HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Sumpah yang Dikhianati, Amanah yang Terkoyak

January 21, 2025 10:23
IMG-20250121-WA0032

Cerpen Sadri Ondang Jaya

DI SEBUAH wilayah subur yang kaya akan hasil bumi, tinggal seorang pemuda bernama Mujur. Nama yang begitu pas dengan harapan banyak orang akan masa depan yang cerah, penuh kejujuran, dan idealisme yang tak tergoyahkan. Mujur bukan hanya lulusan perguruan tinggi ternama, tetapi juga dididik di pesantren yang mengajarkan prinsip hidup yang penuh integritas.

Sejak kecil, ia sudah menunjukkan keberanian moral. Ketika teman-temannya berbuat curang, ia dengan tegas melaporkan. Baginya, kejujuran adalah mahkota yang harus dijaga, sebuah warisan dari nasihat gurunya yang selalu mengingatkan:
“Manusia yang mengkhianati amanah, mencuri, dan curang tidak akan masuk surga.”

Prinsip ini membawanya terjun ke dunia politik. Mujur ingin memperbaiki nasib rakyatnya, membawa keadilan yang sering kali terkubur oleh kerakusan. Dalam pemilihan legislatif, ia menang dengan suara terbanyak. Masyarakat percaya padanya karena reputasinya sebagai pemimpin yang bersih, yang tak tergoda oleh kedudukan dan harta.

Namun, politik ternyata bukanlah ladang yang seindah yang dibayangkan. Di balik gemerlap kekuasaan, tersembunyi jebakan yang tak terlihat. Mujur mulai merasakan getaran yang aneh ketika dua tahun setelah menjabat, ia menemukan kejanggalan dalam laporan keuangan pembangunan sekolah. Dana yang dialokasikan tak sesuai dengan realisasi.

“Ini dana rakyat,” gumamnya, menatap angka-angka yang tak masuk akal di hadapannya.

Dengan hati-hati, ia memanggil Rahman, rekannya sesama anggota dewan. “Kenapa anggaran ini hanya separuh yang digunakan?” tanyanya tegas.

Rahman hanya tertawa kecil, mengibas-ngibaskan tangan seperti mengusir nyamuk. “Santai saja, Mujur. Anggap saja ini aturan tak tertulis dalam politik.”

“Aturan tak tertulis?” Mata Mujur menyala. “Apa rakyat tahu ini?”

“Rakyat tidak perlu tahu,” jawab Rahman dengan suara yang berubah rendah, hampir seperti bisikan. “Mujur, kau orang cerdas. Jangan rusak kariermu hanya karena idealisme. Kalau kau menolak, bukan hanya kau yang hancur, keluargamu juga akan terkena imbasnya.”

Mujur tercekat. Ancaman itu seperti belati yang menusuk dadanya.

Hari itu, ia memilih diam. Bukan karena ia setuju, tetapi karena ketakutan yang mengunci lidahnya.

Namun, diam adalah dosa yang tak tampak, yang pelan-pelan membusuk. Hari demi hari, ia semakin terperosok dalam sistem yang ia benci. Perlahan, ia mulai membenarkan tindakannya sendiri.

“Semua orang melakukannya,” bisiknya pada diri sendiri. “Aku hanya mengikuti arus.”

Harta, fasilitas mewah, dan segala kemewahan kini menjadi bagian dari hidupnya. Tetapi, ada yang hilang: kejujuran dan hati nuraninya yang dulu begitu mulia.

Suatu sore, seorang teman lamanya dari pesantren datang menemuinya. Tanpa basa-basi, pemuda itu menatapnya tajam.

“Bang Mujur, aku dulu sangat mengidolakanmu. Tapi sekarang, kau tak lebih dari politisi lain yang korup.”

Mujur terperanjat. “Apa maksudmu?”

“Kau tahu apa yang kulihat?” tanya pemuda itu, matanya penuh kecewa. “Seorang yang diam saat kebohongan merajalela. Kau membiarkan rakyatmu terinjak-injak.”

Kata-kata itu datang seperti petir yang menyambar, menghantamnya tanpa ampun.

Malamnya, Mujur bermimpi buruk. Ia berdiri di hadapan pengadilan besar. Hakim berseru lantang, suaranya menggetarkan:
“Mujur, kau mengkhianati rakyatmu! Surga haram bagimu!”

Ia terbangun dengan keringat dingin. Dalam keheningan malam, ia sadar: dirinya telah jauh menyimpang. Kekuasaan bisa dibeli, tapi kejujuran adalah harta yang tak ternilai. Ia tahu, penebusannya mungkin tak cukup untuk menghapus dosa-dosa yang telah ia lakukan. Namun setidaknya, ia telah memilih untuk kembali pada kebenaran.

Kehidupan terus berjalan, tetapi hatinya kini tidak sama lagi. Mujur bertekad, meskipun jalan yang harus ditempuh tidak mudah, ia akan berusaha kembali pada prinsipnya yang dulu, berusaha membersihkan dirinya dari kotoran yang telah melekat.

Amanah yang pernah diberikan kepadanya kini menjadi beban yang berat, namun ia berjanji, akan mencoba menebusnya. Seperti kata pepatah, “Tidak ada yang terlambat untuk kembali ke jalan yang benar.”[*]