Ilustrasi : Anto Narasoma
Cerpen Anto Narasoma
HATIPENA.COM – Kedatangan sahabatku Jimmy Johansyah –penyair dari Depok– ke Palembang, sangat menggembirakan hatiku.
Dia sahabat yang baik. Ketika aku menghadiri pertemuan penyair di Jakarta, Jimmy begitu ikhlas mendampingiku berjalan ke berbagai tempat yang dikunjungi. Sehari-harian ia mengajakku ke lokasi wisata di Jakarta.
Bahkan, tanpa memperhitungkan nilai uang yang ia miliki, Jimmy selalu menjadi “bandar” untuk mengongkosi perjalanan kami. Aku merasa sangat dihargainya ketika itu.
“Berapa harga yang harus kubayar, Dek Jimmy?” Aku bertanya.
“Ah, sudahlah Bang. Sudah saya bayar semua yang kita makan. Pokoknya Abang tak usah berpikir yang macam-macam. Segala yang kita nikmati menjadi tanggung jawab saya,” ujar Jimmy seusai menikmati santap siang di rumah makan Padang.
Aku sangat bangga diperlakukan dengan sangat baik selama di perjalanan itu.
Nah, di saat ia datang ke Palembang, aku harus membalas kebaikannya. “Dek Jimmy tak usah terlalu sibuk untuk membayar ini dan membayar itu. Semua ongkos dan biaya perjalanan di Palembang sudah Abang siapkan disaat Jimmy mengutarakan mau ke Palembang, tempo hari,” ujarku.
Seniman berambut panjang dan berwajah ramah ini tampaknya sangat berbahagia. Sebenarnya, saat ke Palembang, Jimmy ditemani seniman sastra lainnya, Romy Sastra. Namun saat ini Romy sedang berjalan bersama Ketua Dewan Kesenian Palembang, Hasan Verdinal. Mereka pergi ke Museum Alquran Raksasa di kawasan Kecamatan Gandus.
Maka, untuk menyemarakkan suasana, aku mengajak Jimmy ke berbagai lokasi wisata ternama di kotaku. Ia kuajak pergi ke Pulau Kemaro di perairan Sungai Musi. Wuih, Jimmy begitu gembira dalam pelayaran di atas Sungai Musi. Sesekali dari mulutnya aku mendengar ia mendendangkan lagu Soldier of Fortune dari Deep Purple, secara perlahan.
“Ya Allah, alangkah indah dan luasnya sungai ini. Selama ini, saya hanya mendengar kabarnya saja ketika ada orang berbicara soal Sungai Musi,” kata Jimmy dengan raut wajah gembira.
Menurut dia, air Sungai Musi terlihat jernih kecokelatan. “Sayang banyak tanaman virus eceng gondok. Kalau tanaman liar ini dibersihkan, saya yakin, sungai ini tak kalah indahnya dibanding Sungai Chauphraya di Bangkok,” tukas Jimmy.
Di sepanjang perjalanan ke Pulau Kemaro, sahabatku ini senangnya bukan main. Itu terlihat dari sikapnya yang begitu mengagumi setiap kelokan sungai yang dilalui. Bahkan ketika berpapasan dengan kapal wisata spedboath lain, Jimmy selalu menyapa orang yang ada di kapal tersebut. “Wuih, sahabat, selamat siang,” teriak Jimmy sambil melambaikan tangannya.
Namun sebelumnya, Jimmy sudah kuajak terlebih dahulu mengunjungi Museum Sultan Machmud Badaruddin II di kawasan Bentang Kuto Besak.
Di museum ini, terdapat benda-benda bersejarah peninggalan masa lalu sang Sultan. Selain itu, ada pula benda-benda dengan corak tradisi asli Palembang seperti tanjak atau mahkota kerajaan yang terbuat dari kain tenun Palembang asli.
“Wuih, alangkah indahnya tanjak ini Bang. Bahan kainnya begitu halus. Bahkan ada tanjak khusus yang banyak dipakai pejabat, atau pada zaman dulu dikenakan para sultan di kepalanya,” ujar Jimmy, kagum.
Dan memang, para pelancong yang datang ke Palembang pasti kagum melihat berbagai benda bersejarah yang terdapat di Museum Sultan Machmud Badaruddin (SMB) II. Terutama melihat tinggalan benda bersejarah milik SMB II.
“Tanjak-tanjak sudah sangat populer di kalangan masyarakat dunia yang berkunjung ke museum ini, Dek Jimmy”.
“O begitu ya?”.
“Iya. Ada beragam bentuk tanjak yang kerap dipakai sebagai benda tradisi yang membanggakan,” jelas aku.
“Ada berapa pola tanjak yang ada di Palembang, Bang?” Jimmy bertanya.
“Yang abang ketahui ada tiga corak. Yang pertama tanjak meler namanya. Tanjak ini terbuat dari kain tenun Palembang,” jawabku.
“Tanjak meler ini dikenal sejak kapan, Bang?” tanya Jimmy.
“O, ya. Tanjak meler ini sudah dikenal sekitar tahun 1870. Selain tanjak meler, Palembang memiliki tanjak dengan corak lainnya,” tukasku.
Jimmy Johansyah menganggukkan kepalanya. Ia sangat kagum dengan benda tradisi Palembang masa lalu itu. “Nah, yang itu tanjak apa namanya, Bang?” tanya Jimmy lagi.
“Itu tanjak Kepundang, atau tanjak kepodang. Mahkota raja ini juga terbuat dari kain tenun. Selain nyaman dipakai, tanjak ini juga mampu mempertampan wajah pemakainya,” jelasku tersenyum
“Tanjak Kepodang ini mulai disosialisasikan tahun berapa, Bang?”.
“Kalau dari catatan yang abang ketahui dari penjelasan sesepuh wong Plembang, Tanjak Kepundang dikenakan Sultan Palembang sekitar tahun 1900-an,” ujarku menjelaskan.
Aku juga menerangkan tanjak dengan corak yang seringkali digunakan pejabat atau masyarakat awam. Misalnya Tanjak Bela Mumbang. Jika ada aktivitas kebudayaan di Palembang, Tanjak Bela Mumbang dipakai masyarakat untuk menyemarakkan suasana.
“Misalnya untuk tradisi apa, Bang,” tanya Jimmy ingin mengetahuinya.
Sebelum kujawab, dari belakang seorang sahabat menegurku. “Assalamualaikum Kak Anto,” sapa suara itu. Tangannya menepuk lembut pundakku.
Aku menoleh ke belakang. “Subhanallah. Wuih apa kabar Dek Herry,” aku membalas sapaannya.
Herry Tanjak, begitu namanya. Dia langsung menyalamiku. Pemuda yang satu ini, selain bertatakrama santun, Herry juga memiliki hati yang lembut.
“Alhamdulillah Kak. Saya sehat. Dengan siapa datang ke museum ini, Kak,” tanya Herry.
“O, dengan Mas Jimmy. Beliau penyair dari Jakarta. Dek Jimmy, kenalkan. Ini perajin tanjak. Beliaulah yang telah berusaha keras memasarkan tanjak bikinannya ke instansi-instansi pemerintah,” tukasku.
Dengan senyum manis, Herry Tanjak menjabat erat tangan Jimmy. ” Saya Jimmy Johansyah, Mas,” ujar Jimmy. Senyumnya terkembang.
“Saya biasa disapa teman-teman seniman Herry Tanjak, Mas,” ucap Herry.
Herry mengenalkan tanjak bela mumbung, atau tanjak yang biasa dipakai pejabat, ANS, atau masyarakat awam.
Herry menyatakan bahwa sebagai perajin tanjak, ia harus berani mendatangi kepala-kepala kantor di instansi pemerintah
“Tapi sebelumnya saya harus bertatap muka dahulu dengan Pak Gubernur atau Pak Walikota, Mas. Kemudian saya utarakan berbagai jenis benda tradisi asli Palembang ini,” jelas Herry.
Herry Tanjak menceritakan bahwa tanjak merupakan produk tradisi masyarakat daerah ini. Sebagai mahkota bagi raja-raja di zaman dahulu, tanjak juga disebut sebagai benda seni yang menjelaskan tentang hakikat jiwa masyarakat Palembang.
“Tak heran apabila para sultan atau raja-raja Palembang mengenakannya di kepala sebagai bentuk kebesaran nama daerah,” ujar Herry Tanjak menjelaskan bentuk dan fungsinya sebagai produk budaya.
Karena ketenaran dan kebesaran sebutan tanjak, akhirnya pemerintah kota dan pemerintah provinsi membangun pintu gerbang instansinya dengan motif tanjak.
Mendengar penjelasan itu, Jimmy Johansyah menganggukkan kepala. Tampaknya, sebagai praktisi seni dan seorang penyair, ia sangat kagum dengan produk seni yang sangat memikat hati ini.
Herry Tanjak menjelaskan juga tentang benda bernilai tradisi Palembang itu sudah tercatat sebagai warisan Budaya Takbenda di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
“Tanjak ini sudah tercatat di Kemendilbud RI sebagai warisan Budaya Takbenda pada 8 Oktober 2019 lalu, Mas,” ujar Herry kepada Jimmy.
Sebagai pendatang dari Jakarta, Jimmy begitu kagum mendengar penuturan Herry Tanjak. “Wuih, hebat. Saya kagum, Mas,” ujarnya.
Sebagai pakaian pelengkap busana Palembang, tanjak merupakan mahkota yang dipakai oleh keluarga bangsawan Palembang atau sultan.
“Meski masa Kesultanan Palembang Darussalam saat ini sudah berakhir, namum sejak tahun 1850 hingga saat ini, tanjak masih tetap dipakai pada saat ada acara budaya yang berkaitan dengan tradisi daerah ini,” tukas Herry.
“Apakah tanjak ini hanya dipakai keluarga bangsawan saja saat ini, Mas?”
“O tidak. Masyarakat awam juga ada yang memakai tanjak jika ada acara pernikahan atau di hari-hari tradisi yang berkaiatan dengan kegiatan budaya Palembang,” jawab Herry.
“O begitu, ya?”.
“Iya, Mas”.
Kemudian Herry memperlihatkan beberapa motif tanjak di balik etalase Museum SMB II itu. Di sudut paling kiri itu ada tanjak meler. “Tanjak ini terbuat dari tenunan tradisional yang mulai dikenal sejak tahun 1870,” kata Herry.
Sedangkan tanjak kepundang dibuat juga dari kain tenun Palembang asli dan digunakan sebagai jatidiri daerah oleh kaum bangsawan di sekitar tahun 1900.
Dulu, sekitar tahun 1980-an, ada karnaval budaya yang sangat menyentak perasaan masyarakat. Dari atas patung mainan yang terdapat muda-mudi memakai tanjak dan gandik untuk wanita.
“Di sekitaran mereka terdapat tanjak-tanjakan yanh terbikin dari kertas. Di saat seorang peserta ingin merokok, percik api dari pemantik membakar tanjak yang ada. Akhirnya begitu cepatnya patung mainan itu pun ikut terbakar. Muda-mudi yang ada di atasnya harus tewas setelah tubuh mereka gosong karena api,” tukas Herry Tanjak.
“Ah, peristiwa yang sangat mengerikan,” kata Jimmy dengan mimik memprihatinkan.
“Iya. Karena itu, sejak terjadinya musibah yang menelan korban jiwa, tanjak Palembang makin dikenal hingga ke mancanegara,” ujarku menyela pembicaraan Herry Tanjak dan Jimmy Johansyah.
“Makanya, kalau Mas Jimmy kembali ke Jakarta, imbau ke teman-teman di sana untuk berkunjung ke Palembang. Sebab di Museum SMB II ini, kita akan diajak untuk memahami corak tradisi daerah yang memperlihatkan kejayaan masa lalu kesultanan Palembang,” ujar Herry Tanjak.(*)
Palembang, 10 Agustus 2024
*) Sastrawan dan Jurnalis senior