Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

Surat Yasin

May 6, 2025 19:29
IMG-20250506-WA0007

Cerpen Ilhamdi Sulaiman

HATIPENA.COM – Aku baru sadar, rak buku di pojok ruang tamu itu kini lebih banyak berisi surat Yasin daripada novel atau buku buku ilmiah lainnya. Ukurannya hampir seragam. Ada yang bergambar masjid keemasan, bunga melati, kadang wajah almarhum terpampang di surat itu.

Sebagian masih terbungkus plastik, sebagian lagi sudah menguning di ujung-ujungnya karena terlalu sering kubuka bukan untuk dibaca, tapi untuk mengingat siapa yang meninggal.

Aku menyentuh sampul-sampulnya satu per satu. Ada nama-nama yang membuat dadaku hangat, tapi juga getir. Mereka telah pergi. Tinggal doa dan harapan yang kita lantunkan dalam sunyi.

Namun aku mulai bertanya dalam hati: apakah selama ini aku benar-benar berdoa, atau hanya menghadiri ritual demi menyelesaikan formalitas? surat Yasin itu kini seperti daftar luka yang tak sempat sembuh. Tapi juga pengingat bahwa hidup ini begitu ringkih, waktu sering berlalu begitu cepat, meninggalkan kita.

Satu surat Yasin mewakili sebuah malam. Malam doa, malam tangis, malam takziah. Untuk ayah, ibu, paman, saudara jauh, sepupu, kadang aku tak sanggup lagi menghitungnya. Yang kuingat hanyalah, suara serak orang mengaji, dan pertanyaan orang-orang yang datang, “Sudah berapa hari?”

Mereka datang dengan pakaian gelap, sebagian membawa anak-anak yang tak paham duka. Ada yang sibuk membalas pesan melalui gadgetnya. Ada juga yang menanyakan nasi kotaknya pesan di mana, apa mereknya ada yang buru-buru pamit setelah makan. Seolah kehilangan sudah jadi acara rutin, datang, duduk, makan, pulang. Surat Yasin diberikan seperti cinderamata—kenang-kenangan dari kematian.

Aku tak tahu sejak kapan mulai mengumpulkannya. Mungkin sejak ibu wafat. Waktu itu, aku yang mencetak sendiri desainnya. Sederhana, berlatar langit senja dengan nama ibu ditulis huruf tegak miring. Aku menuliskan satu baris kecil di halaman akhir: “Doamu adalah cahaya jalannya.” Tapi entah, apakah semua yang menerima benar-benar mendoakan, atau hanya menyimpannya seperti aku sebagai tumpukan tak bernyawa di rak kayu tua.

Dengan sebuah kemoceng dan sehelai lap kering—potongan dari baju partai yang dulu kubanggakan, tapi kini hanya menyisakan kecewa—aku mulai membersihkan satu per satu buku Yasin kecil yang tersimpan rapi di rak. Debunya halus, tapi menyimpan waktu yang panjang.

Tiba pada sebuah buku Yasin milik ibuku, tanganku berhenti sejenak. Ada perasaan khidmat yang tumbuh. Dengan hati-hati, aku mulai melapnya, seolah menyentuh sesuatu yang lebih dari sekadar benda. Seolah membersihkan jejak kasih seorang ibu yang tak pernah lelah meluruskan jalan hidup anak-anaknya.

Di halaman yang memuat foto Ibu, aku terpaku. Tatapan beliau seolah menembus waktu, menatapku dalam diam. Ada kesedihan di sana—kesedihan seorang ibu yang melihat anak-anaknya belum juga menjadi manusia yang senantiasa mengingat Tuhan… dan dirinya.

Sambil membersihkan lembaran itu, aku seperti berdialog dengannya. Dengan Ibu yang membesarkanku dengan seluruh cinta dan keteguhan hati. Tak ada suara yang keluar dari mulutku, tapi percakapan itu terasa nyata. Sebuah percakapan dari lubuk hati, antara seorang anak yang mulai mengerti dan seorang ibu yang tak pernah berhenti mencintai.

“Masih kamu simpan semua itu, Nak?”

“Iya, Bu. Entah kenapa… rasanya seperti bukti bahwa aku pernah kehilangan. Pernah mencintai.”

“Tapi cinta tak hanya disimpan di rak, kan? Kadang kamu terlalu banyak mengenang, sampai lupa menjalani. Aku tidak tinggal di surat Yasin itu. Aku tinggal di tiap doa tulusmu. Rindulah dalam diam yang ikhlas. Dan doakan yang datang sesudahku. Kelak mereka juga akan menyimpan surat Yasin dengan namamu.”

Tak sanggup aku berlama lama menatap foto ibu di surat assin itu. aku cepat cepat menutupnya, dan menyusunnya kembali.

Setelah itu semua selesai aku melangkah ke kamar mandi. keran yang mengalir airnya aku basahkan tangan, mulut, hidung, muka telinga dan sampai ke kaki. Duduk terpakur ikhlas aku berdoa untuk semua orang yang telah tiada. (*)

Jakarta, 6 Mei 2025