Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Tangisan Alam di Puncak Bogor

March 12, 2025 17:11
IMG-20250312-WA0119

Cerpen Mochamad Taufik
Guru SD Al Hikmah Surabaya

HATIPENA.COM – Hujan turun deras di Puncak Bogor, mengguyur hutan yang semakin menyempit. Sungai Ciliwung meluap, membawa lumpur dan batang-batang pohon yang tercerabut dari akarnya. Di sebuah rumah sederhana di pinggir sungai, seorang bocah bernama Raka duduk termenung, menatap air yang makin naik ke halaman rumahnya.

“Ayah, kenapa banjir ini semakin sering terjadi?” tanyanya dengan wajah cemas.

Ayahnya, Pak Rudi, menghela napas panjang. “Dulu, Nak, Puncak ini penuh dengan hutan dan kebun teh. Pepohonan menahan air hujan agar tak langsung turun ke sungai. Tapi sekarang, banyak hutan ditebang, kebun teh diubah jadi tempat wisata. Akibatnya, tanah kehilangan pegangan, air hujan langsung mengalir deras ke sungai dan jadilah banjir seperti ini.”

Raka mengangguk pelan. Ia pernah melihat sendiri bagaimana lahan-lahan hijau berubah menjadi vila, resort, dan wahana permainan. Hutan yang dulu rimbun dan dipenuhi suara burung kini berganti menjadi bangunan beton.

Pertemuan dengan Gubernur

Beberapa hari kemudian, pemerintah mulai membongkar beberapa wahana wisata ilegal yang berdiri di kawasan Puncak. Raka, yang penasaran, ikut ayahnya menyaksikan proses pembongkaran. Di lokasi, terlihat beberapa alat berat merobohkan bangunan-bangunan yang berdiri di atas lahan resapan air.

Di antara kerumunan warga, tampak Gubernur Jawa Barat berdiri dengan wajah serius. Ia didampingi beberapa pejabat dan jurnalis yang meliput kejadian tersebut. Raka memberanikan diri mendekat.

“Pak Gubernur,” panggilnya dengan suara lantang.

Sang gubernur menoleh, lalu tersenyum melihat bocah kecil yang penuh keberanian. “Iya, Nak? Ada yang ingin kamu tanyakan?”

Raka menarik napas dalam-dalam. “Kenapa baru sekarang tempat-tempat ini dibongkar? Bukankah sejak dulu sudah banyak yang tahu kalau ini melanggar aturan?”

Gubernur menghela napas, lalu menjawab dengan nada tegas. “Nak, kami memang terlambat bertindak, dan kami mengakui kesalahan itu. Tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Kami sudah memeriksa, banyak bangunan di sini berdiri tanpa izin dan melanggar aturan tata ruang. Mereka merusak lingkungan, menyebabkan banjir di hilir, dan kami tidak bisa membiarkan ini terus terjadi.”

“Tapi Pak, kalau tempat wisata ini dibongkar, terus bagaimana dengan yang sudah terlanjur rusak? Apa cukup dengan pembongkaran saja?” tanya Raka dengan polos.

Sang gubernur tersenyum kecil, lalu menepuk bahu Raka. “Kamu pintar, Nak. Tidak cukup hanya membongkar. Kami juga akan melakukan rehabilitasi lahan. Pohon-pohon akan ditanam kembali, lahan resapan akan dikembalikan fungsinya. Kami ingin Puncak Bogor kembali hijau seperti dulu.”

Para wartawan mencatat ucapan itu, dan masyarakat yang hadir mulai bertepuk tangan. Raka tersenyum, setidaknya ada harapan bagi alam yang telah lama menangis ini.

Kesadaran yang Harus Dijaga

Di rumahnya, Raka membaca sebuah ayat dalam Al-Qur’an yang semakin menguatkan tekadnya:

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar-Rum: 41).

Ia sadar bahwa manusia sendirilah yang menyebabkan bencana ini. Jika tidak ada kesadaran untuk berubah, banjir akan terus datang, tanah longsor akan semakin sering terjadi, dan Puncak Bogor akan kehilangan keindahannya.

Sejak hari itu, Raka bertekad untuk menjadi pelindung alam. Ia mulai mengajak teman-temannya menanam pohon di sekitar rumah mereka. Ia juga membagikan cerita kepada teman-teman sekolahnya tentang pentingnya menjaga hutan dan kebun teh agar tetap hijau.

“Kalau kita terus merusak alam, bukan cuma kita yang rugi, tapi juga anak cucu kita nanti,” katanya penuh semangat.

Seperti firman Allah dalam Al-Qur’an:

“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harapan. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-A’raf: 56).

Puncak Bogor menangis, tapi masih ada harapan. Semua tergantung pada kita: mau terus merusaknya, atau mulai memperbaikinya? (*)