Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Surga di Kaki Ibu

January 19, 2025 15:41
IMG-20250119-WA0074

Cerpen Arsiya Oganara

DUA tahun sudah Umak tiada bersamaku. Allah lebih mencintai Umak sehingga Ia memanggilnya. Umak adalah panggilan bagi enam anak-anaknya. Umak merupakan sosok wanita sederhana, berkharisma dan cinta, mandiri, bersahaja, tangguh, bertanggung jawab dan selalu semangat untuk berjuang bersama Abah suami tercinta.

“Masa kecil memang membentuk karakter seseorang saat dewasa,” pikirku.

Chosiyah, Iyah nama panggilannya, menghabiskan masa kecilnya di Panjang, Kota Bandar Lampung. Aku mulai mengenang masa kecil Umak. Ia dilahirkan pada 1950 dari pasangan bahagia Muhammadiyah dan Wairiyah.

Umak merupakan anak ke dua dari sepuluh bersaudara. “Dahulu setiap keluarga memiliki lebih dari enam anak, banyak juga ya,” kataku. Namun saat ini rata-rata hanya memiliki dua atau tiga anak, gumamku.

“Betapa indah masa kecil Umak,” ujarku. Umak dan kakak adiknya tinggal bersama Umeh atau nenek Nahuyah namanya. Mereka terbiasa menangkap ikan di pantai yang tidak jauh dari rumah Umeh. Ada kalanya ikan mereka bakar di pantai kadang dibawa pulang. Umak juga memasak untuk Umeh dan kakak adiknya. Kadang kala minta kelapa yang jatuh dari pohon milik tetangga yang juga masih saudara.

Waktu itu, Umak hanya mengenyam pendidikan samapi Sekolah Rakyat (SR) atau Sekolah Dasar (SD) saat ini. Ia lakukan pagi hari dan belajar membaca Al-Qur’an di sore harinya. Seiring berjalannya waktu, Umak mulai tumbuh remaja dan masih tinggal di Panjang.

Ketika itu juga, tak jauh dari rumah Umeh ada Saylendra Taylor menerima jahitan dan service pakaian pria dan wanita. Sampai saat ini masih ada walaupun pelanggan hanya bisa dihitung dengan jari karena bisnis ini diteruskan oleh anak laki-lakinya dan banyak juga yang menjalankan bisnis serupa.

Ada sosok pria dewasa namanya “Abdul Ra’uf Naga Putra” atau “A.R Naga Putra,” biasa disapa Ra’uf yang bekerja di Saylendra Taylor, ia biasa membantu Sobri, kakak iparnya menyelesaikan pesanan baju serta servis lainnya. Pria dengan rambut keriting, kulit sawo matang dengan perawakan tinggi sedang, tidak terklalu gemuk juga tidak terlalu kurus, serta penampilannya menawan. “Wah, keren,” lamunku.
Ra’uf mulai ada rasa yang berbeda saat melihat Umak melintas di depan Saylendra Taylor. Ra’uf mulai mencari tahu keberadaan Umak dan bertanya pada Sobri.

”Dia wanita yang baik dan keturunan dari orang baik juga,” kata Sobri.

“Oh, baguslah,” jawab Ra’uf.
“Coba kau silaturrahmi ke rumah Umehnya, mereka juga masih saudara kita,” saran Sobri.

“Saya akan datang selepas ashar nanti,” ucap Ra’uf penuh semangat.

Sore hari itu juga sekira pukul empat, Ra’uf memberanikan diri berkunjung kerumah Umeh. Sayangnya, saat itu Umak tidak di rumah. Percakapan tetap berlanjut antara Umeh dan Ra’uf. Sampai menjelang magrib, Umak belum juga kembali. Ra’uf langsung pamit pulang. Tak lama kemudian Umak datang.

“Tadi ada Ra’uf datang kerumah, ia masih saudara kita,” ujar Umeh.

“Ada apakah gerangan?’ tanya Umak penasaran.

“Tadi hanya silaturrahmi,” imbuh Umeh.

“Dia akan datang lagi besok sore setelah ashar,” lanjut Umeh.

“Baik, saya ada di rumah besok sore,” kata Umak meyakinkan Umeh.

Seperti hari kemarin, Ra’uf datang tepat waktu sesuai janjinya pada Umeh. “Assaslaamu’alaikum,” salam Ra’uf.

“Wa’alaikumussalaam,” ujar Umeh dari dalam rumah.

“Silahkan masuk dan silahkan duduk, ajak Uenek sembari membuka pintu.
Ra’uf pun masuk dan mencium tangan Umeh sebagai tanda hormat, kemudian duduk. Pecakapan tegur sapa pun berlangsung hangat sampai tiba waktunya Chosiyah membawa tiga gelas teh manis hangat dan sepiring singkong rebus yang masih berasap.

“Silahkan diminum dan makan singkong rebusnya, mumpung masih hangat”, ujar Chosiyah tersipu malu.
Umeh pun mulai menyeruput teh manis hangat diselingi dengan makan singkong rebus yang berasap. Begitu juga dengan Ra’uf dan Chosiyah.
Ternyata Chosiyah pun memiliki rasa yang sama dengan Ra’uf saat mereka beradu pandang sampai-sampai Umeh berdehem memecahkan keheningan suasana.
“Umeh, besok pagi saya akan mengajak dek Yah ke pasar melihat bahan kain dan bahan jahitan lainnya,” ujar Ra’uf.

“Ia, ajak juga Uncu sepupu Yah untuk menemaninya ke pasar,” saran Umeh.

Esok hari mereka pergi ke pasar bertiga bersama Uncu yang masih anak-anak. Sabtu pagi pasar lebih ramai dari biasanya. Pasar ini memang lebih ramai pada hari Sabtu dan Minggu. Mereka asyik melihat-lihat kain beserta perlengkapan jahit lainnya.

“Ada yang bisa saya bantu,” ujar pria muda pelayan toko pada Ra’uf.
“Saya mencari bahan warna hitam untuk membuat satu stel jas pria,” jawab Ra’uf.
“Ini contoh warna dan merk bahan yang Abang cari”, kata pelayan toko dengan sigap memberikan buku berisi contoh bahan.

Ra’uf langsung menerima buku dan melihat-lihat koleksi bahan. “Saya pilih bahan semi wool warna hitam,” lanjut Ra’uf.
“Satu stel untuk pria dewasa tiga meter,” tambah pelayan toko.
“Ia, tambahkan juga kelengakapan lainnya,” imbuh Ra’auf.
Kurang dari 20 menit pesanan bahan dan perlengkapannya sudah siap. Ra’uf langsung menuju kasir kemudian menyodorkan beberapa lembar rupiah dan pesananapun sudah di tangan.

“Kang, berapa lama jahit jas satu stel pria dewasa?” tanya Chosiyah pada Ra’uf. Kakang merupakan panggilan akrab bagi suku Ogan, Sumatera Selatan.

“Biasanya tiga hari sampai seminggu,” kata Ra’uf penuh kasih sayang.
Tak lupa mereka juga singgah di kedai mpek-mpek yang menjual aneka kudapan ciri khas Palembang.

Perkenalan antara Chosiyah dan Ra’uf tidak sampai setahun karena mereka langsung mengikat hubungan baik ini dengan pernikahan.

Pada pertemuan yang lain, Ra’uf memberanikan diri untuk mengunggkapkan maksud dan tujuan hubungan ini.

“Dek Yah, rencananya Kakang ingin hubungan kita ke jenjang yang lebih serius, kita akan menikah secepatnya,” tegas Ra’uf.

Chosiyah tersipu malu dan pipinya langsung memerah, darah mengalir ditubuhnya lebih deras dari biasanya, hangat terasa sekujur tubuhnya mendengar kata-kata itu. la memeluk Uncu erat-erat. Tak lama kemudian ia hanya mampu menganggukkan kepala tanda setuju.

“Besok pagi Kakang akan bicarakan ini ke Umeh,” jelas Ra’uf. Lagi-lagi Chosiyah hanya mampu memberikan sinyal tanda setuju, kelu rasa lidah tuk berucap walaupun hanya satu kata “ia”.

Sejenak Chosiyah memperhatikan Uncu yang asyik bermain pasir di pantai sore itu. Iyah juga memainkan pasir di ujung kakinya. Tak lama setelah matahari terbenam merekapun pulang. Awal rencana ini diutarakan Ra’uf pada kedua orang tuanya yang berdomisili di Sumatera Selatan tepatnya di dusun Saung Naga Peninjauan Baturaja. Ra’uf adalah anak ke tiga dari enam bersaudara dari pasangan Hi. Tjik Uteh dan Suna’ah.

Selepas sholat isya’, Chosiyah membicarakan keinginan Ra’uf. “Umeh, besok pagi kang Ra’uf ingin bicara dengan Umeh tentang pernikahan kami”, ucap Chosiyah terbata-bata.
“Alhamdu lillah, ini pertanda baik,” kata Umeh sembari memeluk erat Iyah. Merekapun tak kuat menahan tangis bahagia. Kakak-kakak dan adik-adik Iyah pun satu persatu secara bergantian memeluknya.
“Besok pagi kita rapikan rumah,” perintah Umeh pada cucu-cucunya.
“Baik Umeh,” ujar mereka bersamaan.

Sekira jam sepuluh pagi pada hari Jum’at, Ra’uf dan Faruq kakak mandasnya (kakak pas diatasnya pada urutan silsilah keluarga) sudah berada di beranda rumah Umeh. “Silahkan masuk,” ujar Umeh penuh kehangatan.

Mereka bertiga duduk di ruang tamu dengan meja yang ada bunga mawar merah dan melati putih dengan aroma wangi semerbak di setiap sudut ruangan. Bunga yang baru dipetik Iyah setelah sholat subuh tadi, ini tidak seperti biasanya.

Lalu, lyah membawa empat gelas teh manis hangat beserta dua piring pisang goreng yang baru saja diangkat dari kuali. Iyah meletakkan setiap gelas tepat didepan para tamu dan dua piring ditengah-tengah antara pot bunga. Iyah pun langsung duduk dekat Umeh.

“Kami ingin melamar Iyah untuk Ra’uf,” ujar Faruq.
“Kapan kiranya hal itu?” tanya Umeh
“In syaa Allah, hari Jum’at depan,” jawab Faruq.

“Oh, tujuh hari lagi,” pikir Iyah bahagia sembari melihat Ra’uf yang sedang tersenyum.

“Saya segera menginformasikan niat baik ini ke Muhammadiyah,” sambung Umeh.

Setelah Ra’uf pulang, Umeh langsung melanjutkan pembicaraan dengan Iyah untuk pulang kerumah orangtuanya di desa Way Sulan besok pagi. Jarak tempuh satu jam berjalana kaki.

Jam menunjukkan pas diangka tujuh pagi, Umeh, Iyah, kakak dan adiknya mulai menelusuri jalan menuju Way Sulan. Mereka berempat tiba sekitar jam delapan. Muhammadiyah dan Wairiyah segera menuruni tangga rumah mereka, ketika melihat rombongan Umeh yang berjumlah empat orang.

“Assalaamu’alaikum,” ujar Umeh.
“Wa’alaikumussalaam”, jawab Muhammadiyah putra Umeh yang pertama sembari mencium tangan Umeh diikuti oleh Wairiyah.
Ketika mereka tiba di ruang tamu, telah tersedia nasi goreng telur beserta ikan nila goreng hasil dari tebat (kolam besar untuk memelihara ikan) di belakang rumah. Mereka langsung makan pagi bersama. Bak dan Umak Iyah sudah mengetahui hubungan antar Iyah dan Ra’uf. Bak adalah panggilan untuk ayah bagi suku Ogan. Tak lama setelah itu, pembicaraan dimulai.
”Iyah akan dilamar Jum’at depan”, Umeh mulai membuka percakapan.
“Siapa saja yang akan datang?”, tanya Muhammad
“Empat sampai enam orang termasuk Suna’ah”, jawab Umeh.

Tibalah hari lamaran itu. Rombongan Ra’uf yang berjumlah empat orang yaitu Sunaa’ah, Sarkati, dan Faruq tiba di desa Way Sulan pada hari Jum’at jam sembilan pagi. Setelah jamuan makan pagi, Ra’uf membuka percakapan.
“Bak sedang sakit, jadi tidak bisa membersamai kami”, terang Rau’uf. Memang saat itu Tjik Uteh ayah Ra’auf sedang mengalami ganguan kesehatan fisik.
“Semoga lekas membaik”, kata Muhammad yang diamini semua orang yang ada saat itu. Setelah pembicaraan selesai rombongan Ra’uf kembali ke Panjang. Dua puluh hari kemudian pernikahan berlangsung di desa Way Sulan. Menurut adat, dipersiapkan dodol sebanyak 80 rantang yang dibagikan pada keluarga dekat dan tokoh Masyarakat.

Keluarga baru pun dimulai oleh pasangan pengantin Abdul Ra’uf Naga Putra dan Chosiyah. Mereka berjuang bersama di desa Way Sulan sebagai petani penggarap pada Bak dan Umak. Merekapun tinggal bersama orang tua Iyah. Saat hamil anak pertama, Ra’uf berkeinginan pisah rumah.
“Dek Iyah, kita usahakan setelah kelahiran anak pertama kita pisah rumah, kita akan buat rumah sderhana tepat di sebelah kanan rumah ini”, imbuh Ra’uf penuh antusias. Ra’uf merancang dan membangun rumah sederhana mereka.
“Ia, seperti yang diutarakan Bak beberapa bulan yang lalu”, ujar Iyah sembari mengingat rencana awal setelah menikah langsung pisah rumah. Namun orang tua lyah menyarankan setelah anak pertama lahir.

Perjungan mereka berdua berlanjut sampai mereka memiliki kebun hasil beli dari orang tua Iyah. Mereka mulai menabung untuk membeli tanah di desa Suban. Pasangan muda ini juga mulai mengumpulkan bahan bangunan sedikit demi sedikit. Lalu, mereka pindah untuk kedua kalinya ke desa Suban yang membutuhkan waktu 30 menit jalan kaki dan 20 menit bersepeda. Alasan perpindahan ini karena Rita, Daniel, dan Linda mulai sekolah dasar.
Aku anak ke empat sudah memiliki adik bernama Dedi. Namun meninggal saat umur satu minggu dan dimakamkan di kebun. Orang tuaku terpukul dengan kepergian Dedi. Dengan kejadian ini aku lebih disanyang dibandingkan kakak-kakak ku yang lainnya.
“Enak juga ya lebih disayang”, pikirku kini.

Orang tuaku masih berprofesi sebagai petani yang pulang pergi dari Suban ke Way Sulan. Ketika itu tanah masih subur, cengkeh, lada, dan durian berbuah lebat setiap tahun. Kami biasanya bermalam di kebun saat musim cengkeh dan durian.
“Rajin-rajinlah nyemang”, ujar Umakku pada anak-anaknya. Nyemang adalah mengumpulkan cengkeh yang jatuh dari pohon, setelah itu dicuci agar bersih dari tanah. Lalu di jemur setelah kering ditimbang dan dibeli oleh orang tuaku.
“Kita akan ke Jakarta saat liburan sekolah”, kata Abah padaku juga pada Kak Daniel dan Kak Linda. Kami terbiasa membantu orang tua dan uang ditabung untuk jalan-jalan.
“Asyik-asyik”, teriak kami kegirangan.

Tibalah waktu liburan sekolah, Abah, Kak Daniel, Kak Linda, dan aku liburan ke Jakarta menggunakan angkutan umum. Itulah perjalanan pertama dan terjauh yang kualami. Pertama kali juga aku mencoba menyebrangi Selat Sunda dengan kapal Ferry. Kak Linda dan aku selalu pakai baju yang sama. Baju hangat kami bertiga juga sama. Orang tuaku memang sering membelikan baju dan perlengkapan sekolah yang sama ketika kami masih kanak-kanak.

Ketika aku kelas 3 sekolah dasar lahirlah adik perempuanku bernama Rosa di Rumah Sakit Kilat namanya. Penamaan ini sesuai dengan nama daerah lokasi rumah sakit yang tak jauh dari Suban, hanya lima belas menit bersepeda dan dua puluh menit jalan kaki.

Setelah aku tamat SD, kamipun pindah ke Veteran atau Korpri Sukarame Bandar Lampung. Lagi-lagi perpindahan ini karena kakak-kakak, adik, dan aku akan melanjutkan sekolah. Aku melanjutkan jenjang pendidikan ke MTsN 2 Bandar Lampung yang memerlukan waktu sepuluh menit jalan kaki dari Veteran.

Orang tuaku mulai berjualan baju dan kacamata baca yang mendatangi saudara-saudara sampai perbatasan Bengkulu. Kadang kala saat liburan sekolah kami juga ikut membantu orang tua untuk berjualan.
“Orang tuaku sudah mengajarkan cara hidup mandiri”, kenangku.
Keberanian inilah yang menghantarkan aku merantau ke Jakarta setelah tamat dari MAN 1 Bandar Lampung. Hiruk pikuk beserta permasalahan ibukota ku lalaui dengan penuh semangat dan perjuangan sama seperti orang tuaku yang kulihat kala itu.
“Aku harus banyak besyukur atas dukungan orang tua”, kataku.

Orang tua adalah model terbaik bagi anak-anaknya untuk meniti masa depan nan indah. Walaupun Umak telah tiada namun semangat juangnya selalu menyertaiku besama keluarga besar A.R Naga Putra. Do’a selalu ku panjatkan terutama untuk Umak. Sambung silaturrahmi dengan kerabat dan teman Umak terus ku jaga. Petuah Umak ku jalani hingga kini. Inilah yang bisa ku lakukan untuk Umak tercinta walaupun alam kami berbeda.
“Umakku adalah Pahlawanku”, aku bergumam disertai senyum penuh semangat.
“Surga di bawah telapak kaki ibu”, ku patrikan kata-kata hikmah ini tuk terus berbakti.
“Selamat Hari Ibu”, pikirku.
“Semoga dilapangkan dan diberi sinar terang kuburnya serta amal ibadah Umak diterima Allah swt, aamiin”, do’a ku.

Bandung, Kamis, 26 Desember 2024