudah terlanjur cinta kau, sudah tiga tahun kita jalani hubungan ini. Kita harus akhir secepat ini itukah,” kata Vero hendak menyeka air mata di pipinya yang sebagian derai basahi bajunya.
“Tidak bisa Vero, sebelum jauh, kita harus akhiri. Aku juga berat untuk akhiri hubungan ini, tapi kita tak punya kuasa. Maafkan aku, setelah ini, kita tidak ada hubungan apa- apa anggap saja kerabat” Alex balik pandangan ke laut. Alex menyeka bola-bola air mata di kelopak matanya.
Pertemuan akhir ini menjadi pupuk pedih taman mereka. Alex pergi meninggalkan Veronika.
Setiap kali Veronika duduk di pantai Nabire, kisah sepuluh tahun yang lalu hadir seutuhnya. Seperti sore ini, pada senja yang sama Veronik yang kini terlihat kurus tinggi itu bersama Natalia, anak pertamanya. Bayang ada tentang Alex datang lagi.
“Anakku, hari sudah sore. Kita pulang ke rumah,” Vero menyeka air matanya tanpa diketahui anak pertamanya. (*)
Jayapura 19/04/2015