Cerpen Sadri Ondang Jaya
HATIPENA.COM – Siang itu, kota ini berubah menjadi tungku raksasa, tempat matahari menggantung garang di langit, menumpahkan bara panas yang melumerkan aspal, meresap ke atap rumah, dan memeluk rapat gedung-gedung sekolah.
Udara terasa mencekam, mengembuskan aroma tanah kering yang terbakar dan aspal yang menggelegak. Angin, seakan gentar, menghilang entah ke mana, enggan mendekati amarah mentari yang menghanguskan segalanya.
Di sebuah sekolah menengah, seorang guru melangkah keluar dari kelasnya, peluh yang mengalir dari pelipisnya menetes, merayap di sepanjang rahang, lalu jatuh lembut di leher. Langkahnya cepat, bukan karena waktu yang mencekik, tetapi karena dahaga yang menggerogoti tenggorokannya.
Kantin sekolah menyambutnya dengan riuhnya suara gelas beradu, aroma minyak goreng yang mulai tengik. Ia memesan teh dingin kemasan dan sebungkus roti kesukaannya.
Selembar uang sepuluh ribu berpindah tangan, kembali dalam bentuk recehan kecil. Tanpa banyak berpikir, kembalian itu langsung ia masukkan ke dalam kantong celana.
Di ruang guru, teh dingin itu ditenggaknya dengan rakus, roti dilahapnya secepat kilat, seolah untuk menghapuskan lapar yang menyelubungi hidupnya. Namun, di balik sirnanya dahaga, ada sesuatu yang merayap perlahan ke dalam dadanya: kegelisahan yang tipis, hampir tak tampak, namun mampu menancapkan durinya di batin.
Jemarinya merogoh kantong celana. Ujung jarinya menyentuh sesuatu yang terasa asing. Sehelai uang seribu rupiah.
Hatinya berdesir.
“Ini bukan hakku. Harus kukembalikan.”
Ia bangkit, hendak melangkah ke kantin, namun tepat saat tangannya menyentuh gagang pintu, lonceng sekolah berdentang, memanggilnya kembali.
Ia terhenti, dan hatinya membatin, “Besok saja. Lagi pula, hanya seribu rupiah. Tak akan membuat kantin bangkrut.”
Kembali ia duduk, namun tubuhnya terasa lebih berat, seolah ada rantai tak tampak yang mengikat kakinya, menahannya tetap diam.
Di ruang kelas, ia berdiri di depan murid-muridnya, daftar absen terbuka di tangan. Namun, lidahnya mendadak kelu. Tenggorokannya terasa tercekat, keringat dingin merembes di punggung.
Di saat itulah, ia menyadari. Ini bukan soal uang. Ini soal harga diri. Ini soal integritas.
Tanpa berpikir panjang, ia meletakkan daftar absen itu, berbalik, dan melangkah cepat keluar.
“Sebentar, Nak. Ada urusan yang harus Bapak selesaikan.”
Langkahnya tergesa menuju kantin.
“Tadi, Bapak menyerahkan uang kembalian lebih seribu pada saya. Harga belanjaan lima ribu, tapi Bapak baIikan uang enam ribu. Ini uang lebihnya Pak.”
Penjaga kantin, seorang lelaki tua dengan wajah penuh gurat terkesiap, tak menduga guru itu mengembalikan uang kelebihan, hanya seribu. Dengan berat penjaga kantin menerima uang itu dengan senyum tipis, matanya tak berkedip.
“Terima kasih, Pak. Tapi… mengapa harus dikembalikan? Seribu rupiah itu kecil.”
Sang guru menarik napas panjang. “Nilainya mungkin kecil, Pak. Tetapi bukan milik saya. Kejujuran tak bisa diukur dengan angka.”
Senyum lelaki tua itu melebar, ada kelegaan yang bercampur kegetiran di matanya.
“Sebenarnya, saya sengaja memberi lebih seribu. Saya ingin tahu, apakah kejujuran masih punya tahta di zaman ini.”
Sang guru tertegun. Ada desir halus yang mengalir dalam darahnya, semacam kesadaran yang datang terlambat.
Ia menatap lebih dalam ke wajah lelaki tua itu. Pada kerut-kerutnya. Pada tangan-tangannya yang kasar. Pada sorot matanya yang letih, namun tetap menyala.
Pada sosok yang mungkin akhir-akhir ini menyaksikan runtuhnya nilai-nilai kejujuran, dunia yang semakin tunduk pada angka, kepentingan, dan ketamakan.
Sang guru menadahkan tangan, berbisik pelan, “Astaghfirullah…”
“Jika aku tak mengembalikan seribu rupiah ini, maka hilanglah kepercayaan. Hilanglah benteng terakhir kejujuran. Dan jika guru kehilangan kejujuran, maka bangsa ini akan tersungkur. Akan terkubur.”
Kejujuran itu kaca. Sekali retak, ia takkan pernah kembali utuh.
Kejujuran itu ketenangan, dan ketidakjujuran adalah kegelisahan.
Jika aku menggadaikan kejujuranku demi selembar seribu, betapa murahnya imanku.
Angin yang sejak tadi bersembunyi kini berembus pelan, membelai tubuhnya seperti tangan tak tampak yang menepuk lembut bahunya, seakan membisikkan sesuatu—bahwa di dunia yang semakin gelap ini, selembar kejujuran masih bisa menjadi cahaya.
Ia kembali ke kelas, melanjutkan pelajaran. Namun sebelum itu, ia berkata pada murid-muridnya:
“Orang jujur lebih tinggi martabatnya daripada orang berilmu. Sebab, ilmu tanpa kejujuran hanya akan menyesatkan.”[*]