HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Sumpah yang Dikhianati, Amanah yang Terkoyak

January 9, 2025 16:27
IMG_20250109_162628

Oleh: Sadri Ondang Jaya

Di sebuah daerah yang kaya sumber daya alam, seorang pemuda kerap disebut-sebut dalam perbincangan warga: Ustaz Mujur.

Ia bukan hanya lulusan pesantren ternama di ibu kota provinsi, tetapi juga santri cerdas yang tekun dan berkarisma. Sejak remaja, namanya harum sebagai katib, guru mengaji, serta penggerak berbagai kegiatan sosial keagamaan.

Kejujurannya adalah mahkota yang ia kenakan dengan bangga. Saat di pesantren, ketika teman-temannya menyontek, ia melaporkannya. Di lingkungan bermain, saat seseorang berdusta, ia menegurnya tanpa ragu.

“Mujur itu orang suci—jujur nan mujur,” demikian julukan yang melekat padanya.

Bagi Mujur, hidup adalah soal prinsip. Ia menggenggam erat sebuah hadis yang diajarkan gurunya:

“Tidaklah seorang pemimpin yang mengkhianati rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan baginya surga.”

Prinsip itulah yang mendorongnya menapaki dunia politik. Saat pemilihan legislatif, ia maju sebagai calon dan meraih suara terbanyak. Popularitasnya sebagai sosok jujur dan berintegritas menjadi modal utama.

Namun, kekuasaan sering kali seperti air pasang—tenang di permukaan, tapi perlahan menyeret ke dalam.

Godaan di Balik Meja Kekuasaan

Setahun menjabat, Ustaz Mujur tetap berpegang teguh pada idealismenya. Ia tak mau tunduk pada korupsi, tak sudi membiarkan rakyatnya teraniaya.

Namun, hari itu, di ruang kerjanya yang megah, alisnya mengernyit menatap laporan keuangan yang terasa janggal. Angka-angka dalam dokumen itu seperti berteriak minta keadilan.

Ia memanggil sekretarisnya, Rina.

“Ini ada yang salah,” katanya tegas. “Dana pembangunan sekolah hanya setengah dari yang dianggarkan. Sisanya ke mana?”

Rina tampak ragu. “Pak, itu sudah disetujui oleh anggota dewan dan bupati. Ada pengalihan untuk… keperluan lain.”

“Keperluan lain?” Mata Mujur menyipit curiga. “Apakah rakyat tahu soal ini?” Rina terdiam.

Tak lama, seorang kolega sesama anggota dewan, Rahman, masuk dengan senyum santai.

“Ustaz, tak perlu terlalu serius soal ini. Ini hanya permainan kecil,” ujarnya ringan.

“Permainan?” Nada suara Mujur meninggi. “Ini uang rakyat!”

Rahman tertawa pelan, seolah sedang menasihati anak kecil. “Dunia ini bukan tempat bagi idealisme. Kalau kau tak ikut aturan main, kau akan disingkirkan.”

Dada Mujur sesak. Ia ingin melawan, ingin mengungkap kebenaran. Tetapi ancaman terselubung dalam kata-kata Rahman lebih mengerikan daripada yang ia bayangkan.

Lidah yang Bungkam, Hati yang Gusar

Esoknya, dalam sidang dewan, ia berdiri. Ia siap mengungkap kebobrokan ini.

Namun, seorang anggota senior mendekatinya dan berbisik, “Ustaz, jika kau bicara, bukan hanya kariermu yang hancur. Keluargamu juga akan terkena imbasnya.”

Mujur tercekat. Kata-kata itu seperti rantai yang membelenggu lidahnya.

Di benaknya, suara ayahnya, seorang guru sederhana, terngiang:

“Jangan pernah mengkhianati rakyatmu, Nak. Pemimpin yang curang tak akan masuk surga.”

Tapi ketakutan lebih kuat daripada idealisme yang dulu ia banggakan. Hari itu, ia memilih diam.

Dan keheningan itu, perlahan, membusuk dalam hatinya.

Keheningan yang Membusuk

Sejak hari itu, Ustaz Mujur mulai terbiasa menutup mata terhadap kebusukan yang merajalela. Awalnya, rasa bersalah menghantui. Namun, seiring waktu, ia mulai membenarkan tindakannya sendiri.

“Semua orang juga begitu. Aku hanya mengikuti arus.”

Setahun menjadi anggota DPRK telah memberinya rumah megah, kendaraan mewah, dan pengaruh yang luas. Tapi di balik itu semua, ia tahu ada sesuatu yang hilang: hati nuraninya.

Suatu sore, seorang pemuda, teman lamanya dari pesantren, datang menemuinya.

“Ustaz Mujur, dulu saya sangat mengagumi Anda. Tapi sekarang, Anda tak lebih dari pemimpin curang lainnya,” ucapnya dingin.

Mujur terkejut. “Apa maksudmu?”

Pemuda itu menatap tajam. “Ustaz diam saat kebohongan merajalela. Ustaz membiarkan rakyat ditindas. Apa Ustaz pikir kami tidak tahu?”

“Korupsi dan kebohongan ini terjadi bukan hanya karena banyaknya penjahat, tetapi karena diamnya orang-orang baik yang tahu kebenaran.”

Mujur tercekat. Kata-kata itu lebih menusuk daripada pisau paling tajam.

Pengadilan yang Tak Terhindarkan

Malam itu, Mujur bermimpi buruk. Ia berdiri di sebuah pengadilan besar. Hakim bersuara lantang:

“Mujur, kau yang dulu pemimpin jujur, kini menipu rakyatmu. Apa kau pikir Tuhan tak melihat?”

Di sekelilingnya, rakyat menatapnya dengan kebencian dan kekecewaan.

“Ustaz Mujur, jika ini terus berlanjut, kau tak akan mencium bau surga. Tempatmu di neraka!”

Ia terbangun dengan keringat dingin. Dadanya naik turun, napasnya tersengal.

“Subhanallah, rupanya saya bermimpi. Melalui mimpi ini, Allah Swt telah mengingatkan saya,” ucap Ustaz Mujur sambil mengusap matanya.

Penebusan yang Terlambat

Pagi itu, dengan tangan gemetar, ia menatap surat pengunduran diri yang telah lama ia tulis, tetapi tak pernah ia serahkan.

Ia mengambil pena. Dengan satu tarikan napas panjang, ia menandatanganinya.

“Beri tahu anggota dewan dan publik, mulai hari ini aku berhenti dari DPRK,” katanya kepada Rina.

“Ustaz yakin?” Rina menatapnya tak percaya.

Mujur mengangguk. Senyumnya pahit.

“Lebih baik kehilangan jabatan daripada kehilangan akhirat dan surga yang dijanjikan Allah.”

Dengan langkah ringan, ia meninggalkan gedung dewan.

Mungkin ia terlambat untuk kembali seperti dulu. Tapi setidaknya, ia telah memilih untuk tidak lagi menjadi bagian dari kebohongan dan kecurangan.

Karena kekuasaan bisa dibeli.
Tapi kejujuran? Itu adalah sesuatu yang tak ternilai harganya.[*]