Karya : Dr. Mochamad Taufik. M.Pd
Kisah Berdasar Pengalaman BKM 1 UKKI IKIP N Surabaya (UNESA) di Suren, Mlarak, Ponorogo — Tahun 1989
HATIPENA.COM – Udara pagi di desa Suren, Mlarak, Ponorogo terasa kering dan menusuk kulit. Di kejauhan, terlihat perbukitan yang seolah menahan hujan agar tak jatuh ke bumi. Desa itu tenang, tapi di balik ketenangan tersimpan perjuangan hidup yang luar biasa.
Aku masih ingat jelas — awal tahun 1989, saat kami, para mahasiswa IKIP Surabaya, berangkat untuk melaksanakan Bakti Karya Mahasiswa (BKM 1) UKKI IKIP N Surabaya. Tujuan kami sederhana tapi penuh makna: membangun mushola di dekat rumah seorang warga bernama Mas Yatimun, sekaligus membantu masyarakat Suren menemukan solusi atas kekurangan air bersih.
Namun, apa yang kami temui di sana jauh dari kata mudah.
Di Suren, air jernih adalah kemewahan. Untuk mendapatkan satu gelas air bersih, warga harus berjalan kaki hampir satu jam ke sumber mata air di lembah kecil, menyusuri jalan setapak yang licin saat hujan dan berdebu saat kemarau.
“Air ini bukan sekadar untuk diminum, Nak,” kata seorang ibu paruh baya sambil menenteng jeriken. “Ini untuk hidup.”
Aku menelan ludah. Dalam kehidupan yang serba kekurangan itu, mereka tetap tersenyum — tulus dan tabah.
Di tengah situasi itu, kami mendengar cerita menarik:
Beberapa tahun sebelumnya, mahasiswa IKIP lain pernah KKN di Suren. Mereka membuat alat penyaring air sederhana dari pasir, ijuk, dan batu kerikil. Tapi karena perawatan minim, hasilnya tidak lagi optimal. Air yang keluar kini keruh, dan masyarakat kembali harus berjalan jauh untuk menimba air bersih.
Kami pun memutuskan untuk memperbaiki alat penyaring itu, sekaligus membangun mushola tempat warga bisa beribadah dan berkumpul.
Hari-hari kami di Suren terasa panjang. Matahari membakar, peluh mengalir deras, namun semangat masyarakat tak pernah padam. Warga datang bergotong royong, membawa batu bata, semen, dan air dari bukit — semua dilakukan dengan senyum dan doa.
“Kalau mushola ini jadi,” kata Mas Yatimun dengan mata berkaca, “kami tak hanya dapat tempat sholat, tapi juga harapan baru.”
Setiap malam, setelah bekerja, kami duduk di beranda sambil mendengarkan cerita warga. Tentang anak-anak yang harus membantu orangtua menimba air sebelum berangkat sekolah. Tentang petani jagung yang tak bisa menyiram tanamannya saat kemarau panjang. Tentang harapan sederhana: air dan doa.
Akhirnya, mushola itu berdiri dengan indah — meski kecil dan sederhana. Dari tanah, batu, dan keringat bersama. Dan yang lebih penting, alat penyaring air buatan kami mulai mengalirkan air yang lebih jernih, cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
Hari peresmian mushola menjadi momen yang tak terlupakan. Suara adzan pertama bergema, menggema di antara bukit Suren yang hening. Warga meneteskan air mata, bukan karena kesedihan, tapi karena rasa syukur yang menembus langit.
Malam itu, langit Suren bertabur bintang. Kami duduk di halaman mushola, menatap air yang menetes perlahan dari pipa kecil. Bukan hanya air yang mengalir — tetapi juga harapan, semangat, dan kenangan perjuangan bersama.
Kini, bertahun-tahun berlalu, Suren mungkin sudah lebih maju. Jalanan tak lagi seberat dulu, dan air bersih lebih mudah didapat. Tapi bagi kami, kenangan itu tak pernah hilang. Kami belajar satu hal penting:
Peradaban besar kadang lahir dari satu tetes air — dan kerja keras orang-orang sederhana yang berjuang tanpa pamrih.
Dan setiap kali aku meneguk segelas air jernih di kota, aku selalu teringat Suren — tanah yang mengajarkanku arti kesabaran, kebersamaan, dan keikhlasan.
“Hidup di Suren memang perlu kesabaran luar biasa. Tapi di sanalah aku belajar, bahwa kesabaran yang disiram doa akan menumbuhkan kekuatan yang tak pernah kering.”